PN Jaksel Kabulkan Praperadilan, Sengketa Kepemilikan PT Tjitajam Terkuak
loading...
A
A
A
TANGERANG - Kisruh sengketa pembajakan PT Tjitajam yang berujung pidana terhadap Rotendi selaku direktur dan Jahja Komar Hidajat sebagai komisaris, mulai mendapat titik terang. Gugatan praperadilan yang diajukan, akhirnya dikabulkan majelis hakim.
"Putusan ini cukup memberikan rasa keadilan bagi kami. PT Tjitajam yang sah, Direktur Rotendi dan Jahja Komar Hidayat sebagai komisaris dan pemegang saham," tutur Ketua Tim Hukum, Reynold Thonak, saat membeberkan keterangan pers soal gugatan itu di Serpong, Tangerang Selatan, Selasa 23 Maret 2021.
Baik Rotendi dan Komar Hidayat sebelumnya ditetapkan menjadi tersangka pada 29 Desember 2020. Keduanya dilaporkan atas dugaan penipuan dan pemalsuan.
Kemudian keduanya pun mengajukan gugatan Praperadilan di Kepaniteraan PN Jakarta Selatan yang terdaftar dengan register perkara nomor : 15/Pid.Pra/2021/PN.Jkt.Sel. Berbagai proses persidangan telah ditempuh, hingga akhirnya putusan dibacakan.
"Memang sudah beberapa kali terjadi kriminalisasi oleh pihak tak bertanggung jawab terhadap PT Tjitajam. Tadi sudah diputuskan hakim bahwa praperadilan kami dikabulkan, penetapan tersangkanya tidak sah. Kemudian memerintahkan penyidik mengeluarkan SP3 perkara tersebut," katanya.
Dibeberkan Reynold, upaya membajak kepemilikan PT Tjitajam sudah terjadi sejak tahun 1999. Di mana ketika itu, ada pihak luar yang mengklaim memiliki akta kepemilikan PT Tjitajam. Setelah digugat ke pengadilan, ucap Reynold, kliennya kembali menang sampai pada tingkat berkekuatan hukum tetap.
Menurut Reynold, sandungan lain muncul kemudian. Di mana pada tahun 2008, ketika kliennya ingin melakukan penyesuaian UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) ditolak oleh Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) dengan alasan sudah ada PT Tjitajam lain.
"Mereka pihak luar itu, menggunakan akta yang sudah dibatalkan oleh pengadilan untuk melakukan pembajakan kembali Saham PT Tjitajam," sambungnya.
Selanjutnya demi menguasai aset PT Tjitajam, pihak luar itu menjalin kerja sama guna membangun kawasan perumahan. Mereka menerbitkan SHGB pengganti, dengan alasan hilang. Padahal menurut Reynold, hal demikian tak pernah terjadi.
"Padahal tidak pernah hilang di Kabupaten Bogor, tapi mereka menerbitkan SHGB pengganti. Lalu pihak luar tersebut bekerja sama dengan suatu bank pemerintah untuk fasilitas KPR, yang kemudian dicairkan dana Rp63 miliar. Padahal perumahan tersebut tidak memiliki Site Plan, IMB, dan izin-izin lainnya," ulasnya.
Dikatakan Reynold, apa yang dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin menguasai PT Tjitajam itu bisa diindikasikan sebagaisindikat 'Mafia Tanah'. Di antaranya dengan cara memaksa hingga memidanakan agar pihaknya tak lagi memertahankan kepemilikan PT Tjitajam.
"Modusnya ini memang rangkaian, jadi orang bicara tentang praktik mafia peradilan itu ternyata memang mereka juga bermain dengan oknum-oknum dalam institusi. Jadi caranya mereka begal dulu PT Tjitajam nya, PT nya diganti pengurus, kemudian asetnya dipegang juga dengan menerbitkan sertifikat pengganti karena hilang, padahal pembegal ini kan tidak pernah pegang sertifikat," katanya.
Pihak pelapor sendiri saat dikonfirmasi tak mau menanggapi putusan praperadilan itu. Mereka saling lempar satu sama lainnya untuk memberi keterangan, hingga akhirnya tak ada satupun yang mau menjelaskan.
"Putusan ini cukup memberikan rasa keadilan bagi kami. PT Tjitajam yang sah, Direktur Rotendi dan Jahja Komar Hidayat sebagai komisaris dan pemegang saham," tutur Ketua Tim Hukum, Reynold Thonak, saat membeberkan keterangan pers soal gugatan itu di Serpong, Tangerang Selatan, Selasa 23 Maret 2021.
Baik Rotendi dan Komar Hidayat sebelumnya ditetapkan menjadi tersangka pada 29 Desember 2020. Keduanya dilaporkan atas dugaan penipuan dan pemalsuan.
Kemudian keduanya pun mengajukan gugatan Praperadilan di Kepaniteraan PN Jakarta Selatan yang terdaftar dengan register perkara nomor : 15/Pid.Pra/2021/PN.Jkt.Sel. Berbagai proses persidangan telah ditempuh, hingga akhirnya putusan dibacakan.
"Memang sudah beberapa kali terjadi kriminalisasi oleh pihak tak bertanggung jawab terhadap PT Tjitajam. Tadi sudah diputuskan hakim bahwa praperadilan kami dikabulkan, penetapan tersangkanya tidak sah. Kemudian memerintahkan penyidik mengeluarkan SP3 perkara tersebut," katanya.
Dibeberkan Reynold, upaya membajak kepemilikan PT Tjitajam sudah terjadi sejak tahun 1999. Di mana ketika itu, ada pihak luar yang mengklaim memiliki akta kepemilikan PT Tjitajam. Setelah digugat ke pengadilan, ucap Reynold, kliennya kembali menang sampai pada tingkat berkekuatan hukum tetap.
Menurut Reynold, sandungan lain muncul kemudian. Di mana pada tahun 2008, ketika kliennya ingin melakukan penyesuaian UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) ditolak oleh Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) dengan alasan sudah ada PT Tjitajam lain.
"Mereka pihak luar itu, menggunakan akta yang sudah dibatalkan oleh pengadilan untuk melakukan pembajakan kembali Saham PT Tjitajam," sambungnya.
Selanjutnya demi menguasai aset PT Tjitajam, pihak luar itu menjalin kerja sama guna membangun kawasan perumahan. Mereka menerbitkan SHGB pengganti, dengan alasan hilang. Padahal menurut Reynold, hal demikian tak pernah terjadi.
"Padahal tidak pernah hilang di Kabupaten Bogor, tapi mereka menerbitkan SHGB pengganti. Lalu pihak luar tersebut bekerja sama dengan suatu bank pemerintah untuk fasilitas KPR, yang kemudian dicairkan dana Rp63 miliar. Padahal perumahan tersebut tidak memiliki Site Plan, IMB, dan izin-izin lainnya," ulasnya.
Dikatakan Reynold, apa yang dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin menguasai PT Tjitajam itu bisa diindikasikan sebagaisindikat 'Mafia Tanah'. Di antaranya dengan cara memaksa hingga memidanakan agar pihaknya tak lagi memertahankan kepemilikan PT Tjitajam.
"Modusnya ini memang rangkaian, jadi orang bicara tentang praktik mafia peradilan itu ternyata memang mereka juga bermain dengan oknum-oknum dalam institusi. Jadi caranya mereka begal dulu PT Tjitajam nya, PT nya diganti pengurus, kemudian asetnya dipegang juga dengan menerbitkan sertifikat pengganti karena hilang, padahal pembegal ini kan tidak pernah pegang sertifikat," katanya.
Pihak pelapor sendiri saat dikonfirmasi tak mau menanggapi putusan praperadilan itu. Mereka saling lempar satu sama lainnya untuk memberi keterangan, hingga akhirnya tak ada satupun yang mau menjelaskan.
(mhd)