Perjuangkan Warga Ciater Tangsel Dapat 1.000 Paket Sembako Covid-19, Perempuan Ini Malah Dicurigai
loading...
A
A
A
TANGERANG SELATAN - Suwarti Ningsih (56) akhirnya bisa bernafas lega setelah bantuan tahap pertama dari Kementerian Sosial (Kemensos) yang diperjuangkannya secara mandiri turun. Rumahnya pun tak jadi didemo 1.000 warga.
Saat ditemui di rumahnya, pinggir Jalan Ciater Barat, Ciater, Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel), ibu tiga anak ini sibuk menerima kedatangan warga Ciater yang mengantarkan KK dan KTP sebagai penerima sembako.
"Dulu saya sempat kerja diekspedisi, karena saya enggak mau diatur sama bos, saya ngundurin diri. Kalau saya, kerja lebih senang di lapangan enggak suka di belakang meja," ujar Ningsih, Jumat (15/5/2020). (Baca juga: Polres Jakut Bagikan 2.100 Paket Sembako)
Keluar dari tempat kerja, Ningsih tidak 100% menganggur. Dia membuka usaha katering di Cinere. Usahanya cukup maju, punya banyak pelanggan. Namun, badai ekonomi dan politik pada 1998 membuat usahanya hancur. Dia pun mengungsi ke rumah orangtuanya di Ciater membuka usaha baru.
"Karena di depan ada lahan kosong ya saya buka usaha ini, gado-gado tahu cocol. Tetapi, saat itu saya juga ikut menjadi relawan," ucapnya.
Dia mengakui pernah aktif menjadi relawan Jokowi, Ahoker, Projo, dan lainnya. Di Tangsel, dia juga aktif ikut Bejo Tangsel, Srikandi Nusantara dan IKI untuk mengurusi data.
"Pas lagi ada Covid-19 begini teman saya di SMA gabung dengan Mensos. Dia lalu menghubungi saya, katanya sedang baksos di Jombang. Kemudian saya tawarkan diri untuk minta bantuan bagi warga Ciater," ujar Ningsih.
Temannya pun menyanggupi membantunya memberi bantuan kepada warga Ciater yang belum mendapatkan bansos. Dia meminta 1.000 orang penerima bantuan. (Baca juga: Cegah Covid-19, Warga Jabodetabek Dilarang Mudik Lokal Saat Lebaran)
Ningsih yang sejak SMP terkenal punya jiwa sosial tinggi terpanggil dan mulai menghubungi pihak kelurahan untuk mulai mendata warga di kampungnya. "Saya lalu izin ke kelurahan. Saya bilang ke pak lurah, pak saya mau bantu kasih bantuan. Saya relawan yang kerja sama dengan Mensos. Kalau kita sanggup kumpulin data 1.000 KK, kita bisa dapat bantuan," jelasnya.
Saat mengumpulkan data warga, dia mengaku banyak mendapat cibiran. Apalagi dia bergerak sendiri dan tidak membawa nama instansi dari manapun.
"Akhirnya RT dikumpulkan. Ada 34 RT. Ada yang hanya kasih KK doang, KTP enggak ada. Pas saya minta KTP ke RT, ada yang marah. Terus saat minta foto lokasi, RT ada yang marah lagi. Jadi serba salah," ungkapnya.
Belum lagi pengolahan data dari dokumen ke komputerisasi. Semua proses yang menguras pikiran dan biaya itu harus Ningsih kerjakan sendiri, tanpa bantuan orang lain.
Dia mengaku rela dimaki dan dihujat oleh warga yang dibantunya. Semua itu dia kerjakan dengan tulus ikhlas tanpa mengharap imbalan siapapun. Jerih payahnya pun terbalas saat bantuan cair.
"Akhirnya terkumpul 1.020 KK. Pencairannya dibagi ke dalam tiga tahapan. Tahap pertama sudah cair kemarin untuk dua RW, yakni RW01 dan RW11 sebanyak 306 paket sembako. Tahap kedua belum," ucapnya.
Saat bantuan tahap pertama turun, banyak warga masih menghujatnya. Mereka beranggapan bantuan itu dari Kemensos untuk mereka. Padahal, tanpa ada usulan dari Ningsih tidak akan ada bantuan bagi warga.
"Banyak warga perbatasan Ciater dan Buaran yang enggak dapat bansos Covid-19. Saya berjuang dan usaha agar mereka semuanya dapat. Akhirnya bantuan tahap pertama turun. Saya sangat senang sekali" tutur Ningsih.
Warga yang awalnya menghujat pun akhirnya diam dan balik memuji. Namun, masih saja ada yang curiga niat baiknya, bahkan menganggapnya ingin mencari untung saja. (Baca juga: Warga Bambu Apus Terima Paket Bansos Tahap Kedua dari Pemprov DKI)
Seperti saat dia menyampaikan pada Ketua RT bahwa bantuan harus diambil langsung di Kemensos. Pihaknya diminta memungut biaya Rp2.000 kepada warga sebagai iuran menyewa truk untuk mengangkut sembako.
Namun, ada ketua RT yang menanggap iuran Rp2.000 itu sebagai pungli dan keberatan. Ningsih pun mengaku kecewa dan tidak kuat jika harus merogoh kocek untuk sewa truk. "Rasanya pengen nangis, tapi apa salah saya. Sampai kepikiran 3 hari saya. Akhirnya pak RW saya datang ke rumah, dia bilang siap sewa 3 truk. Akhirnya selesai," ujarnya.
Bantuan tahap pertama turun langsung dikirim Kemensos. Ketua RW pun tidak jadi menyewa truk. Kini, warga masih menunggu bantuan tahap 2 dan 3 kembali.
"Senang saya, walaupun capek, banyak dihujat, bangga saya. Dari banyak RT/RW dan lurah untuk menurunkan sembako saja enggak bisa, tapi saya cuma penjual gado-gado bisa berjuang sendiri. Kebayang enggak sih kalau itu sembako enggak turun. 1.000 orang bakal demo ke rumah saya," tutup Ningsih.
Saat ditemui di rumahnya, pinggir Jalan Ciater Barat, Ciater, Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel), ibu tiga anak ini sibuk menerima kedatangan warga Ciater yang mengantarkan KK dan KTP sebagai penerima sembako.
"Dulu saya sempat kerja diekspedisi, karena saya enggak mau diatur sama bos, saya ngundurin diri. Kalau saya, kerja lebih senang di lapangan enggak suka di belakang meja," ujar Ningsih, Jumat (15/5/2020). (Baca juga: Polres Jakut Bagikan 2.100 Paket Sembako)
Keluar dari tempat kerja, Ningsih tidak 100% menganggur. Dia membuka usaha katering di Cinere. Usahanya cukup maju, punya banyak pelanggan. Namun, badai ekonomi dan politik pada 1998 membuat usahanya hancur. Dia pun mengungsi ke rumah orangtuanya di Ciater membuka usaha baru.
"Karena di depan ada lahan kosong ya saya buka usaha ini, gado-gado tahu cocol. Tetapi, saat itu saya juga ikut menjadi relawan," ucapnya.
Dia mengakui pernah aktif menjadi relawan Jokowi, Ahoker, Projo, dan lainnya. Di Tangsel, dia juga aktif ikut Bejo Tangsel, Srikandi Nusantara dan IKI untuk mengurusi data.
"Pas lagi ada Covid-19 begini teman saya di SMA gabung dengan Mensos. Dia lalu menghubungi saya, katanya sedang baksos di Jombang. Kemudian saya tawarkan diri untuk minta bantuan bagi warga Ciater," ujar Ningsih.
Temannya pun menyanggupi membantunya memberi bantuan kepada warga Ciater yang belum mendapatkan bansos. Dia meminta 1.000 orang penerima bantuan. (Baca juga: Cegah Covid-19, Warga Jabodetabek Dilarang Mudik Lokal Saat Lebaran)
Ningsih yang sejak SMP terkenal punya jiwa sosial tinggi terpanggil dan mulai menghubungi pihak kelurahan untuk mulai mendata warga di kampungnya. "Saya lalu izin ke kelurahan. Saya bilang ke pak lurah, pak saya mau bantu kasih bantuan. Saya relawan yang kerja sama dengan Mensos. Kalau kita sanggup kumpulin data 1.000 KK, kita bisa dapat bantuan," jelasnya.
Saat mengumpulkan data warga, dia mengaku banyak mendapat cibiran. Apalagi dia bergerak sendiri dan tidak membawa nama instansi dari manapun.
"Akhirnya RT dikumpulkan. Ada 34 RT. Ada yang hanya kasih KK doang, KTP enggak ada. Pas saya minta KTP ke RT, ada yang marah. Terus saat minta foto lokasi, RT ada yang marah lagi. Jadi serba salah," ungkapnya.
Belum lagi pengolahan data dari dokumen ke komputerisasi. Semua proses yang menguras pikiran dan biaya itu harus Ningsih kerjakan sendiri, tanpa bantuan orang lain.
Dia mengaku rela dimaki dan dihujat oleh warga yang dibantunya. Semua itu dia kerjakan dengan tulus ikhlas tanpa mengharap imbalan siapapun. Jerih payahnya pun terbalas saat bantuan cair.
"Akhirnya terkumpul 1.020 KK. Pencairannya dibagi ke dalam tiga tahapan. Tahap pertama sudah cair kemarin untuk dua RW, yakni RW01 dan RW11 sebanyak 306 paket sembako. Tahap kedua belum," ucapnya.
Saat bantuan tahap pertama turun, banyak warga masih menghujatnya. Mereka beranggapan bantuan itu dari Kemensos untuk mereka. Padahal, tanpa ada usulan dari Ningsih tidak akan ada bantuan bagi warga.
"Banyak warga perbatasan Ciater dan Buaran yang enggak dapat bansos Covid-19. Saya berjuang dan usaha agar mereka semuanya dapat. Akhirnya bantuan tahap pertama turun. Saya sangat senang sekali" tutur Ningsih.
Warga yang awalnya menghujat pun akhirnya diam dan balik memuji. Namun, masih saja ada yang curiga niat baiknya, bahkan menganggapnya ingin mencari untung saja. (Baca juga: Warga Bambu Apus Terima Paket Bansos Tahap Kedua dari Pemprov DKI)
Seperti saat dia menyampaikan pada Ketua RT bahwa bantuan harus diambil langsung di Kemensos. Pihaknya diminta memungut biaya Rp2.000 kepada warga sebagai iuran menyewa truk untuk mengangkut sembako.
Namun, ada ketua RT yang menanggap iuran Rp2.000 itu sebagai pungli dan keberatan. Ningsih pun mengaku kecewa dan tidak kuat jika harus merogoh kocek untuk sewa truk. "Rasanya pengen nangis, tapi apa salah saya. Sampai kepikiran 3 hari saya. Akhirnya pak RW saya datang ke rumah, dia bilang siap sewa 3 truk. Akhirnya selesai," ujarnya.
Bantuan tahap pertama turun langsung dikirim Kemensos. Ketua RW pun tidak jadi menyewa truk. Kini, warga masih menunggu bantuan tahap 2 dan 3 kembali.
"Senang saya, walaupun capek, banyak dihujat, bangga saya. Dari banyak RT/RW dan lurah untuk menurunkan sembako saja enggak bisa, tapi saya cuma penjual gado-gado bisa berjuang sendiri. Kebayang enggak sih kalau itu sembako enggak turun. 1.000 orang bakal demo ke rumah saya," tutup Ningsih.
(jon)