Tinggal di Permukiman Kumuh, Ini Persoalan yang Dihadapi

Kamis, 01 Oktober 2015 - 10:55 WIB
Tinggal di Permukiman...
Tinggal di Permukiman Kumuh, Ini Persoalan yang Dihadapi
A A A
JAKARTA - Persoalan permukiman kumuh di Jakarta seolah tidak ada habisnya. Permukiman yang ditempati oleh masyarakat ekonomi kelas bawah tersebut disebut-sebut rawan berbagai macam persoalan.

Kepala Seksi Operasional Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Jakarta Timur Mulyanto mengatakan, pada permukiman kumuh kerap terjadi bentrokan antarwarga seperti yang terjadi antarawarga Kebon Singkong dengan Cipinang Jagal. Selain itu, kebakaran pun dengan mudah dan cepat merambat pada permukiman kumuh.

Hal ini lantaran tingkat kesadaran warga masih rendah mengenai bahaya kebakaran serta bangunan rumah mereka yang semi permanen memudahkan api cepat merambat ke bangunan lainnya.

"Semakin padat kawasannya pasti warganya juga beragam. Beda kultur saja sudah pasti menimbulkan konflik. Si A penginnya ini si B penginnya itu," kata Mulyanto dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis (1/10/2015).

Mulyanto melanjutkan, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2013, Kecamatan Jatinegara merupakan daerah yang memiliki jumlah RW kumuh tertinggi yakni 13 RW. Namun, di Jakarta Timur yang rawan konflik justru di Kecamatan Pulogadung dan Kecamatan Cakung.

Kedua daerah tersebut merupakan kawasan industri yang dipenuhi pendatang dari luar Jakarta. "Pendatang akhirnya mengontrak di sana, dengan penghasilan murah cari kontrakan murah juga. Makin banyaklah penduduk dari luar Jakarta. Akibatnya gesekan-gesekan sosial pun kerap terjadi di sana," tambahnya.

Sementara itu Asisten Kota Community Development Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Dewi Salma mengatakan berencana menyusun profil permukiman kumuh di wilayah Jakarta. Hingga saat ini permukiman kumuh terbanyak ada di Jakarta Utara yang mencapai 67 RW.

"Kita lihat ada perkembangan atau justru penurunan, karena data terakhir kan baru 2013 kita mesti update untuk tahun ini," kata Dewi. Selain itu data yang selama ini ada juga baru sampai di tingkat kelurahan.

Menurut Dewi, pihaknya perlu memetakan permukiman kumuh tingkat kota agar bisa mengintegrasikan program kegiatan untuk penataan. “Profil permukiman ini meliputi akses air minum, kelayakan hunian, sarana prasarana infrastruktur, pendapatan masyarakat, dan sanitasi lingkungan,” tutup Dewi.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1057 seconds (0.1#10.140)