Kelenteng Ancol, Simbol Kerukunan Umat Konghucu, Budha, Tao, dan Muslim
loading...
A
A
A
JAKARTA - Budaya etnis China tidak hanya melekat pada tradisi agama Konghucu, Budha, dan Tao, tetapi juga melekat pada agama Islam. Hal ini berkaitan dengan agama Islam yang dibawa oleh Laksamana Ceng Ho, seorang saudagar muslim dari China yang penjelajarah maritim antara tahun 1421-1423 M. Cheng Ho dikirim Kaisar Zhu Di (Yong Le) dari Dinasti Ming yang memerintah antara tahun 1402-1424 M.
Selain Ma Huan sebagai sekretaris pribadinya, Cheng Ho juga membawa juru masak bernama Sampo Soei Soe. Saat itu, kapal milik Cheng Ho tengah merapat ke tepian sungai Ancol yang bernama Kota Paris.
Di Kota Paris inilah, Sampo Soei Soe yang merupakan seorang muslim, jatuh hati kepada seorang penari ronggeng bernama Siti Wati. Siti adalah anak seorang ulama terkenal bernama Mbah Areli Dato Kembang dan Ibu Enneng.
Rasa cintanya kepada Siti, akhirnya membuat Sampo Soei Soe memutuskan menetap di Nusantara setelah meminang pujaan hatinya. Bertahun-tahun kemudian, rombongan orang-orang China datang untuk mencari Sampo Soei Soe.
Malang, mereka justru mendapati juru masak Laksamana Cheng Ho itu dalam keadaan tak bernyawa. Untuk menghormatinya, mereka kemudian membangun tempat pemujaan yang kini dijadikan kelenteng bernama Vihara Bahtera Bhakti atau yang lebih dikenal Kelenteng Ancol karena lokasi di kawasan Ancol, Jakarta Utara.
Untuk itu, tak heran jika di dalam vihara terdapat satu ruangan khusus untuk mendoakan Sampo Soei Soe dan istrinya. Lokasi ruangan itu berada di sisi kanan altar utama. Selain itu, vihara ini juga menyediakan ruangan khusus untuk mendoakan orang tua Siti Wati.
Ruangan tersebut berada di bagian belakang vihara, tepat di makam Mbah Said Areli Dato Kembang dan Ibu Enneng. Karena keempatnya adalah seorang muslim, vihara ini pun tak hanya menjadi milik umat Konghuchu, Budha, atau Tao saja. Beberapa umat Islam, secara rutin juga datang untuk berziarah ke makam.
Menurut salah seorang pengurus Vihara Bahtera Bhakti, Apriyanto, sepanjang perjalanannya, bangunan ini telah berganti nama beberapa kali. Awalnya, dikenal dengan nama Kelenteng Da Bo Gong, lalu berganti menjadi Kelenteng Ancol, dan kemudian menggunakan nama sekarang.
"Dulu dikenal dengan nama Da Bo Gong, penyembah Dewa Bumi. Terus berganti jadi Kelenteng Ancol karena letaknya di daerah Ancol. Tahun 1984, kita berubah lagi jadi Vihara Bahtera Bhakti," jelas Apriyanto.
Kelenteng ini mulai banyak dikunjungi umat sejak abad ke-17. Tak hanya umat Konghucu, Buddha, atau Tao, tetapi umat Islam pun datang melakukan ziarah untuk mendoakan keempat orang muslim, Sampo Soei Soe, Siti Wati, Mbah Areli Dato Kembang, dan Ibu Enneng.
Khusus untuk altar pemujaan Ibu Siti Wati dan Sampo Soei Soe, serta makam Mbah Areli Dato Kembang dan Ibu Enneng, umat tidak diperkenankan untuk membawa sajian yang berbahan dasar daging babi. Umat Budha dan Konghucu di Kelenteng Ancol sangat menghormati empat orang muslim tersebut.
Juru kunci makam Mbah Areli dan Ibu Enneg, Suparto (30), banyak peziarah Kelenteng Ancol yang menghantar doa untuk kedua tokoh tersebut. Sebelum menuju ruang utama terdapat koridor beratap. Di kanan kiri koridor terdapat kolam dan sungai yang telah mati akibat penutupan aliran oleh pengembang fasilitas rekreasi di Ancol.
Sungai yang dahulu dipercaya tempat berlabuhnya kapal empunya Klenteng Ancol—Sampo Seoi Soe—kini telah menjadi kolam. Sebuah pompa air dipasang di ujung tembok kolam untuk mengantisipasi meluapnya air saat kolam tak mampu menampung banyaknya air hujan.
Sam Poo Soei Soe dikuburkan berdua dengan Sitiwati. Makam mereka nyaris tidak terlihat. Sebab, berada di bawah rak dengan dua boneka yang menjadi representasi Sam Poo Soei Soe dan istrinya tersebut. Di depan makam, terletak sebuah altar persembahyangan yang cukup besar.
Di bagian belakang kelenteng tersebut, masih ada makam lagi. Yakni, makam Mbah Said Areli Dato Kembang dan istrinya, Ibu Enneng. Mereka adalah orang tua Sitiwati. Seperti anaknya, mereka berdua dimakamkan dalam satu liang lahat.
Bukan hanya pemeluk Khonghucu yang datang untuk memberikan penghormatan, tetapi juga kadang umat Islam. “Sering juga kok ada kelompok pengajian yang datang, kemudian tahlilan dan yasinan di sini,” ungkap Suparto.
Namun, jumlah mereka memang tidak sebanyak pemeluk Khonghucu. Pria yang juga seorang muslim itu mengaku bisa memahaminya. “Mungkin karena banyak umat Islam yang tidak tahu. Juga agak sungkan jika datang ke kelenteng untuk mendoakan,” terang Parto.
Padahal, lanjut Suparto, seluruh penjaga kelenteng yang berjumlah 15 orang adalah muslim. “Jadi, kami sangat terbuka jika ada umat Islam yang berziarah seperti ziarah ke makam wali-wali,” terangnya. Sebab, Mbah Said dan anaknya juga seorang ulama yang mendakwahkan Islam di kawasan Ancol dan sekitarnya.
Selain Ma Huan sebagai sekretaris pribadinya, Cheng Ho juga membawa juru masak bernama Sampo Soei Soe. Saat itu, kapal milik Cheng Ho tengah merapat ke tepian sungai Ancol yang bernama Kota Paris.
Di Kota Paris inilah, Sampo Soei Soe yang merupakan seorang muslim, jatuh hati kepada seorang penari ronggeng bernama Siti Wati. Siti adalah anak seorang ulama terkenal bernama Mbah Areli Dato Kembang dan Ibu Enneng.
Rasa cintanya kepada Siti, akhirnya membuat Sampo Soei Soe memutuskan menetap di Nusantara setelah meminang pujaan hatinya. Bertahun-tahun kemudian, rombongan orang-orang China datang untuk mencari Sampo Soei Soe.
Malang, mereka justru mendapati juru masak Laksamana Cheng Ho itu dalam keadaan tak bernyawa. Untuk menghormatinya, mereka kemudian membangun tempat pemujaan yang kini dijadikan kelenteng bernama Vihara Bahtera Bhakti atau yang lebih dikenal Kelenteng Ancol karena lokasi di kawasan Ancol, Jakarta Utara.
Untuk itu, tak heran jika di dalam vihara terdapat satu ruangan khusus untuk mendoakan Sampo Soei Soe dan istrinya. Lokasi ruangan itu berada di sisi kanan altar utama. Selain itu, vihara ini juga menyediakan ruangan khusus untuk mendoakan orang tua Siti Wati.
Ruangan tersebut berada di bagian belakang vihara, tepat di makam Mbah Said Areli Dato Kembang dan Ibu Enneng. Karena keempatnya adalah seorang muslim, vihara ini pun tak hanya menjadi milik umat Konghuchu, Budha, atau Tao saja. Beberapa umat Islam, secara rutin juga datang untuk berziarah ke makam.
Menurut salah seorang pengurus Vihara Bahtera Bhakti, Apriyanto, sepanjang perjalanannya, bangunan ini telah berganti nama beberapa kali. Awalnya, dikenal dengan nama Kelenteng Da Bo Gong, lalu berganti menjadi Kelenteng Ancol, dan kemudian menggunakan nama sekarang.
"Dulu dikenal dengan nama Da Bo Gong, penyembah Dewa Bumi. Terus berganti jadi Kelenteng Ancol karena letaknya di daerah Ancol. Tahun 1984, kita berubah lagi jadi Vihara Bahtera Bhakti," jelas Apriyanto.
Kelenteng ini mulai banyak dikunjungi umat sejak abad ke-17. Tak hanya umat Konghucu, Buddha, atau Tao, tetapi umat Islam pun datang melakukan ziarah untuk mendoakan keempat orang muslim, Sampo Soei Soe, Siti Wati, Mbah Areli Dato Kembang, dan Ibu Enneng.
Khusus untuk altar pemujaan Ibu Siti Wati dan Sampo Soei Soe, serta makam Mbah Areli Dato Kembang dan Ibu Enneng, umat tidak diperkenankan untuk membawa sajian yang berbahan dasar daging babi. Umat Budha dan Konghucu di Kelenteng Ancol sangat menghormati empat orang muslim tersebut.
Juru kunci makam Mbah Areli dan Ibu Enneg, Suparto (30), banyak peziarah Kelenteng Ancol yang menghantar doa untuk kedua tokoh tersebut. Sebelum menuju ruang utama terdapat koridor beratap. Di kanan kiri koridor terdapat kolam dan sungai yang telah mati akibat penutupan aliran oleh pengembang fasilitas rekreasi di Ancol.
Sungai yang dahulu dipercaya tempat berlabuhnya kapal empunya Klenteng Ancol—Sampo Seoi Soe—kini telah menjadi kolam. Sebuah pompa air dipasang di ujung tembok kolam untuk mengantisipasi meluapnya air saat kolam tak mampu menampung banyaknya air hujan.
Sam Poo Soei Soe dikuburkan berdua dengan Sitiwati. Makam mereka nyaris tidak terlihat. Sebab, berada di bawah rak dengan dua boneka yang menjadi representasi Sam Poo Soei Soe dan istrinya tersebut. Di depan makam, terletak sebuah altar persembahyangan yang cukup besar.
Di bagian belakang kelenteng tersebut, masih ada makam lagi. Yakni, makam Mbah Said Areli Dato Kembang dan istrinya, Ibu Enneng. Mereka adalah orang tua Sitiwati. Seperti anaknya, mereka berdua dimakamkan dalam satu liang lahat.
Bukan hanya pemeluk Khonghucu yang datang untuk memberikan penghormatan, tetapi juga kadang umat Islam. “Sering juga kok ada kelompok pengajian yang datang, kemudian tahlilan dan yasinan di sini,” ungkap Suparto.
Namun, jumlah mereka memang tidak sebanyak pemeluk Khonghucu. Pria yang juga seorang muslim itu mengaku bisa memahaminya. “Mungkin karena banyak umat Islam yang tidak tahu. Juga agak sungkan jika datang ke kelenteng untuk mendoakan,” terang Parto.
Padahal, lanjut Suparto, seluruh penjaga kelenteng yang berjumlah 15 orang adalah muslim. “Jadi, kami sangat terbuka jika ada umat Islam yang berziarah seperti ziarah ke makam wali-wali,” terangnya. Sebab, Mbah Said dan anaknya juga seorang ulama yang mendakwahkan Islam di kawasan Ancol dan sekitarnya.
(hab)