Pemprov DKI Jangan Asal Relokasi Warga, tapi Pikirkan Ini

Kamis, 08 September 2016 - 20:27 WIB
Pemprov DKI Jangan Asal Relokasi Warga, tapi Pikirkan Ini
Pemprov DKI Jangan Asal Relokasi Warga, tapi Pikirkan Ini
A A A
JAKARTA - Permasalahan di DKI Jakarta kian bertambah. Selain kemacetan dan banjir, hunian juga jadi masalah baru di Ibu Kota. Antara lokasi hunian dan banjir memiliki keterkaitan yang signifikan.

Meski begitu, Jakarta masih menjadi daya tarik para pendatang untuk mencari rezeki guna menafkahi keluarganya. Sayangnya, mereka datang ke Jakarta tanpa dibekali kemampuan serta pendidikan formal.

Akhirnya, mereka membuat lokasi hunian ala kadarnya sebagai tempat hunian mereka. Namun, belakangan ini wilayah yang telah diduduki itu diklaim ilegal lantaran berada di kawasan yang tak boleh ada bangunan.

Padahal, mereka sudah menempati lokasi hunian itu puluhan tahun hingga budaya dan solidaritas terbangun di lokasi itu. Namun tiba-tiba Pemprov DKI Jakarta mengklaim itu daerah terlarang. Hingga akhirnya, rumah susun sederhana sewa (rusunawa) dipilih sebagai solusi bagi kaum migran berpenghasilan rendah (MBR).

"Seolah hanya memindahkan manusianya saja. Tapi mengabaikan sisi budaya yang telah dibangun oleh mereka di tempat lama," kata Indriani Pratiwi, mahasiswa Tehnik Arsitektur Universitas Indonesia dalam focus group discussion Pemaknaan Lingkungan Hunian Pada Penghuni Permukiman Informal di Perkotaan di Depok, Kamis (8/9/2016).

Indriani mengatakan, pemerintah tidak memperhatikan sisi humanis ketika melakukan relokasi. Pemerintah kerap berdalih bahwa solusi tepat guna. Padahal di rusunawa mereka tidak lagi mendapati suasana yang sama seperti di tempat sebelumnya.

"Kajian yang saya lakukan mengkritisi bahwa untuk membuat rancangan hunian diperlukan partisipasi masyarakat yang akan direlokasi," katanya.

Dia mencontohkan, bagaimana suasana kekeluargaan terbangun ketika mereka itu hidup menetap di tempat lama. Misalnya di Bidara Cina yang menjadi lokasi penelitiannya. Dari hasil pendalaman selama enam minggu dapat diketahui jika karakteristik masyarakat di sana sangat kompleks. Di sana mereka sudah seperti satu kesatuan dan ada ketergantungan di antaranya.

"Dan seharusnya rumah susun itu bottom up. Tapi yang terjadi saat ini hanya top down," katanya.

Dalam konteks riset yang dilakukan, dirinya terfokus pada ibu rumah tangga yang perannya sebagai kepala rumah tangga. Mereka ini banyak terdapat di permukiman informal. Namun, isu ini masih belum banyak dilihat dalam perencanaan tata kota.

"Padahal ini penting dalam proses penataan ruangan untuk menggambarkan struktur ruang. Serta bagaimana merancang hunian yang layak bagi MBR. Dasarnya adalah community base," katanya.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, relokasi yang terkesan dipaksakan oleh pemerintah dianggap mematikan jaringan sosial ekonomi masyarakat. Menurut Revita Maharani, mahasiswa Kajian Pengembangan Perkotaan UI, ketika merelokasi maka yang harus diperhatikan adalah struktur sosial ekonomi.

"Kalau sekadar merelokasi sama saja mematikan jaringan sosial ekonomi mereka," katanya.

Revi meneliti hunian bantaran rel kereta Pejompongan, Jakarta Pusat. Di sana dia melihat bagaimana masyarakat bertahan dengan jaringan sosial ekonomi yang mereka bangun tanpa ada sentuhan dari pemerintah. Dari hasil usahanya, mereka bisa membuat jaringan sosial ekonominya sendiri.

"Tapi ketika relokasi dijalankan, otomatis bukan hanya hunian yang hilang. Kehidupan ekonomi mereka juga ikut mati," ujarnya.

Dia mengingatkan, untuk merelokasi tidak cukup hanya bangunan fisik yang disiapkan. Tetapi juga bagaimana kehidupan yang ada harus diperhatikan.

"Harapannya hal ini bisa menjadi indikator lain jika pemerintah hendak melakukan relokasi," tuturnya. (Baca: Penggusuran Rawajati, Ahok Lagi Pantau Kinerja Wali Kota Jaksel)
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7002 seconds (0.1#10.140)