Politisi Senior DKI Tolak Penundaan Pemilu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wacana penundaan Pemilu 2024 yang dilontarkan oleh sejumlah ketua umum partai politik dianggap telah mengalami krisis keteladanan dan krisi negarawan. Hal demikian disampaikan oleh politisi senior DKI Burzah Zarnubi.
Burza mengatakan, peta jalan demokrasi Indonesia telah susah payah dibangun bersama sejak masa reformasi. Dia menyayangkan jika bangunan demokrasi dalam konstitusi yang merupakan kesepakatan berbangsa itu dihancurkan hanya karena nafsu politik segelintir orang.
"Reformasi telah mengantarkan kita menuju demokrasi, namun kini ada gejala partai politik akan marusak roadmap demokrasi kita," kata Bursah dalam diskusi terbatas bertema Wacana Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden di bilangan Duren Tiga Pancoran Jakarta Selatan, seperti dikutip dari keterangan rilisnya, Selasa (1/3/2022).
Bursah menjelaskan, peta jalan demokrasi Indonesia telah susah payah dibangun bersama sejak masa reformasi. Dia menyayangkan jika bangunan demokrasi dalam konstitusi yang merupakan kesepakatan berbangsa itu dihancurkan hanya karena nafsu politik segelintir orang.
"Reformasi telah mengantarkan kita menuju demokrasi, namun kini ada gejala partai politik akan marusak roadmap demokrasi kita," kata Bursah.
Bursah menolak tegas upaya amandemen konstitusi untuk penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden dengan dalih apapun. Dia menilai, kalau itu dilakukan sangat mencederai akal sehat dan merusak masa depan demokrasi.
"Amandeman itu seharusnya bertujuan untuk menyempurnakan yang kurang, bukan merusak yang sudah bagus. Kalau ini dipaksakan tentu akan memiliki konsekuensi sejarah tidak baik bagi citra pemerintahan Presiden Jokowi," kata Bursah.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, kondisi krisis ekonomi tahun 1998 jauh lebih terpuruk dari saat ini. Nyatanya Indonesia mampu menyelenggarakan pemilu demokratis pada 1999 dengan peserta 48 parpol.
Ditegaskan Anthony, belum ada sejarahnya di belahan dunia manapun yang menunda pemilu karena alasan tidak ada dana. Dalam hal dana, pemerintah bisa meminjam uang dari dalam negeri, atau bisa juga dengan melakukan relokasi anggaran dari sektor lain.
"Anggaran buat infrasturktur bisa direlokasi untuk pemilu. Uangnya jadi beredar di masyarakat kecil. Ini multiplier effect-nya lebih tinggi. Apakah ketum parpol itu sudah mempelajari itu atau belum?" tanya Anthony.
Sementara itu Gamari Sutrisno menyambut baik banyaknya elemen masyarakat yang menyuarakan penolakan terhadap usulan penundaan pemilu. Dia prihatin karena permasalahan bangsa Indonesia kini hampir terjadi di semua aspek kehidupan mulai dari sosial, politik, ekonomi, hingga ideologi.
Keadaan diperparah dengan tidak berjalannya fungsi pengawasan oleh legislatif sebagaimana mestinya. malahan legislatif cenderung berkolaborasi dengan eksekutif dan bahkan yudikatif.
"Untuk memperbaiki keadaan, langkah aksi kita diperlukan untuk mencegah kerusakan yang semakin parah," kata Gamari.
Senada dengan Gamari, Ariady Achmad mengusulkan agar suara penolakan yang sudah ada dihimpun dan diformulasikan dalam agenda aksi berupa petisi.
"Petisi ini harus segera dibuat karena yang kita hadapi ini tidak main main. Kita kini turun gunung karena batas toleransi kita sudah dilampaui," kata Ariady.
Hal serupa juga disampaikan Sayuti Asyathri. Dia setuju dengan pendapat Ariady bahwa yang dihadapi bukan hal kecil karena ada kepentingan oligarki global.
"Oligari global ini akan berupaya terus menjadikan kita lumpuh dan tidak berdaya. Sebenarnya, para ketua umum Parpol itu pun sudah putus asa karena mereka juga tidak didengar," kata Sayuti.
Burza mengatakan, peta jalan demokrasi Indonesia telah susah payah dibangun bersama sejak masa reformasi. Dia menyayangkan jika bangunan demokrasi dalam konstitusi yang merupakan kesepakatan berbangsa itu dihancurkan hanya karena nafsu politik segelintir orang.
"Reformasi telah mengantarkan kita menuju demokrasi, namun kini ada gejala partai politik akan marusak roadmap demokrasi kita," kata Bursah dalam diskusi terbatas bertema Wacana Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden di bilangan Duren Tiga Pancoran Jakarta Selatan, seperti dikutip dari keterangan rilisnya, Selasa (1/3/2022).
Bursah menjelaskan, peta jalan demokrasi Indonesia telah susah payah dibangun bersama sejak masa reformasi. Dia menyayangkan jika bangunan demokrasi dalam konstitusi yang merupakan kesepakatan berbangsa itu dihancurkan hanya karena nafsu politik segelintir orang.
"Reformasi telah mengantarkan kita menuju demokrasi, namun kini ada gejala partai politik akan marusak roadmap demokrasi kita," kata Bursah.
Bursah menolak tegas upaya amandemen konstitusi untuk penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden dengan dalih apapun. Dia menilai, kalau itu dilakukan sangat mencederai akal sehat dan merusak masa depan demokrasi.
"Amandeman itu seharusnya bertujuan untuk menyempurnakan yang kurang, bukan merusak yang sudah bagus. Kalau ini dipaksakan tentu akan memiliki konsekuensi sejarah tidak baik bagi citra pemerintahan Presiden Jokowi," kata Bursah.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, kondisi krisis ekonomi tahun 1998 jauh lebih terpuruk dari saat ini. Nyatanya Indonesia mampu menyelenggarakan pemilu demokratis pada 1999 dengan peserta 48 parpol.
Ditegaskan Anthony, belum ada sejarahnya di belahan dunia manapun yang menunda pemilu karena alasan tidak ada dana. Dalam hal dana, pemerintah bisa meminjam uang dari dalam negeri, atau bisa juga dengan melakukan relokasi anggaran dari sektor lain.
"Anggaran buat infrasturktur bisa direlokasi untuk pemilu. Uangnya jadi beredar di masyarakat kecil. Ini multiplier effect-nya lebih tinggi. Apakah ketum parpol itu sudah mempelajari itu atau belum?" tanya Anthony.
Sementara itu Gamari Sutrisno menyambut baik banyaknya elemen masyarakat yang menyuarakan penolakan terhadap usulan penundaan pemilu. Dia prihatin karena permasalahan bangsa Indonesia kini hampir terjadi di semua aspek kehidupan mulai dari sosial, politik, ekonomi, hingga ideologi.
Keadaan diperparah dengan tidak berjalannya fungsi pengawasan oleh legislatif sebagaimana mestinya. malahan legislatif cenderung berkolaborasi dengan eksekutif dan bahkan yudikatif.
"Untuk memperbaiki keadaan, langkah aksi kita diperlukan untuk mencegah kerusakan yang semakin parah," kata Gamari.
Senada dengan Gamari, Ariady Achmad mengusulkan agar suara penolakan yang sudah ada dihimpun dan diformulasikan dalam agenda aksi berupa petisi.
"Petisi ini harus segera dibuat karena yang kita hadapi ini tidak main main. Kita kini turun gunung karena batas toleransi kita sudah dilampaui," kata Ariady.
Hal serupa juga disampaikan Sayuti Asyathri. Dia setuju dengan pendapat Ariady bahwa yang dihadapi bukan hal kecil karena ada kepentingan oligarki global.
"Oligari global ini akan berupaya terus menjadikan kita lumpuh dan tidak berdaya. Sebenarnya, para ketua umum Parpol itu pun sudah putus asa karena mereka juga tidak didengar," kata Sayuti.
(mhd)