Banjir Jakarta Antara Sutiyoso, Jokowi, Ahok dan Anies
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan membandingkan debit curah hujan dan jumlah wilayah yang tergenang saat banjir 2002 hingga sekarang. Lalu bagaimana penanganan banjir sejak Kepemimpinan Gubernur DKI Sutiyoso, Joko Widodo, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) hingga Anies Baswedan?
Berdasarkan infografik yang diunggah akun media sosial Pemprov DKI Jakarta, @dkijakarta pada Senin 20 Februari kemarin, curah hujan yang menyebabkan banjir pada 2002 sekitat 168 mm per hari dan menyebabkan 353 RW tergenang. Kemudian pada 2007, curah hujan mencapai 340 mm perhari dan menggenangi 955 RW. (Baca Juga: BNPB Sebut Banjir Besar di Jakarta Sudah Terjadi Sejak Tahun 1600-an
Pada 2013, curah hujan hanya sekitar 100 mm perhari dan menggenangi 599 RW, sedangkan pada 2015 yang mengalami curah hujan sekitar 277 menggenangi 702 RW. Sementara pada 2020 dengan curah hujan mencapai angka tertinggi yaitu 377 mm per hari, hanya 390 RE yang tergenang dan kemarin pada 20 Februari 2021 dengan curah hujan sekitar 226 mm perhari, hanya 113 RW yanga tergenang.
#Banjir 2002
Banjir 2002, Jakarta saat itu dipimpin Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Dilansir dari berbagai sumber, Sutiyoso saat itu telah mengantisipasi sebelum jatuh musim hujan pada akhir Januari dan awal Februari 2002. Di antaranya, melakukan pengerukan dan mempersiapkan pompa.
Nyatanya, saat itu hujan deras terus mengguyur Ibu Kota dan menenggelamkan 168 kelurahan di 42 kecamatan dengan menelan korban 32 orang tewas.
Pemerintah Pusat turun tangan dan membentuk tim kementerian terkait, pimpinan daerah Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta hingga akhirnya membentuk sebuah program Penanganan Banjir.
Kesepakatan itu melahirkan tiga program mendesak untuk mengatasi banjir Ibu Kota. Pertama, program jangka pendek dengan anggaran Rp731,95 miliar. Kedua, program jangka menengah berbiaya Rp4,334 triliun. Ketiga, program jangka panjang dengan dana Rp11,58 triliun.
Sayangnya, kesepakatan itu tidak mendapatkan persetujuan lantaran menunggu hasil Pemilihan Umum 2004. Banjir pun kembali merendam pada 2007.
#Banjir 2007
Bang Yos sapaan akrab Sutiyoso terus berupaya agar banjir 2002 tidak kembali terulang. Anggaran sebesar Rp721 Miliar disiapkan untuk meneruskan proyek Banjir Kanal Timur (BKT), termasuk juga pengerukan kali dan pembangunan pompa air. Baca Juga: Sutiyoso Pesimis Jokowi Bisa Bangun Waduk & Sodetan
Namun, curah hujan yang tercatat mencapai 340 mm per hari ada 2 Februari itu justru menyebabkan banjir lebih luas dan lebih banyak memakan korban manusia dibandingkan bencana serupa yang melanda pada 2002. Sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret arus, tersengat listrik, atau sakit.
Kerugian material akibat matinya perputaran bisnis mencapai triliunan rupiah, diperkirakan Rp4,3 triliun rupiah. Warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang hingga 7 Februari 2007.
#Banjir 2013
Curah hujan ekstrem kembali terjadi pada 2013 dan Jakarta kembali terendam. Bahkan, Bundaran HI yang merupakan jantung Ibu Kota pun tak bisa menghindari keruhnya banjir. Joko Widodo (Jokowi) yang menjadi Gubernur DKI Jakarta saat itu memutuskan posisi Jakarta dalam tanggap darurat.
Jokowi menyebut dampak banjir itu telah menyebabkan kerugian hingga Rp20 triliun. Sementara pengusaha, melalui Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, mengklaim terjadinya kerugian ekonomi lebih dari Rp1 triliun. Selain itu Rp1 miliar harus dikeluarkan untuk menyiapkan kebutuhan pengungsi. Baca Juga: Banjir Jakarta, Jokowi Perintahkan Utamakan Keselamatan Warga
Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga memiliki taksiran kerugian Rp116 miliar akibat terganggunya fungsi pembangkit dan peralatan distribusi dan transmisi yang mengalami kerusakan akibat tergenang air. Selain secara ekonomi, banjir juga menelan 20 korban jiwa dan 33.500 orang terpaksa mengungsi.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi selama banjir, antara lain dengan memperbaiki tanggul, pendirian posko bantuan di titik-titik yang terkena banjir, relokasi pengungsi ke rumah susun, dan sebagainya. (Baca Juga: Jokowi Serius Bangun Tanggul Laut Raksasa
Sebelum meninggalkan jabatanya menuju Istana pada 2014, Jokowi telah menyusun sejumlah program untuk mengatasi banjir. Di antaranya yaitu, Deep Tunel atau Terowongan Multiguna; Pengerukan 13 kali di Jakarta; Normalisasi Waduk Pluit; Pembuatan 100 ribu sumur resapan; penambahan RTh; sodetan Ciliwung; dan tanggul laut raksasa.
#Banjir 2015
Selepas ditinggal Jokowi, Jakarta kembali dilanda banjir pada Februari 2015. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menggantikan Jokowi menjadi Gubernur tidak menyangka hujan turun begitu deras dan mengakibatkan Jakarta dikepung banjir. Bahkan, lingkungan dalam Istana pun tergenang setinggi 10 cm.
Ahok mengambil langkah tegas utuk membenahi Daerah Aliran Sungai (DAS) agar Pemerintah Pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) bisa segera menyelesaikan normalisasi sungai. Berbagai penggusuran dan relokasi ke hunian vertikal yang jauh dari lokasi asal menjadi kendala Ahok menyelesaikan penertiban.
#Banjir 2020 dan2021
Anies Baswedan akhirnya memenangkan Pilkada DKI 2017. Salah satu janji kampanyenya yang memikat warga adalah tidak akan melakukan penggusuran dalam mengatasi banjir. Anies memilih melakukan naturalisasi ketimbang normalisasi yang digaungkan Ahok dalam melakukan peggusuran. Akibatnya, program normalisasi yang tengah dikerjakan BBWSCC terhenti.
Anies lebih memilih memasukan air hujan sebanyak banyaknya ke dalam tanah dan mengendalikan air dari hulu serta mengandalkan pompa. Baca Juga: Ahok Harus Serius Tangani Banjir, Jangan Bicara Saja
Ketika banjir pada 2020 dan 2021, Anies pun berkali kali mengatakan itu dan tidak perduli orang mencacinya. Seluruh aparat dikerahkan. Berbagai lokasi banjir dikunjunginya untuk memastikan semua bantuan diterima para pengungsi.
Berdasarkan infografik yang diunggah akun media sosial Pemprov DKI Jakarta, @dkijakarta pada Senin 20 Februari kemarin, curah hujan yang menyebabkan banjir pada 2002 sekitat 168 mm per hari dan menyebabkan 353 RW tergenang. Kemudian pada 2007, curah hujan mencapai 340 mm perhari dan menggenangi 955 RW. (Baca Juga: BNPB Sebut Banjir Besar di Jakarta Sudah Terjadi Sejak Tahun 1600-an
Pada 2013, curah hujan hanya sekitar 100 mm perhari dan menggenangi 599 RW, sedangkan pada 2015 yang mengalami curah hujan sekitar 277 menggenangi 702 RW. Sementara pada 2020 dengan curah hujan mencapai angka tertinggi yaitu 377 mm per hari, hanya 390 RE yang tergenang dan kemarin pada 20 Februari 2021 dengan curah hujan sekitar 226 mm perhari, hanya 113 RW yanga tergenang.
#Banjir 2002
Banjir 2002, Jakarta saat itu dipimpin Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Dilansir dari berbagai sumber, Sutiyoso saat itu telah mengantisipasi sebelum jatuh musim hujan pada akhir Januari dan awal Februari 2002. Di antaranya, melakukan pengerukan dan mempersiapkan pompa.
Nyatanya, saat itu hujan deras terus mengguyur Ibu Kota dan menenggelamkan 168 kelurahan di 42 kecamatan dengan menelan korban 32 orang tewas.
Pemerintah Pusat turun tangan dan membentuk tim kementerian terkait, pimpinan daerah Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta hingga akhirnya membentuk sebuah program Penanganan Banjir.
Kesepakatan itu melahirkan tiga program mendesak untuk mengatasi banjir Ibu Kota. Pertama, program jangka pendek dengan anggaran Rp731,95 miliar. Kedua, program jangka menengah berbiaya Rp4,334 triliun. Ketiga, program jangka panjang dengan dana Rp11,58 triliun.
Sayangnya, kesepakatan itu tidak mendapatkan persetujuan lantaran menunggu hasil Pemilihan Umum 2004. Banjir pun kembali merendam pada 2007.
#Banjir 2007
Bang Yos sapaan akrab Sutiyoso terus berupaya agar banjir 2002 tidak kembali terulang. Anggaran sebesar Rp721 Miliar disiapkan untuk meneruskan proyek Banjir Kanal Timur (BKT), termasuk juga pengerukan kali dan pembangunan pompa air. Baca Juga: Sutiyoso Pesimis Jokowi Bisa Bangun Waduk & Sodetan
Namun, curah hujan yang tercatat mencapai 340 mm per hari ada 2 Februari itu justru menyebabkan banjir lebih luas dan lebih banyak memakan korban manusia dibandingkan bencana serupa yang melanda pada 2002. Sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret arus, tersengat listrik, atau sakit.
Kerugian material akibat matinya perputaran bisnis mencapai triliunan rupiah, diperkirakan Rp4,3 triliun rupiah. Warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang hingga 7 Februari 2007.
#Banjir 2013
Curah hujan ekstrem kembali terjadi pada 2013 dan Jakarta kembali terendam. Bahkan, Bundaran HI yang merupakan jantung Ibu Kota pun tak bisa menghindari keruhnya banjir. Joko Widodo (Jokowi) yang menjadi Gubernur DKI Jakarta saat itu memutuskan posisi Jakarta dalam tanggap darurat.
Jokowi menyebut dampak banjir itu telah menyebabkan kerugian hingga Rp20 triliun. Sementara pengusaha, melalui Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, mengklaim terjadinya kerugian ekonomi lebih dari Rp1 triliun. Selain itu Rp1 miliar harus dikeluarkan untuk menyiapkan kebutuhan pengungsi. Baca Juga: Banjir Jakarta, Jokowi Perintahkan Utamakan Keselamatan Warga
Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga memiliki taksiran kerugian Rp116 miliar akibat terganggunya fungsi pembangkit dan peralatan distribusi dan transmisi yang mengalami kerusakan akibat tergenang air. Selain secara ekonomi, banjir juga menelan 20 korban jiwa dan 33.500 orang terpaksa mengungsi.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi selama banjir, antara lain dengan memperbaiki tanggul, pendirian posko bantuan di titik-titik yang terkena banjir, relokasi pengungsi ke rumah susun, dan sebagainya. (Baca Juga: Jokowi Serius Bangun Tanggul Laut Raksasa
Sebelum meninggalkan jabatanya menuju Istana pada 2014, Jokowi telah menyusun sejumlah program untuk mengatasi banjir. Di antaranya yaitu, Deep Tunel atau Terowongan Multiguna; Pengerukan 13 kali di Jakarta; Normalisasi Waduk Pluit; Pembuatan 100 ribu sumur resapan; penambahan RTh; sodetan Ciliwung; dan tanggul laut raksasa.
#Banjir 2015
Selepas ditinggal Jokowi, Jakarta kembali dilanda banjir pada Februari 2015. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menggantikan Jokowi menjadi Gubernur tidak menyangka hujan turun begitu deras dan mengakibatkan Jakarta dikepung banjir. Bahkan, lingkungan dalam Istana pun tergenang setinggi 10 cm.
Ahok mengambil langkah tegas utuk membenahi Daerah Aliran Sungai (DAS) agar Pemerintah Pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) bisa segera menyelesaikan normalisasi sungai. Berbagai penggusuran dan relokasi ke hunian vertikal yang jauh dari lokasi asal menjadi kendala Ahok menyelesaikan penertiban.
#Banjir 2020 dan2021
Anies Baswedan akhirnya memenangkan Pilkada DKI 2017. Salah satu janji kampanyenya yang memikat warga adalah tidak akan melakukan penggusuran dalam mengatasi banjir. Anies memilih melakukan naturalisasi ketimbang normalisasi yang digaungkan Ahok dalam melakukan peggusuran. Akibatnya, program normalisasi yang tengah dikerjakan BBWSCC terhenti.
Anies lebih memilih memasukan air hujan sebanyak banyaknya ke dalam tanah dan mengendalikan air dari hulu serta mengandalkan pompa. Baca Juga: Ahok Harus Serius Tangani Banjir, Jangan Bicara Saja
Ketika banjir pada 2020 dan 2021, Anies pun berkali kali mengatakan itu dan tidak perduli orang mencacinya. Seluruh aparat dikerahkan. Berbagai lokasi banjir dikunjunginya untuk memastikan semua bantuan diterima para pengungsi.
(mhd)