Kisah Unik Masjid Al-Alam Marunda, Masjid Wali Allah yang Dibangun Dalam Semalam
loading...
A
A
A
DI Jakarta banyak masjid bersejarah dan memiliki kisah yang layak diketahui. Salah satunya Masjid Al-Alam yang terletak di Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Berdasarkan ceritanya, Masjid Al-Alam merupakan salah satu dari ribuan masjid tertua di pesisir Jakarta.
Pengurus Masjid, Kusnadi Ali Makruf (50), mengisahkan bahwa awal mula adanya masjid ini diketahui berdiri sejak abad ke-16. "Jadi sekitar tahun 1982, ahli arkeolog dan kepurbakalaan melakukan penelitian bahwasannya bangunan ini dibangun pada abad ke-16, sekitar 1640 pertengahan, antara 1600 dan 1700an," ujar Kusnadi, saat ditemui Sabtu (28/11/2020). (Baca juga: Masjid Pertama di Athena dalam 200 Tahun Dibuka untuk Salat Jumat)
Diceritakan Kusnadi, Masjid Al-Alam merupakan bangunan yang paling bersejarah sekaligus memiliki kisah yang paling unik. Salah satunya adalah proses berdirinya masjid yang diketahui dibangun oleh para pemimpin atau para ulama dalam sehari.
"Masjid ini berdiri hanya dalam waktu semalam dan didirikan oleh para Aulia (ulama). Jadi kalau diceritakan sebelum adanya bangunan masjid ini, dibilang sorenya belum ada dan tahunya sudah ada saat pagi, pas matahari bersinar," kata Kusnadi.
Dikisahkan Kusnadi, pada saat itu para Aulia atau orang yang dimuliakan oleh umat Islam merasa terpanggil untuk mendirikan sebuah tempat bagi para umat untuk mendalami agama Islam.
"Istilahnya seperti menerima tugas langsung dari Allah, keilmuannya juga tidak diragukan karena bangunan masjid yang didirikan dalam waktu semalam," ucapnya. (Baca juga: Sejarah Jakarta, Disebut di Batu Tulis Purnawarman yang Berkembang Menjadi Bandar Besar)
Selain bicara soal proses berdirinya, Kusnadi juga menceritakan bahwa sejarah Masjid Al-Alam Marunda berdiri bertepatan dengan masuknya Pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Bahurekso bersama dengan Pangeran Fatahillah untuk menyerang Kota Batavia (Jakarta) yang kala itu dikuasai oleh pasukan Portugis.
"Pada saat menyerang beliau mendapatkan kekalahan, lalu singgah lah di sini. Persis di tempat inilah (Masjid Al-Alam) beliau (pangeran) jadikan markas sementara untuk beristirahat serta memulihkan tenaga dan luka luka yang dialami, sekaligus menyusun strategi pasukannya. Hingga pada akhirnya beliau pulih," terang Kusnadi bersemangat.
Setelah melakukan strategi yang matang dan istirahat yang cukup, penyerangan kembali dilakukan. Pasukan Mataram dan pasukan Batavia kala itu memiliki kesempatan untuk kembali menyerang penjajah Portugis. Dan benar saja, saat kembali menyerang, pasukan Portugis mengalami kekalahan total.
Kisah istirahat dan tempat yang dijadikan markas sementara Pangeran Batavia dan Adipati Bahurekso di Masjid Al-Alam tentu saja menyisakan sejarah dan istilah baru. Menurut Kusnadi, penamaan Marunda dari para pemimpin pasukan tersebut. "Disebut Marunda karena Markas Penundaan pada saat itu. Makanya hingga kini disebutkan Masjid Al-Alam Marunda," tuturnya.
Empat Kali Ganti Nama
Menurut Kusnadi, nama masjid ini sebenarnya bukanlah Al-Alam. Dari cerita para orang tua zaman dulu, masjid ini dinamakan Masjid Agung Aulia. "Karena didirikan oleh para Aulia, seperti itu, dan dulu daerah ini merupakan wilayah Jawa Barat, Bekasi," tuturnya.
Hingga akhirnya pada tahun 1974, wilayah Masjid Agung Aulia berubah nama setelah diambil alih oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, menjadi Masjid Al-Alam. Seiring berjalannya waktu, nama masjid ini berubah lagi dengan ditemukannya Rumah Si Pitung.
"Sebenarnya Rumah Si Pitung dari dulu sudah ada cuman orang lebih mudah mengenali Masjid Al-Alam Si Pitung. Karena kalau di bilang Masjid Al Alam itu banyak, di Cilincing saja ada. Jadi kalau dibilang Masjid Al Alam Si Pitung sudah jelas di Marunda," ucap Kusnadi.
Belajar dari cerita sejarah yang ada dan tidak ingin melupakan pesan orang tua, Masjid Al Alam Si Pitung akhirnya berubah nama hingga saat ini menjadi Masjid Aulia Al Alam Sipitung.
"Jangan sampai kita meninggalkan sejarah terdahulu. Jadi kita ambil nama Aulianya, jadi berubah lagi namanya jadi Masjid Aulia Al Alam Si Pitung sampai sekarang. Itu kita yang menamakan karena kita tahu sejarahnya," ungkap Kusnadi.
Bangunan Empat Budaya
Bicara soal bangunan, Masjid Aulia Al Alam Sipitung yang memiliki luas tanah 3000 meter persegi dan luar bangunan sekitar 500 meter persegi ini tidak mengalami perubahan dari dulu hingga saat ini. Bahkan bentuk bangunan masjid ini berbeda dari bangunan masjid lain.
"Bicara soal arsitektur masjid ini mengadopsi empat kebudayaan. Dari kubahnya mengambil dari kebudayaan Jawa, sementara untuk rudungan (sisi atapnya) sendiri mengambil dari budaya China. Kalau tembok dan tiang masjid mengambil dari budaya Eropa dan jendela serta pintu mengambil dari budaya Betawi," Ucapnya.
Menurut Kusnadi, dari empat kebudayaan ini memiliki arti atau makna tersendiri. Melihat atap masjid yang diambil dari budaya Jawa, bahwa peranan Jawa dari dulu hingga saat ini menjadi suatu yang paling dominan. Lalu, pinggiran atap yang diambil dari budaya China merupakan lambang keindahan bangunan.
Tembok masjid yang tebal dan terdapat empat tiang penyangga masjid yang diambil dari budaya Eropa, memiliki arti bahwa hal tersebut sebagai kekuatan atau ketahanan masjid itu sendiri. Adapun bentuk pintu dan jendela yang diambil dari budaya Betawi, sebagai lambang budaya masyarakat sekitar.
Selain berbicara tentang bangunan, di sisi masjid terdapat sebuah makam keramat Kiai Haji Jamiin bin Abdullah yang merupakan seorang aulia atau Wali Allah. "Beliau hidup di zaman ke-18 pada saat itu. Ya itu kewalian beliau, kadang-kadang kalau saya cerita tentang beliau saya merasa enggak pantas," ucap Kusnadi.
Setiap tahunnya, banyak penjiarah yang datang dari luar kota maupun luar negeri, seperti dari Malaysia. "Karena sejarah itu tadi, dia baca di mana akhirnya ya dia datang ke mari pengen tahu. Bahkan Wakil Presiden Adam Malik pernah kemari," tuturnya.
Lihat Juga: RK Bakal Pindahkan Balai Kota, Pramono: Balai Kota Jakarta Tetap di Medan Merdeka Selatan
Pengurus Masjid, Kusnadi Ali Makruf (50), mengisahkan bahwa awal mula adanya masjid ini diketahui berdiri sejak abad ke-16. "Jadi sekitar tahun 1982, ahli arkeolog dan kepurbakalaan melakukan penelitian bahwasannya bangunan ini dibangun pada abad ke-16, sekitar 1640 pertengahan, antara 1600 dan 1700an," ujar Kusnadi, saat ditemui Sabtu (28/11/2020). (Baca juga: Masjid Pertama di Athena dalam 200 Tahun Dibuka untuk Salat Jumat)
Diceritakan Kusnadi, Masjid Al-Alam merupakan bangunan yang paling bersejarah sekaligus memiliki kisah yang paling unik. Salah satunya adalah proses berdirinya masjid yang diketahui dibangun oleh para pemimpin atau para ulama dalam sehari.
"Masjid ini berdiri hanya dalam waktu semalam dan didirikan oleh para Aulia (ulama). Jadi kalau diceritakan sebelum adanya bangunan masjid ini, dibilang sorenya belum ada dan tahunya sudah ada saat pagi, pas matahari bersinar," kata Kusnadi.
Dikisahkan Kusnadi, pada saat itu para Aulia atau orang yang dimuliakan oleh umat Islam merasa terpanggil untuk mendirikan sebuah tempat bagi para umat untuk mendalami agama Islam.
"Istilahnya seperti menerima tugas langsung dari Allah, keilmuannya juga tidak diragukan karena bangunan masjid yang didirikan dalam waktu semalam," ucapnya. (Baca juga: Sejarah Jakarta, Disebut di Batu Tulis Purnawarman yang Berkembang Menjadi Bandar Besar)
Selain bicara soal proses berdirinya, Kusnadi juga menceritakan bahwa sejarah Masjid Al-Alam Marunda berdiri bertepatan dengan masuknya Pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Bahurekso bersama dengan Pangeran Fatahillah untuk menyerang Kota Batavia (Jakarta) yang kala itu dikuasai oleh pasukan Portugis.
"Pada saat menyerang beliau mendapatkan kekalahan, lalu singgah lah di sini. Persis di tempat inilah (Masjid Al-Alam) beliau (pangeran) jadikan markas sementara untuk beristirahat serta memulihkan tenaga dan luka luka yang dialami, sekaligus menyusun strategi pasukannya. Hingga pada akhirnya beliau pulih," terang Kusnadi bersemangat.
Setelah melakukan strategi yang matang dan istirahat yang cukup, penyerangan kembali dilakukan. Pasukan Mataram dan pasukan Batavia kala itu memiliki kesempatan untuk kembali menyerang penjajah Portugis. Dan benar saja, saat kembali menyerang, pasukan Portugis mengalami kekalahan total.
Kisah istirahat dan tempat yang dijadikan markas sementara Pangeran Batavia dan Adipati Bahurekso di Masjid Al-Alam tentu saja menyisakan sejarah dan istilah baru. Menurut Kusnadi, penamaan Marunda dari para pemimpin pasukan tersebut. "Disebut Marunda karena Markas Penundaan pada saat itu. Makanya hingga kini disebutkan Masjid Al-Alam Marunda," tuturnya.
Empat Kali Ganti Nama
Menurut Kusnadi, nama masjid ini sebenarnya bukanlah Al-Alam. Dari cerita para orang tua zaman dulu, masjid ini dinamakan Masjid Agung Aulia. "Karena didirikan oleh para Aulia, seperti itu, dan dulu daerah ini merupakan wilayah Jawa Barat, Bekasi," tuturnya.
Hingga akhirnya pada tahun 1974, wilayah Masjid Agung Aulia berubah nama setelah diambil alih oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, menjadi Masjid Al-Alam. Seiring berjalannya waktu, nama masjid ini berubah lagi dengan ditemukannya Rumah Si Pitung.
"Sebenarnya Rumah Si Pitung dari dulu sudah ada cuman orang lebih mudah mengenali Masjid Al-Alam Si Pitung. Karena kalau di bilang Masjid Al Alam itu banyak, di Cilincing saja ada. Jadi kalau dibilang Masjid Al Alam Si Pitung sudah jelas di Marunda," ucap Kusnadi.
Belajar dari cerita sejarah yang ada dan tidak ingin melupakan pesan orang tua, Masjid Al Alam Si Pitung akhirnya berubah nama hingga saat ini menjadi Masjid Aulia Al Alam Sipitung.
"Jangan sampai kita meninggalkan sejarah terdahulu. Jadi kita ambil nama Aulianya, jadi berubah lagi namanya jadi Masjid Aulia Al Alam Si Pitung sampai sekarang. Itu kita yang menamakan karena kita tahu sejarahnya," ungkap Kusnadi.
Bangunan Empat Budaya
Bicara soal bangunan, Masjid Aulia Al Alam Sipitung yang memiliki luas tanah 3000 meter persegi dan luar bangunan sekitar 500 meter persegi ini tidak mengalami perubahan dari dulu hingga saat ini. Bahkan bentuk bangunan masjid ini berbeda dari bangunan masjid lain.
"Bicara soal arsitektur masjid ini mengadopsi empat kebudayaan. Dari kubahnya mengambil dari kebudayaan Jawa, sementara untuk rudungan (sisi atapnya) sendiri mengambil dari budaya China. Kalau tembok dan tiang masjid mengambil dari budaya Eropa dan jendela serta pintu mengambil dari budaya Betawi," Ucapnya.
Menurut Kusnadi, dari empat kebudayaan ini memiliki arti atau makna tersendiri. Melihat atap masjid yang diambil dari budaya Jawa, bahwa peranan Jawa dari dulu hingga saat ini menjadi suatu yang paling dominan. Lalu, pinggiran atap yang diambil dari budaya China merupakan lambang keindahan bangunan.
Tembok masjid yang tebal dan terdapat empat tiang penyangga masjid yang diambil dari budaya Eropa, memiliki arti bahwa hal tersebut sebagai kekuatan atau ketahanan masjid itu sendiri. Adapun bentuk pintu dan jendela yang diambil dari budaya Betawi, sebagai lambang budaya masyarakat sekitar.
Selain berbicara tentang bangunan, di sisi masjid terdapat sebuah makam keramat Kiai Haji Jamiin bin Abdullah yang merupakan seorang aulia atau Wali Allah. "Beliau hidup di zaman ke-18 pada saat itu. Ya itu kewalian beliau, kadang-kadang kalau saya cerita tentang beliau saya merasa enggak pantas," ucap Kusnadi.
Setiap tahunnya, banyak penjiarah yang datang dari luar kota maupun luar negeri, seperti dari Malaysia. "Karena sejarah itu tadi, dia baca di mana akhirnya ya dia datang ke mari pengen tahu. Bahkan Wakil Presiden Adam Malik pernah kemari," tuturnya.
Lihat Juga: RK Bakal Pindahkan Balai Kota, Pramono: Balai Kota Jakarta Tetap di Medan Merdeka Selatan
(thm)