Remaja Unggah Tawuran di IG: Normal Baru?

Senin, 13 Juli 2020 - 07:27 WIB
loading...
Remaja Unggah Tawuran...
Foto: dok/SINDOphoto
A A A
Bhakti Eko Nugroho
Pengajar di Departemen Kriminologi FISIP UI

Pekan lalu, dua insiden tawuran yang melibatkan remaja kembali pecah di dua titik di Jakarta. Insiden tawuran yang pertama terjadi di wilayah Tanah Abang, Jakarta Pusat pada Sabtu (4/7) dini hari. Pada peristiwa ini, satu remaja berusia 16 tahun meninggal dunia akibat luka sabetan benda tajam. Satu hari setelahnya, kejadian tawuran kembali terjadi di kawasan Pesing, Jakarta Barat pada Minggu (5/7). Dua kelompok yang terlibat bentrok tersebut konon dikenal dengan sebutan geng Romusha dan geng Pesing. Akibat perkelahian ini, beberapa remaja mengalami luka serius.

Berikut adalah benang merah yang dapat ditarik dari kedua peristiwa tersebut. Pertama, sebagian besar pihak yang terlibat dalam perkelahian adalah para remaja. Kedua, dua tawuran tersebut diawali dari perseteruan virtual di internet. Ketiga, sebagian pelaku merekam aktivitas kekerasan yang mereka lakukan secara langsung (live) dan mengunggahnya di media sosial. Secara kriminologis-sosiologis, pertanyaan yang muncul adalah “apakah mengunggah perkelahian fisik ke Instagram merupakan bentuk dari normal baru perilaku masyarakat (khususnya para remaja) di masa pandemi ini?” (Baca: Anies Baswedan Bakal Pecat ASN yang Menyalahi Aturan)

Tawuran Remaja dan Kemiskinan

Ada indikasi kuat bahwa dua tawuran ini melibatkan remaja yang berasal dari keluarga kelas bawah. Ini tampak dari terlibatnya sejumlah siswa penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) dalam tawuran di Pesing, Jakarta Barat. KJP, sebagaimana diketahui, adalah (program beasiswa pemerintah yang diperuntukkan bagi siswa dari keluarga tidak mampu).

Mengapa para remaja ini nekat terlibat tawuran meskipun mereka sadar betul akan konsekuensi berupa dicabutnya KJP jika mereka diketahui melanggar hukum? Gagasan Albert K Cohen (1918-2014), seorang kriminolog terkemuka asal Amerika Serikat, terkait sebab-musabab keterlibatan anak dan remaja dalam perilaku delinkuen (nakal/melanggar aturan) dapat dijadikan acuan. Bagi Cohen, keterlibatan anak dalam perbuatan melanggar hukum adalah persoalan kelas sosial.

Keinginan dan mimpi anak dan remaja––termasuk yang berasal dari kelas bawah, didominasi oleh keinginan dan mimpi anak dan remaja dari keluarga kelas menengah. Mereka yang di kelas bawah terinternalisasi dengan ekspektasi dan standar kelas menengah, namun mereka tidak mampu merealisasikan ekspektasi tersebut (Kelly and Balch, 1971)

Misalnya, di masa pandemi ini, anak dan remaja dari keluarga berada mampu ikut tren membeli sepeda baru, lalu mengunggah aktivitas bersepedanya di media sosial; atau menunjukkan atribut dan simbol keistimewaan lain yang tidak bisa ditiru oleh anak dan remaja dari keluarga yang secara ekonomi relatif tidak mampu. Lalu, muncul rasa frustrasi anak dan remaja kelas bawah karena tidak mampu ikut tren dan kemudian mengelompok dengan sesamanya yang “senasib”, dan selanjutnya membentuk subkultur baru dengan kebiasaan-kebiasaan baru pula yang khas kelompok mereka sendiri. Salah satu kebiasaan baru ini, menurut Cohen, adalah perkelahian dan pelanggaran norma. (Baca juga: Erdogan: jadi Masjid, Salat Pertama di Hagia Sophia 24 Juli)

Tentunya, tidak semua anak dan remaja dari keluarga tidak mampu pasti lekat dengan aktivitas tawuran dan anak dan remaja kelas menengah, bukan berarti terlepas dari potensi perilaku perkelahian massal. Hanya, kesejahteraan keluarga menjadi dimensi yang penting dalam mencegah berulangnya peristiwa serupa.

Eksistensi Virtual saat Normal Baru
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1563 seconds (0.1#10.140)