Kisah Lumbung Padi dan Cornelis dari Depok
loading...
A
A
A
TIDAK banyak yang tahu siapa Cornelis Chastelein, lelaki asal Hindia Belanda yang ikut andil menorehkan kisahnya dalam sejarah berdirinya Kota Depok .
Cornelis seorang yang menjadi sponsor penanaman kopi dan gula tebu di Indonesia. Sebagai orang kaya raya di era-nya, Cornelis melebaran bisnisnya hingga membeli 1244 ha tanah di Depok pada 1696. Baca Juga: Menjaga Tradisi Betawi di Bekasi
Meskipun jauh sebelum kedatangan Cornelis, Depok sudah berpenduduk, namun saat itu hubungan sosial masyarakat Depok belum terlihat. Antara rumah satu, dengan rumah lainnya bisa berjarak hingga 5 kilo meter jauhnya.
Tanah yang dibeli Cornelis, meliputi hingga Kelurahan Depok, Kelurahan Pancoran Mas, Kelurahan Depok Jaya, Desa Mampang sebelah selatan jalan, Desa Rangkapan Jaya, dan Desa Rangkapan Jaya Baru.
Tak lama setelah kedatangan Cornelis yang membawa 150 orang budaknya, masyarakat Depok mulai mempunyai hubungan sosial tinggi. Keadaan ini juga didukung dengan bertambahnya kelompok penduduk, yaitu penduduk Cornelis Chastelein yang terdiri dari para pengikutnya. Cornelis membeli budak-budak untuk dipekerjakan di lahan pertaniannya dari raja Bali, dan para budaknya berasal dari Bali, Sulawesi, dan Timor.
Lumbung padi di Kota Depok. Foto: SINDOnews/Hermanto
Dari dulu, penduduk asli kampung Depok bekerja sebagai petani dengan menanam padi. Terutama di daerah Sawangan Depok, di lokasi itu terkenal dengan lahan sawah yang sangat luas dan hasil tanaman padi melimpah.
Cornelis tidak sempat membeli tanah yang berada di lokasi Sawangan. Saat itu, selain padi, daerah Sawangan juga dipenuhi hutan karet yang membentang luas. Baca Juga: Cerita Betawi, Penyakit Zaman dulu dan Pengobatannya Secara Tradisional
Kita tinggalkan cerita Cornelis--, sambil melihat satu lokasi di daerah Bojongsari Sawangan Depok. Kabarnya saking melimpahnya tanaman padi di daerah tersebut, Cornelis bahkan pernah mampir ke Sawangan.
Jejak hasil tanaman padi yg melimpah pada zamanya masih bisa kita lihat hingga saat ini. Tadi pagi saya mencoba menelusuri beberapa jalur di perkampungan di Bojongsari, dengan menggunakan sepeda. Kelok-kelokan sawah dan empang dengan sungai sungai kecil berair jernih masih bisa kita dapati di sini, secara tidak sengaja saat melewati satu kampung.
Saya tertarik dengan penampakan satu rumah khas Sunda Betawi berukuran besar nan asri yang higga kini masih di tempati. Di depan rumah tersebut tergantung sebuah spanduk beberapa menu makanan khas Sunda. Namun tidak ada aktifitas jual beli, artinya belum lama ini rumah yang kabarnya telah ada pada tahun 1917 itu pernah digunakan sebaga rumah makan.
Rumah berbentuk semi panggung itu dilengkapi pendopo utama. Meski terlihat masih kokoh tiang, dinding, dan atap nya telihat sudah sangat kusam termakan usia. Lembaran atapnya bahkan terlihat sangat jadul dan tak bisa di dapatkan di toko material. Saat berdiri di beberapa sudut rumah, saya seolah terbawa pada zaman old. “Tentu merupakan petualangan mengasyikkan jika misalnya bisa kembali ke masa lalu”, Sambil berhkayal dan membayangkan bagaimana kesibukan para petani dan warga dahulu hilir-mudik di pekarangan rumah itu.
Apalagi terdapat sebuah lumbung padi tua yg masih berdiri, meskipun terlihat ringkih karena usia. Lumbung itu tidak begitu besar, tapi kira-kira cukup untuk menyimpan gabah bagi semua warga kampung itu selama sebulan, apalagi pasti warganya belum sebanyak sekarang. Di depan lumbung, ada sebuah alu, atau tumbukan terbuat dari batang pohon jati besar. Alu ini pasti digunakan untuk menumbuk gabah agar menghasilkan beras. Kata temanku rumah ini lagi di pantau dinas wisata Kota Depok untuk dijadikan salah satu cagar budaya di Kota Depok. Nah bagaimana kabar Cornelis. Selanjutnya saya akan ceritakan kembali di lain kesempatan.
Cornelis seorang yang menjadi sponsor penanaman kopi dan gula tebu di Indonesia. Sebagai orang kaya raya di era-nya, Cornelis melebaran bisnisnya hingga membeli 1244 ha tanah di Depok pada 1696. Baca Juga: Menjaga Tradisi Betawi di Bekasi
Meskipun jauh sebelum kedatangan Cornelis, Depok sudah berpenduduk, namun saat itu hubungan sosial masyarakat Depok belum terlihat. Antara rumah satu, dengan rumah lainnya bisa berjarak hingga 5 kilo meter jauhnya.
Tanah yang dibeli Cornelis, meliputi hingga Kelurahan Depok, Kelurahan Pancoran Mas, Kelurahan Depok Jaya, Desa Mampang sebelah selatan jalan, Desa Rangkapan Jaya, dan Desa Rangkapan Jaya Baru.
Tak lama setelah kedatangan Cornelis yang membawa 150 orang budaknya, masyarakat Depok mulai mempunyai hubungan sosial tinggi. Keadaan ini juga didukung dengan bertambahnya kelompok penduduk, yaitu penduduk Cornelis Chastelein yang terdiri dari para pengikutnya. Cornelis membeli budak-budak untuk dipekerjakan di lahan pertaniannya dari raja Bali, dan para budaknya berasal dari Bali, Sulawesi, dan Timor.
Lumbung padi di Kota Depok. Foto: SINDOnews/Hermanto
Dari dulu, penduduk asli kampung Depok bekerja sebagai petani dengan menanam padi. Terutama di daerah Sawangan Depok, di lokasi itu terkenal dengan lahan sawah yang sangat luas dan hasil tanaman padi melimpah.
Cornelis tidak sempat membeli tanah yang berada di lokasi Sawangan. Saat itu, selain padi, daerah Sawangan juga dipenuhi hutan karet yang membentang luas. Baca Juga: Cerita Betawi, Penyakit Zaman dulu dan Pengobatannya Secara Tradisional
Kita tinggalkan cerita Cornelis--, sambil melihat satu lokasi di daerah Bojongsari Sawangan Depok. Kabarnya saking melimpahnya tanaman padi di daerah tersebut, Cornelis bahkan pernah mampir ke Sawangan.
Jejak hasil tanaman padi yg melimpah pada zamanya masih bisa kita lihat hingga saat ini. Tadi pagi saya mencoba menelusuri beberapa jalur di perkampungan di Bojongsari, dengan menggunakan sepeda. Kelok-kelokan sawah dan empang dengan sungai sungai kecil berair jernih masih bisa kita dapati di sini, secara tidak sengaja saat melewati satu kampung.
Saya tertarik dengan penampakan satu rumah khas Sunda Betawi berukuran besar nan asri yang higga kini masih di tempati. Di depan rumah tersebut tergantung sebuah spanduk beberapa menu makanan khas Sunda. Namun tidak ada aktifitas jual beli, artinya belum lama ini rumah yang kabarnya telah ada pada tahun 1917 itu pernah digunakan sebaga rumah makan.
Rumah berbentuk semi panggung itu dilengkapi pendopo utama. Meski terlihat masih kokoh tiang, dinding, dan atap nya telihat sudah sangat kusam termakan usia. Lembaran atapnya bahkan terlihat sangat jadul dan tak bisa di dapatkan di toko material. Saat berdiri di beberapa sudut rumah, saya seolah terbawa pada zaman old. “Tentu merupakan petualangan mengasyikkan jika misalnya bisa kembali ke masa lalu”, Sambil berhkayal dan membayangkan bagaimana kesibukan para petani dan warga dahulu hilir-mudik di pekarangan rumah itu.
Apalagi terdapat sebuah lumbung padi tua yg masih berdiri, meskipun terlihat ringkih karena usia. Lumbung itu tidak begitu besar, tapi kira-kira cukup untuk menyimpan gabah bagi semua warga kampung itu selama sebulan, apalagi pasti warganya belum sebanyak sekarang. Di depan lumbung, ada sebuah alu, atau tumbukan terbuat dari batang pohon jati besar. Alu ini pasti digunakan untuk menumbuk gabah agar menghasilkan beras. Kata temanku rumah ini lagi di pantau dinas wisata Kota Depok untuk dijadikan salah satu cagar budaya di Kota Depok. Nah bagaimana kabar Cornelis. Selanjutnya saya akan ceritakan kembali di lain kesempatan.
(mhd)