Kisah Taman Mini; Digagas Ibu Tien, Diperjuangkan Ali Sadikin, Kini Diambil Alih Jokowi
loading...
A
A
A
Baca juga: Mensesneg Sebut TMII Bakal Dikelola BUMN Pariwisata
Kunjungan Ibu Tien Soeharto ke objek-objek wisata tersebut mendorongnya untuk mewujudkan ide ke dalam suatu proyek dengan membuat taman tempat rekreasi yang mampu menggambarkan kebesaran dan keindahan Indonesia dalam bentuk yang mini. Pada tanggal 30 Januari 1971, tepatnya pada saat penutupan Rapat Kerja Gubernur, Bupati, dan Walikota seluruh Indonesia di Istana Negara, Ibu Tien Soeharto didampingi Menteri Dalam Negeri saat itu, Amir Mahmud, untuk pertama kalinya memaparkan maksud dan tujuan pembangunan Miniatur Indonesia “Indonesia Indah”.
Plank kepemilikan oleh negara sudah terpasang di TMII. Foto:SINDOnews/Yorri Farli
Berbagai saran, tanggapan,dan pemikiran dari berbagai kelompok masyarakat pun muncul, yang sebagian besar mendukung pembangunan proyek tersebut.Pada tanggal 11 Agustus 1971, dengan surat YHK Ibu Tien Soeharto menugaskan Nusa Consultans untuk membuat rencana induk dan studi kelayakan. Tugas itu selesai dalam waktu 3,5 bulan.
Awalnya, lokasi pembangunan TMII direncanakan di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, di atas tanah seluas 14 hektare. Namun Gubernur DKI Jakarta yang saat itu dijabat Ali Sadikin menyarankan agar lokasi pembangunan TMII dipindah ke daerah sekitar Pondok Gede, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Alasannya, di sana tersedia lahan seluas kurang lebih 100 hektare. Selain lebih luas, lokasi itu juga mengikuti perkembangan kota Jakarta di kemudian hari.Akhirnya, pada tanggal 30 Juni1972 proyek TMII dimulai.
Rancangan bangunan utama berupa peta relief Miniatur Indonesia berikut penyediaan airnya, Tugu Api Pancasila, bangunan Joglo, dan Gedung Pengelolaan disiapkan oleh Nusa Consultants berikut pembuatan jalan dan penyediaan kavling tiap-tiap bangunan.Rancangan bangunan lain, seperti bangunan khas tiap daerah, dikerjakan oleh berbagai biro arsitek, Nusa Consultants hanya membantu menjaga keserasian secara keseluruhan. Hanya dalam kurun waktu tiga tahun, pembangunan TMII tahap pertama dinyatakan selesai. Pada tanggal 20 April 1975, Taman Mini Indonesia Indah diresmikan pembukaannya oleh Presiden Soeharto.
Namun sebenarnya tidak mudah mewujudkan keinginan Ibu Tien Soeharto itu. Gelombang penolakan dari berbagai kalangan terus bermunculan. Penolakan datang baik dalam bentuk diskusi-diskusi maupun turun ke jalan yang dimotori mahasiswa. Mahasiswa berpendapat saat itu Indonesia belum membutuhkan “taman” yang nilainya cukup mewah. Apalagi Ibu Tien sempat melontarkan pernyataan bahwa TMII butuh dana Rp10,5 miliar. Dengan anggaran sebesar itu jelas TMII tergolong proyek mercusuar dan terlalu mewah pada saat itu. Mahasiswa menganggap anggaran untuk proyek TMII lebih baik dan bermanfaat jika digunakan untuk mengembangkan pendidikan, ekonomi, atau sarana publik.
Ali Sadikin mendampingi Soeharto dan Ibu Tien pada 17 Juli 1971. Foto: Dok Perpusnas
Tapi boleh dibilang beruntung proyek itu berada di wilayah DKI Jakarta yang saat itu dipimpin oleh Ali Sadikin, yang dijuluki Gubernur "Keras Kepala". Pria yang akrab disapa Bang Ali bahkan sampai harus meladeni mahasiswa berjam-jam untuk berdebat soal proyek TMII. Pada suatu ketika, Bang Ali baru tiba dari Manila, Philipina. Badan tentu masih terasa lelah akibat kurang istirahat. Namun mahasiswa ngotot segera ingin bertemu terkait pembangunan TMII. Bahkan saat masih di Manila pun, Bang Ali sudah mendapat telepon dari stafnya yang mengabarkan mahasiswa gelisah dan rebut di Jakarta.
Akhirnya, meski rasa lelah belum hilang, Bang Ali dengan tangan terbuka menerima sekitar 200 perwakilan mahasiswa dari berbagai universitas di gedung DPRD DKI Jaya. Mereka berasal dari Jakarta, Bandung, dan kota besar lainnya. Para mahasiswa menyampaikan protes rencana pembangunan TMII. Bang Ali dan mahasiswa pun berdialog dan berdiskusi.
Kunjungan Ibu Tien Soeharto ke objek-objek wisata tersebut mendorongnya untuk mewujudkan ide ke dalam suatu proyek dengan membuat taman tempat rekreasi yang mampu menggambarkan kebesaran dan keindahan Indonesia dalam bentuk yang mini. Pada tanggal 30 Januari 1971, tepatnya pada saat penutupan Rapat Kerja Gubernur, Bupati, dan Walikota seluruh Indonesia di Istana Negara, Ibu Tien Soeharto didampingi Menteri Dalam Negeri saat itu, Amir Mahmud, untuk pertama kalinya memaparkan maksud dan tujuan pembangunan Miniatur Indonesia “Indonesia Indah”.
Plank kepemilikan oleh negara sudah terpasang di TMII. Foto:SINDOnews/Yorri Farli
Berbagai saran, tanggapan,dan pemikiran dari berbagai kelompok masyarakat pun muncul, yang sebagian besar mendukung pembangunan proyek tersebut.Pada tanggal 11 Agustus 1971, dengan surat YHK Ibu Tien Soeharto menugaskan Nusa Consultans untuk membuat rencana induk dan studi kelayakan. Tugas itu selesai dalam waktu 3,5 bulan.
Awalnya, lokasi pembangunan TMII direncanakan di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, di atas tanah seluas 14 hektare. Namun Gubernur DKI Jakarta yang saat itu dijabat Ali Sadikin menyarankan agar lokasi pembangunan TMII dipindah ke daerah sekitar Pondok Gede, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Alasannya, di sana tersedia lahan seluas kurang lebih 100 hektare. Selain lebih luas, lokasi itu juga mengikuti perkembangan kota Jakarta di kemudian hari.Akhirnya, pada tanggal 30 Juni1972 proyek TMII dimulai.
Rancangan bangunan utama berupa peta relief Miniatur Indonesia berikut penyediaan airnya, Tugu Api Pancasila, bangunan Joglo, dan Gedung Pengelolaan disiapkan oleh Nusa Consultants berikut pembuatan jalan dan penyediaan kavling tiap-tiap bangunan.Rancangan bangunan lain, seperti bangunan khas tiap daerah, dikerjakan oleh berbagai biro arsitek, Nusa Consultants hanya membantu menjaga keserasian secara keseluruhan. Hanya dalam kurun waktu tiga tahun, pembangunan TMII tahap pertama dinyatakan selesai. Pada tanggal 20 April 1975, Taman Mini Indonesia Indah diresmikan pembukaannya oleh Presiden Soeharto.
Namun sebenarnya tidak mudah mewujudkan keinginan Ibu Tien Soeharto itu. Gelombang penolakan dari berbagai kalangan terus bermunculan. Penolakan datang baik dalam bentuk diskusi-diskusi maupun turun ke jalan yang dimotori mahasiswa. Mahasiswa berpendapat saat itu Indonesia belum membutuhkan “taman” yang nilainya cukup mewah. Apalagi Ibu Tien sempat melontarkan pernyataan bahwa TMII butuh dana Rp10,5 miliar. Dengan anggaran sebesar itu jelas TMII tergolong proyek mercusuar dan terlalu mewah pada saat itu. Mahasiswa menganggap anggaran untuk proyek TMII lebih baik dan bermanfaat jika digunakan untuk mengembangkan pendidikan, ekonomi, atau sarana publik.
Ali Sadikin mendampingi Soeharto dan Ibu Tien pada 17 Juli 1971. Foto: Dok Perpusnas
Tapi boleh dibilang beruntung proyek itu berada di wilayah DKI Jakarta yang saat itu dipimpin oleh Ali Sadikin, yang dijuluki Gubernur "Keras Kepala". Pria yang akrab disapa Bang Ali bahkan sampai harus meladeni mahasiswa berjam-jam untuk berdebat soal proyek TMII. Pada suatu ketika, Bang Ali baru tiba dari Manila, Philipina. Badan tentu masih terasa lelah akibat kurang istirahat. Namun mahasiswa ngotot segera ingin bertemu terkait pembangunan TMII. Bahkan saat masih di Manila pun, Bang Ali sudah mendapat telepon dari stafnya yang mengabarkan mahasiswa gelisah dan rebut di Jakarta.
Akhirnya, meski rasa lelah belum hilang, Bang Ali dengan tangan terbuka menerima sekitar 200 perwakilan mahasiswa dari berbagai universitas di gedung DPRD DKI Jaya. Mereka berasal dari Jakarta, Bandung, dan kota besar lainnya. Para mahasiswa menyampaikan protes rencana pembangunan TMII. Bang Ali dan mahasiswa pun berdialog dan berdiskusi.