Formasi CPNS Guru Dihentikan, PGRI Pertanyakan Dasar Kajian
loading...
A
A
A
TANGERANG SELATAN - Formasi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada tahun 2021 tak lagi memasukkan kuota untuk para guru . Sebab, pemerintah memutuskan menggantinya dengan seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Kebijakan itu dianggap membahayakan kualitas pendidikan masa depan, lantaran nantinya profesi guru akan sepi peminat. Tak ada lagi jaminan kesejahteraan, karena status guru honorer hanya sebatas PPPK.
"Saya aneh, bertanya-tanya. Kebijakan ini itu dasarnya apa? Makanya kebijakannya jangan diskriminatif. Saya mau tanya kajiannya apa? Dasarnya apa? Karena implikasinya sangat berat, berbahaya. Kenapa? Karena itu masa depan profesi guru, orang enggak ada yang mau menjadi guru," kata Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Unifah Rosyidi, Sabtu (2/01/21).
Dalam situasi pandemi, menurut dia, sangat tak masuk akal jika pemerintah justru sempat-sempatnya mengeluarkan kebijakan tersebut. Apalagi alasan yang sempat disebutkan pemerintah adalah soal distribusi guru. ( )
"Kalau soal distribusi, ya aneh. Distribusi semua itu kan sistemnya kan pemerintah. Yang tertib enggak tertib itu kan pemerintah yang harus memegang aturan dan melaksanakannya. Kalau guru, kalau enggak boleh ya enggak akan minta," tambahnya.
Dilanjutkannya, kebijakan penghapusan formasi CPNS bagi para guru juga bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dijelaskan Unifah, PPPK ada perbedaan prinsip dengan ASN biasa.
"Itu kan melanggar UU ASN sendiri. Karena kalau PPPK itu ada perbedaan prinsip, jadi kalau PPPK dia harus dievaluasi tiap tahun. Kalau ASN itu lebih ditujukan kepada mereka yang usianya sudah lama sebagai bentuk penghargaan," ungkap dia.
Dia pun membandingkan kebijakan terhadap guru di dalam negeri dengan negara luar, salah satunya Finlandia. Kata dia, di negara lain perhatian terhadap guru jelas berbeda di mana gajinya dibayar dengan harga tinggi. (
)
"Kalau ngomong Finlandia, di sana itu gajinya itu sangat tinggi. Sehingga banyak anak-anaknya punya kualitas yang terbaik. Kalau sekarang ingin mendapat kualitas yang baik, tanpa ada niat yang baik, sistem yang baik, nggak bisa, kan kualitas itu dihasilkan dari sistem. Jadi bukan gurunya yang disalahkan, kebijakannya yang diperbaiki," tandasnya.
Kebijakan itu dianggap membahayakan kualitas pendidikan masa depan, lantaran nantinya profesi guru akan sepi peminat. Tak ada lagi jaminan kesejahteraan, karena status guru honorer hanya sebatas PPPK.
"Saya aneh, bertanya-tanya. Kebijakan ini itu dasarnya apa? Makanya kebijakannya jangan diskriminatif. Saya mau tanya kajiannya apa? Dasarnya apa? Karena implikasinya sangat berat, berbahaya. Kenapa? Karena itu masa depan profesi guru, orang enggak ada yang mau menjadi guru," kata Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Unifah Rosyidi, Sabtu (2/01/21).
Dalam situasi pandemi, menurut dia, sangat tak masuk akal jika pemerintah justru sempat-sempatnya mengeluarkan kebijakan tersebut. Apalagi alasan yang sempat disebutkan pemerintah adalah soal distribusi guru. ( )
"Kalau soal distribusi, ya aneh. Distribusi semua itu kan sistemnya kan pemerintah. Yang tertib enggak tertib itu kan pemerintah yang harus memegang aturan dan melaksanakannya. Kalau guru, kalau enggak boleh ya enggak akan minta," tambahnya.
Dilanjutkannya, kebijakan penghapusan formasi CPNS bagi para guru juga bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dijelaskan Unifah, PPPK ada perbedaan prinsip dengan ASN biasa.
"Itu kan melanggar UU ASN sendiri. Karena kalau PPPK itu ada perbedaan prinsip, jadi kalau PPPK dia harus dievaluasi tiap tahun. Kalau ASN itu lebih ditujukan kepada mereka yang usianya sudah lama sebagai bentuk penghargaan," ungkap dia.
Dia pun membandingkan kebijakan terhadap guru di dalam negeri dengan negara luar, salah satunya Finlandia. Kata dia, di negara lain perhatian terhadap guru jelas berbeda di mana gajinya dibayar dengan harga tinggi. (
Baca Juga
"Kalau ngomong Finlandia, di sana itu gajinya itu sangat tinggi. Sehingga banyak anak-anaknya punya kualitas yang terbaik. Kalau sekarang ingin mendapat kualitas yang baik, tanpa ada niat yang baik, sistem yang baik, nggak bisa, kan kualitas itu dihasilkan dari sistem. Jadi bukan gurunya yang disalahkan, kebijakannya yang diperbaiki," tandasnya.
(mhd)