Remaja Unggah Tawuran di IG: Normal Baru?
loading...
A
A
A
Bhakti Eko Nugroho
Pengajar di Departemen Kriminologi FISIP UI
Pekan lalu, dua insiden tawuran yang melibatkan remaja kembali pecah di dua titik di Jakarta. Insiden tawuran yang pertama terjadi di wilayah Tanah Abang, Jakarta Pusat pada Sabtu (4/7) dini hari. Pada peristiwa ini, satu remaja berusia 16 tahun meninggal dunia akibat luka sabetan benda tajam. Satu hari setelahnya, kejadian tawuran kembali terjadi di kawasan Pesing, Jakarta Barat pada Minggu (5/7). Dua kelompok yang terlibat bentrok tersebut konon dikenal dengan sebutan geng Romusha dan geng Pesing. Akibat perkelahian ini, beberapa remaja mengalami luka serius.
Berikut adalah benang merah yang dapat ditarik dari kedua peristiwa tersebut. Pertama, sebagian besar pihak yang terlibat dalam perkelahian adalah para remaja. Kedua, dua tawuran tersebut diawali dari perseteruan virtual di internet. Ketiga, sebagian pelaku merekam aktivitas kekerasan yang mereka lakukan secara langsung (live) dan mengunggahnya di media sosial. Secara kriminologis-sosiologis, pertanyaan yang muncul adalah “apakah mengunggah perkelahian fisik ke Instagram merupakan bentuk dari normal baru perilaku masyarakat (khususnya para remaja) di masa pandemi ini?” (Baca: Anies Baswedan Bakal Pecat ASN yang Menyalahi Aturan)
Tawuran Remaja dan Kemiskinan
Ada indikasi kuat bahwa dua tawuran ini melibatkan remaja yang berasal dari keluarga kelas bawah. Ini tampak dari terlibatnya sejumlah siswa penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) dalam tawuran di Pesing, Jakarta Barat. KJP, sebagaimana diketahui, adalah (program beasiswa pemerintah yang diperuntukkan bagi siswa dari keluarga tidak mampu).
Mengapa para remaja ini nekat terlibat tawuran meskipun mereka sadar betul akan konsekuensi berupa dicabutnya KJP jika mereka diketahui melanggar hukum? Gagasan Albert K Cohen (1918-2014), seorang kriminolog terkemuka asal Amerika Serikat, terkait sebab-musabab keterlibatan anak dan remaja dalam perilaku delinkuen (nakal/melanggar aturan) dapat dijadikan acuan. Bagi Cohen, keterlibatan anak dalam perbuatan melanggar hukum adalah persoalan kelas sosial.
Keinginan dan mimpi anak dan remaja––termasuk yang berasal dari kelas bawah, didominasi oleh keinginan dan mimpi anak dan remaja dari keluarga kelas menengah. Mereka yang di kelas bawah terinternalisasi dengan ekspektasi dan standar kelas menengah, namun mereka tidak mampu merealisasikan ekspektasi tersebut (Kelly and Balch, 1971)
Misalnya, di masa pandemi ini, anak dan remaja dari keluarga berada mampu ikut tren membeli sepeda baru, lalu mengunggah aktivitas bersepedanya di media sosial; atau menunjukkan atribut dan simbol keistimewaan lain yang tidak bisa ditiru oleh anak dan remaja dari keluarga yang secara ekonomi relatif tidak mampu. Lalu, muncul rasa frustrasi anak dan remaja kelas bawah karena tidak mampu ikut tren dan kemudian mengelompok dengan sesamanya yang “senasib”, dan selanjutnya membentuk subkultur baru dengan kebiasaan-kebiasaan baru pula yang khas kelompok mereka sendiri. Salah satu kebiasaan baru ini, menurut Cohen, adalah perkelahian dan pelanggaran norma. (Baca juga: Erdogan: jadi Masjid, Salat Pertama di Hagia Sophia 24 Juli)
Tentunya, tidak semua anak dan remaja dari keluarga tidak mampu pasti lekat dengan aktivitas tawuran dan anak dan remaja kelas menengah, bukan berarti terlepas dari potensi perilaku perkelahian massal. Hanya, kesejahteraan keluarga menjadi dimensi yang penting dalam mencegah berulangnya peristiwa serupa.
Eksistensi Virtual saat Normal Baru
Kemiskinan merupakan salah satu hal yang relevan dalam perilaku tawuran anak dan remaja, namun bukan satu-satunya sumber persoalan. Perilaku anak dan remaja dalam menggunakan media sosial dan telepon pintar ternyata sedikit banyak juga berpengaruh dalam perilaku tawuran hari-hari ini.
Terkait itu, kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa yang fokus pada perkembangan dan masalah anak-anak (Unicef/United Nations Children’s Fund), enam tahun lalu melaporkan bahwa anak dan remaja Indonesia yang menggunakan internet mencapai 30 juta yang tersebar baik di wilayah urban maupun rural.
Pada masa normal baru ini, ketika interaksi virtual lebih dominan dibandingkan interaksi fisik maka relasi anak dan remaja dengan lingkungan sosialnya lebih banyak dilakukan dalam jaringan (daring). Media sosial menjadi platform yang memfasilitasi keterhubungan para remaja dengan lingkungan pertemanannya. Untuk selalu hadir (eksis) dalam percakapan di media sosial, para pengguna internet dari kalangan anak dan remaja ini harus terus menghasilkan konten yang dapat dilihat dan direspons oleh lingkungan pertemanan mereka. Semakin tidak biasa kontennya, semakin berpotensi seorang anak atau remaja mendapatkan atensi, tanda suka (likes atau loves) dari pengguna lain, ataupun menjadi viral.
Problemnya adalah pada dua tawuran di Jakarta pekan lalu, anak dan remaja menggunakan platform media sosial mereka untuk saling menunjukkan eksistensi diri dan kelompok pertemanan mereka, namun dengan materi percakapan yang menyinggung perasaan. Ucapan saling singgung dan saling tantang dalam dunia maya, kemudian berujung pada perkelahian fisik di dunia riil. (Baca juga: Provokasi di Media Sosial Berbuntuk Saling Serang Dua Kelompok Remaja di Jakbar
Tawuran fisik di dunia nyata tersebut kemudian kembali dimanfaatkan oleh anak dan remaja pengguna media sosial sebagai materi konten yang ditayangkan dalam akun-akun media sosial mereka. Tujuannya tetap sama: menunjukkan eksistensi dan atensi dari kelompok pertemanan virtualnya.
Penggunaan Narkoba
Di samping problem kelas sosial dan dampak sosial normal baru saat pandemi, aspek lain yang perlu diperhatikan adalah faktor penggunaan narkoba oleh anak dan remaja tersebut. Pada kasus tawuran anak dan remaja di Tanah Abang, salah satu remaja yang terlibat dan diperiksa oleh kepolisian diketahui positif menggunakan narkoba jenis ganja. Hal yang sama juga ditemukan pada kasus kedua. Pada perkelahian geng Romusha versus geng Pesing di Jakarta Barat, sejumlah pelaku diketahui menggunakan narkoba jenis sabu.
Meskipun secara teoretis keterkaitan antara penggunaan narkoba dan perilaku kekerasan masih diperdebatkan pengaruhnya satu sama lain (Parker & Aurehahn, 1998), fakta yang sejauh ini diketahui adalah sebagian mereka yang terlibat dalam dua tawuran tersebut melakukan aksinya dalam keadaan menggunakan substansi narkoba, sehingga langkah antisipasi tawuran ke depan perlu diintegrasikan dengan upaya pencegahan penggunaan narkoba di kalangan anak dan remaja.
Hindari Melabel
Orang dewasa perlu melihat masalah tawuran anak dan remaja sebagai efek samping dari situasi normal baru yang mungkin saja ditiru dan dilakukan oleh anak dan remaja lain. Ini artinya, kompleksitas penyebab tawuran harus dijadikan pertimbangan agar proses hukum terhadap anak dan remaja yang terlibat perkelahian dan melanggar hukum harus tetap dijalankan sesuai prosedur hukum yang adil dan memenuhi prinsip perlindungan anak. (Lihat videonya: Penjaga Masjid Lakukan Aksi Heroik Selamatkan Kotak Amal)
Jangan sampai penegakan hukum terhadap anak dan remaja yang terlibat tawuran dan melakukan kekerasan justru memberikan label dan stigma permanen yang mempersulit integrasi anak dengan masyarakat setelah menjalani pembinaan/hukuman.
Pengajar di Departemen Kriminologi FISIP UI
Pekan lalu, dua insiden tawuran yang melibatkan remaja kembali pecah di dua titik di Jakarta. Insiden tawuran yang pertama terjadi di wilayah Tanah Abang, Jakarta Pusat pada Sabtu (4/7) dini hari. Pada peristiwa ini, satu remaja berusia 16 tahun meninggal dunia akibat luka sabetan benda tajam. Satu hari setelahnya, kejadian tawuran kembali terjadi di kawasan Pesing, Jakarta Barat pada Minggu (5/7). Dua kelompok yang terlibat bentrok tersebut konon dikenal dengan sebutan geng Romusha dan geng Pesing. Akibat perkelahian ini, beberapa remaja mengalami luka serius.
Berikut adalah benang merah yang dapat ditarik dari kedua peristiwa tersebut. Pertama, sebagian besar pihak yang terlibat dalam perkelahian adalah para remaja. Kedua, dua tawuran tersebut diawali dari perseteruan virtual di internet. Ketiga, sebagian pelaku merekam aktivitas kekerasan yang mereka lakukan secara langsung (live) dan mengunggahnya di media sosial. Secara kriminologis-sosiologis, pertanyaan yang muncul adalah “apakah mengunggah perkelahian fisik ke Instagram merupakan bentuk dari normal baru perilaku masyarakat (khususnya para remaja) di masa pandemi ini?” (Baca: Anies Baswedan Bakal Pecat ASN yang Menyalahi Aturan)
Tawuran Remaja dan Kemiskinan
Ada indikasi kuat bahwa dua tawuran ini melibatkan remaja yang berasal dari keluarga kelas bawah. Ini tampak dari terlibatnya sejumlah siswa penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) dalam tawuran di Pesing, Jakarta Barat. KJP, sebagaimana diketahui, adalah (program beasiswa pemerintah yang diperuntukkan bagi siswa dari keluarga tidak mampu).
Mengapa para remaja ini nekat terlibat tawuran meskipun mereka sadar betul akan konsekuensi berupa dicabutnya KJP jika mereka diketahui melanggar hukum? Gagasan Albert K Cohen (1918-2014), seorang kriminolog terkemuka asal Amerika Serikat, terkait sebab-musabab keterlibatan anak dan remaja dalam perilaku delinkuen (nakal/melanggar aturan) dapat dijadikan acuan. Bagi Cohen, keterlibatan anak dalam perbuatan melanggar hukum adalah persoalan kelas sosial.
Keinginan dan mimpi anak dan remaja––termasuk yang berasal dari kelas bawah, didominasi oleh keinginan dan mimpi anak dan remaja dari keluarga kelas menengah. Mereka yang di kelas bawah terinternalisasi dengan ekspektasi dan standar kelas menengah, namun mereka tidak mampu merealisasikan ekspektasi tersebut (Kelly and Balch, 1971)
Misalnya, di masa pandemi ini, anak dan remaja dari keluarga berada mampu ikut tren membeli sepeda baru, lalu mengunggah aktivitas bersepedanya di media sosial; atau menunjukkan atribut dan simbol keistimewaan lain yang tidak bisa ditiru oleh anak dan remaja dari keluarga yang secara ekonomi relatif tidak mampu. Lalu, muncul rasa frustrasi anak dan remaja kelas bawah karena tidak mampu ikut tren dan kemudian mengelompok dengan sesamanya yang “senasib”, dan selanjutnya membentuk subkultur baru dengan kebiasaan-kebiasaan baru pula yang khas kelompok mereka sendiri. Salah satu kebiasaan baru ini, menurut Cohen, adalah perkelahian dan pelanggaran norma. (Baca juga: Erdogan: jadi Masjid, Salat Pertama di Hagia Sophia 24 Juli)
Tentunya, tidak semua anak dan remaja dari keluarga tidak mampu pasti lekat dengan aktivitas tawuran dan anak dan remaja kelas menengah, bukan berarti terlepas dari potensi perilaku perkelahian massal. Hanya, kesejahteraan keluarga menjadi dimensi yang penting dalam mencegah berulangnya peristiwa serupa.
Eksistensi Virtual saat Normal Baru
Kemiskinan merupakan salah satu hal yang relevan dalam perilaku tawuran anak dan remaja, namun bukan satu-satunya sumber persoalan. Perilaku anak dan remaja dalam menggunakan media sosial dan telepon pintar ternyata sedikit banyak juga berpengaruh dalam perilaku tawuran hari-hari ini.
Terkait itu, kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa yang fokus pada perkembangan dan masalah anak-anak (Unicef/United Nations Children’s Fund), enam tahun lalu melaporkan bahwa anak dan remaja Indonesia yang menggunakan internet mencapai 30 juta yang tersebar baik di wilayah urban maupun rural.
Pada masa normal baru ini, ketika interaksi virtual lebih dominan dibandingkan interaksi fisik maka relasi anak dan remaja dengan lingkungan sosialnya lebih banyak dilakukan dalam jaringan (daring). Media sosial menjadi platform yang memfasilitasi keterhubungan para remaja dengan lingkungan pertemanannya. Untuk selalu hadir (eksis) dalam percakapan di media sosial, para pengguna internet dari kalangan anak dan remaja ini harus terus menghasilkan konten yang dapat dilihat dan direspons oleh lingkungan pertemanan mereka. Semakin tidak biasa kontennya, semakin berpotensi seorang anak atau remaja mendapatkan atensi, tanda suka (likes atau loves) dari pengguna lain, ataupun menjadi viral.
Problemnya adalah pada dua tawuran di Jakarta pekan lalu, anak dan remaja menggunakan platform media sosial mereka untuk saling menunjukkan eksistensi diri dan kelompok pertemanan mereka, namun dengan materi percakapan yang menyinggung perasaan. Ucapan saling singgung dan saling tantang dalam dunia maya, kemudian berujung pada perkelahian fisik di dunia riil. (Baca juga: Provokasi di Media Sosial Berbuntuk Saling Serang Dua Kelompok Remaja di Jakbar
Tawuran fisik di dunia nyata tersebut kemudian kembali dimanfaatkan oleh anak dan remaja pengguna media sosial sebagai materi konten yang ditayangkan dalam akun-akun media sosial mereka. Tujuannya tetap sama: menunjukkan eksistensi dan atensi dari kelompok pertemanan virtualnya.
Penggunaan Narkoba
Di samping problem kelas sosial dan dampak sosial normal baru saat pandemi, aspek lain yang perlu diperhatikan adalah faktor penggunaan narkoba oleh anak dan remaja tersebut. Pada kasus tawuran anak dan remaja di Tanah Abang, salah satu remaja yang terlibat dan diperiksa oleh kepolisian diketahui positif menggunakan narkoba jenis ganja. Hal yang sama juga ditemukan pada kasus kedua. Pada perkelahian geng Romusha versus geng Pesing di Jakarta Barat, sejumlah pelaku diketahui menggunakan narkoba jenis sabu.
Meskipun secara teoretis keterkaitan antara penggunaan narkoba dan perilaku kekerasan masih diperdebatkan pengaruhnya satu sama lain (Parker & Aurehahn, 1998), fakta yang sejauh ini diketahui adalah sebagian mereka yang terlibat dalam dua tawuran tersebut melakukan aksinya dalam keadaan menggunakan substansi narkoba, sehingga langkah antisipasi tawuran ke depan perlu diintegrasikan dengan upaya pencegahan penggunaan narkoba di kalangan anak dan remaja.
Hindari Melabel
Orang dewasa perlu melihat masalah tawuran anak dan remaja sebagai efek samping dari situasi normal baru yang mungkin saja ditiru dan dilakukan oleh anak dan remaja lain. Ini artinya, kompleksitas penyebab tawuran harus dijadikan pertimbangan agar proses hukum terhadap anak dan remaja yang terlibat perkelahian dan melanggar hukum harus tetap dijalankan sesuai prosedur hukum yang adil dan memenuhi prinsip perlindungan anak. (Lihat videonya: Penjaga Masjid Lakukan Aksi Heroik Selamatkan Kotak Amal)
Jangan sampai penegakan hukum terhadap anak dan remaja yang terlibat tawuran dan melakukan kekerasan justru memberikan label dan stigma permanen yang mempersulit integrasi anak dengan masyarakat setelah menjalani pembinaan/hukuman.
(ysw)