Kelenteng Ancol, Simbol Kerukunan Umat Konghucu, Budha, Tao, dan Muslim
loading...
A
A
A
Juru kunci makam Mbah Areli dan Ibu Enneg, Suparto (30), banyak peziarah Kelenteng Ancol yang menghantar doa untuk kedua tokoh tersebut. Sebelum menuju ruang utama terdapat koridor beratap. Di kanan kiri koridor terdapat kolam dan sungai yang telah mati akibat penutupan aliran oleh pengembang fasilitas rekreasi di Ancol.
Sungai yang dahulu dipercaya tempat berlabuhnya kapal empunya Klenteng Ancol—Sampo Seoi Soe—kini telah menjadi kolam. Sebuah pompa air dipasang di ujung tembok kolam untuk mengantisipasi meluapnya air saat kolam tak mampu menampung banyaknya air hujan.
Sam Poo Soei Soe dikuburkan berdua dengan Sitiwati. Makam mereka nyaris tidak terlihat. Sebab, berada di bawah rak dengan dua boneka yang menjadi representasi Sam Poo Soei Soe dan istrinya tersebut. Di depan makam, terletak sebuah altar persembahyangan yang cukup besar.
Di bagian belakang kelenteng tersebut, masih ada makam lagi. Yakni, makam Mbah Said Areli Dato Kembang dan istrinya, Ibu Enneng. Mereka adalah orang tua Sitiwati. Seperti anaknya, mereka berdua dimakamkan dalam satu liang lahat.
Bukan hanya pemeluk Khonghucu yang datang untuk memberikan penghormatan, tetapi juga kadang umat Islam. “Sering juga kok ada kelompok pengajian yang datang, kemudian tahlilan dan yasinan di sini,” ungkap Suparto.
Namun, jumlah mereka memang tidak sebanyak pemeluk Khonghucu. Pria yang juga seorang muslim itu mengaku bisa memahaminya. “Mungkin karena banyak umat Islam yang tidak tahu. Juga agak sungkan jika datang ke kelenteng untuk mendoakan,” terang Parto.
Padahal, lanjut Suparto, seluruh penjaga kelenteng yang berjumlah 15 orang adalah muslim. “Jadi, kami sangat terbuka jika ada umat Islam yang berziarah seperti ziarah ke makam wali-wali,” terangnya. Sebab, Mbah Said dan anaknya juga seorang ulama yang mendakwahkan Islam di kawasan Ancol dan sekitarnya.
Sungai yang dahulu dipercaya tempat berlabuhnya kapal empunya Klenteng Ancol—Sampo Seoi Soe—kini telah menjadi kolam. Sebuah pompa air dipasang di ujung tembok kolam untuk mengantisipasi meluapnya air saat kolam tak mampu menampung banyaknya air hujan.
Sam Poo Soei Soe dikuburkan berdua dengan Sitiwati. Makam mereka nyaris tidak terlihat. Sebab, berada di bawah rak dengan dua boneka yang menjadi representasi Sam Poo Soei Soe dan istrinya tersebut. Di depan makam, terletak sebuah altar persembahyangan yang cukup besar.
Di bagian belakang kelenteng tersebut, masih ada makam lagi. Yakni, makam Mbah Said Areli Dato Kembang dan istrinya, Ibu Enneng. Mereka adalah orang tua Sitiwati. Seperti anaknya, mereka berdua dimakamkan dalam satu liang lahat.
Bukan hanya pemeluk Khonghucu yang datang untuk memberikan penghormatan, tetapi juga kadang umat Islam. “Sering juga kok ada kelompok pengajian yang datang, kemudian tahlilan dan yasinan di sini,” ungkap Suparto.
Namun, jumlah mereka memang tidak sebanyak pemeluk Khonghucu. Pria yang juga seorang muslim itu mengaku bisa memahaminya. “Mungkin karena banyak umat Islam yang tidak tahu. Juga agak sungkan jika datang ke kelenteng untuk mendoakan,” terang Parto.
Padahal, lanjut Suparto, seluruh penjaga kelenteng yang berjumlah 15 orang adalah muslim. “Jadi, kami sangat terbuka jika ada umat Islam yang berziarah seperti ziarah ke makam wali-wali,” terangnya. Sebab, Mbah Said dan anaknya juga seorang ulama yang mendakwahkan Islam di kawasan Ancol dan sekitarnya.
(hab)