Antisipasi Corona Meluas, Waktunya Pencegahan Covid-19 di Lapas/Rutan
A
A
A
Iqrak Sulhin
Kriminolog FISIP UI
Pandemi Covid-19 telah berdampak hampir di semua bidang secara global. Salah satu upaya yang dilakukan secara global selain lockdown adalah menerapkan disiplin social distancing atau lebih tepatnya physical distancing.
Ide dasarnya adalah menghindari interaksi dengan jarak kurang dari 1 meter antarmanusia. Kebijakan ini pula yang membuat sekolah dan universitas menerapkan belajar daring, kantor pemerintah hingga swasta menerapkan bekerja dari rumah.
Namun ini tentu sulit bagi penegakan hukum. Satu hal yang tidak akan bisa berhenti adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan, termasuk memburu pelaku kejahatan dan kemudian melakukan penahanan. Polisi, jaksa, hakim hingga petugas pemasyarakatan, oleh karena fungsinya, relatif sulit untuk bisa bekerja dari rumah. Hal ini menempatkan mereka ke dalam daftar profesi yang rentan terinfeksi. Tidak hanya itu, dilakukannya penahanan dan dilakukannya eksekusi putusan pengadilan terhadap terpidana penjara menambah persoalan baru.
“Membendung” Arus Masuk
Total warga binaan pemasyarakatan per Februari 2020 (data smslap.ditjenpas.go.id) adalah 268.919 dengan komposisi 65.673 tahanan dan 205.710 narapidana. Adapun kemampuan daya tampung lapas/rutan di Indonesia adalah 131.931. Hal ini berarti terjadinya kondisi over-crowding sebesar 104%. Jumlah ini cenderung meningkat mengingat penegakan hukum yang berakhir dengan penahanan serta putusan pidana penjara oleh hakim adalah sesuatu yang tidak bisa dihentikan. (Baca: Bogor Raya Minta Pusat Lockdown Jakarta)
Kondisi ini tentu membuat lapas/rutan menjadi semakin rentan sebagai tempat peredaran Covid-19. Arus masuk tahanan dan narapidana baru sangat mungkin--meski tentu sangat tidak diharapkan--membawa Covid-19 ke dalam lapas/rutan. Bilapun diandaikan hingga saat ini belum ada narapidana/tahanan yang terinfeksi dan tidak ada narapidana/tahanan baru yang masuk, kerentanan tetap ada karena arus keluar masuk petugas.
Selain itu, melihat perbandingan antara isi dan kapasitas maksimal lapas/rutan, sudah barang tentu interaksi sosial antarwarga binaan akan cenderung terjadi dalam jarak yang sangat dekat. Terutama pada saat malam hari ketika warga binaan berada di dalam sel.
World Health Organization, Regional Office for Europe, pada 15 Maret 2020 lalu mengeluarkan apa yang mereka sebut sebagai Interim Guidance untuk pencegahan dan pengendalian Covid-19 di penjara dan tempat penahanan lainnya. Di dalam panduan ini disebutkan bahwa mereka yang berada di dalam penjara/tempat penahanan lebih rentan terhadap infeksi Covid-19. (Baca juga: Jasa Marga Pastikan Tak Ada Penutupan Jalan Tol di Jabodetabek)
Selain karena mereka tinggal bersama dalam jarak dekat untuk waktu yang cukup lama, kerentanan ini juga diakibatkan oleh relatif buruknya kondisi kesehatan di dalam. Imunitas menjadi menurun karena stres, nutrisi yang kurang, serta adanya prevalensi penyakit yang lain. Pertanyaanya kemudian, bagaimana pencegahan dapat dilakukan?
Seperti disinggung sebelumnya, penegakan hukum dan putusan pengadilan adalah dua proses yang memberi “intake” bagi lapas/rutan. Sejak mulai ditetapkannya kebijakan physical distancing dalam bentuk bekerja dan belajar dari rumah pada minggu ketiga Maret, “intake” tentu menjadi masalah. Hal ini karena belum adanya mekanisme khusus tentang bagaimana memastikan bahwa seseorang bebas dari infeksi Covid-19 sebelum ditahan di rutan atau dipenjarakan di lapas. Untuk mencegah penularan, muncul Surat Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH.PK.01.01.01-04 kepada Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Polri yang meminta penundaan sementara pengiriman tahanan ke rutan/lapas.
Surat penundaan ini di satu sisi memang akan memunculkan masalah. Pertama, persoalan utamanya adalah adanya tahanan baru yang masuk di dalam penahanan. Apabila pada akhirnya ditahan di kepolisian, risiko yang sama akan terjadi di sel-sel tahanan polisi, selain bahwa kemampuan daya tampung tempat penahanan di kepolisian sangat terbatas. Kedua, sesuai dengan Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tahanan memang seharusnya secara fisik berada di dalam rutan di bawah Kementerian Hukum dan HAM.
Namun oleh karena karakteristik lapas/rutan sebagai institusi tertutup dengan berbagai masalah kesehatan di dalamnya, permintaan tersebut dapat dipahami sepenuhnya. Pertanyaannya kemudian, apa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi intake? Jawaban dari pertanyaan ini pada dasarnya ada di dalam KUHAP, khususnya di dalam ketentuan tentang bentuk penahanan.Ditegaskan di dalam Pasal 22, bentuk penahanan dapat berupa penahanan di rumah tahanan negara, penahanan rumah, dan penahanan kota. Hingga saat ini penyidik cenderung menggunakan penahanan di rumah tahanan daripada menggunakan bentuk penahanan lainnya. (Baca juga: Demi Keluarga, Drivel Ojo Tetap Mengaspal di Tengah Wabah Corona)
Dalam situasi pandemi Covid-19, terlebih di wilayah dengan level keparahan yang relatif tinggi seperti Jakarta, penyidik semestinya dapat menggunakan alternatif penahanan rumah atau kota. Memang di dalam KUHAP juga terdapat ketentuan bahwa penahanan dilakukan dengan pertimbangan adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Memperhatikan ketentuan ini, penyidik sebenarnya dapat melakukan kategorisasi bila penahanan memang harus dilakukan.
Penahanan rumah atau kota bisa diterapkan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dengan ancaman pidana lebih dari 7 tahun (karena di bawah 7 tahun dilakukan diversi), terhadap penyalahguna narkotika, tersangka yang berstatus lanjut usia, tersangka kejahatan terkait properti seperti pencurian, atau dapat juga diperluas pada tipologi kejahatan non-kekerasan dan bukan pengulangan kejahatan.Khusus untuk mengurangi intake berupa terpidana yang dieksekusi jaksa menjalani pidana penjara di lapas, hakim dapat saja memutuskan probation untuk kasus-kasus kejahatan ringan yang tidak disertai kekerasan dan bukan pengulangan.
Protokol Internal
Membendung arus masuk adalah pilihan paling aman dalam situasi saat ini. Namun pencegahan di dalam lapas/rutan juga perlu mekanisme yang jelas. Bila mengacu pada Interm Guidance WHO Regional Office for Europe, ada berbagai langkah umum yang dapat dilakukan (yang pada dasarnya dapat juga dilakukan di kawasan lain, termasuk Indonesia). Hal ini karena langkah-langkah yang diatur melekat pada prosedur yang selama ini menjadi standar penahanan/pemenjaraan di mana pun di dunia. Berbagai langkah umum yang harus dilakukan menurut panduan tersebut, bila disesuaikan dengan konteks Indonesia, dapat diringkas sebagai berikut.
Pertama, pentingnya kerja sama antara petugas lapas/rutan dengan petugas pelayanan kesehatan dengan mengikuti protokol yang telah ditetapkan secara nasional. Hal ini untuk mendeteksi suspect di kalangan petugas atau warga binaan sehingga bisa dilakukan isolasi. Dalam konteks Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu memastikan semua prosedur pencegahan telah mengacu pada protokol nasional.
Kedua, berkaitan dengan keluar masuk orang ke dan dari lapas/rutan, yaitu pentingnya screening di pintu masu dengan melakukan pemeriksaan terhadap petugas, pengunjung hingga narapidana/tahanan. Termasuk melakukan registrasi yang ketat terhadap orang-orang yang keluar atau masuk. Masih berkaitan dengan hal ini, perlunya pembatasan terhadap mobilitas petugas tergantung pada level resiko suatu wilayah. Termasuk melakukan pembatasan terhadap kunjungan. Lapas/rutan di wilayah Jakarta sudah semestinya memastikan hal ini. Langkah mengubah kunjungan ke dalam bentuk daring adalah langka yang sangat baik.
Ketiga, pentingnya informasi, baik mengenai kondisi seseorang maupun tentang ancaman Covid-19 ini sendiri. Perlu disediakan informasi yang jelas mengenai ancaman dan pencegahannya. Perlu pula informasi tentang riwayat perjalanan seluruh petugas dan staf administratif sehingga mereka yang pernah berkunjung ke negara atau wilayah yang terinfeksi harus melakukan isolasi mandiri. Keempat, perlunya rapid identification dan kejelasan prosedur transfer ke rumah sakit. Pemerintah sebaiknya memasukkan petugas dan warga binaan di lapas/rutan ke dalam prioritas.
Kriminolog FISIP UI
Pandemi Covid-19 telah berdampak hampir di semua bidang secara global. Salah satu upaya yang dilakukan secara global selain lockdown adalah menerapkan disiplin social distancing atau lebih tepatnya physical distancing.
Ide dasarnya adalah menghindari interaksi dengan jarak kurang dari 1 meter antarmanusia. Kebijakan ini pula yang membuat sekolah dan universitas menerapkan belajar daring, kantor pemerintah hingga swasta menerapkan bekerja dari rumah.
Namun ini tentu sulit bagi penegakan hukum. Satu hal yang tidak akan bisa berhenti adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan, termasuk memburu pelaku kejahatan dan kemudian melakukan penahanan. Polisi, jaksa, hakim hingga petugas pemasyarakatan, oleh karena fungsinya, relatif sulit untuk bisa bekerja dari rumah. Hal ini menempatkan mereka ke dalam daftar profesi yang rentan terinfeksi. Tidak hanya itu, dilakukannya penahanan dan dilakukannya eksekusi putusan pengadilan terhadap terpidana penjara menambah persoalan baru.
“Membendung” Arus Masuk
Total warga binaan pemasyarakatan per Februari 2020 (data smslap.ditjenpas.go.id) adalah 268.919 dengan komposisi 65.673 tahanan dan 205.710 narapidana. Adapun kemampuan daya tampung lapas/rutan di Indonesia adalah 131.931. Hal ini berarti terjadinya kondisi over-crowding sebesar 104%. Jumlah ini cenderung meningkat mengingat penegakan hukum yang berakhir dengan penahanan serta putusan pidana penjara oleh hakim adalah sesuatu yang tidak bisa dihentikan. (Baca: Bogor Raya Minta Pusat Lockdown Jakarta)
Kondisi ini tentu membuat lapas/rutan menjadi semakin rentan sebagai tempat peredaran Covid-19. Arus masuk tahanan dan narapidana baru sangat mungkin--meski tentu sangat tidak diharapkan--membawa Covid-19 ke dalam lapas/rutan. Bilapun diandaikan hingga saat ini belum ada narapidana/tahanan yang terinfeksi dan tidak ada narapidana/tahanan baru yang masuk, kerentanan tetap ada karena arus keluar masuk petugas.
Selain itu, melihat perbandingan antara isi dan kapasitas maksimal lapas/rutan, sudah barang tentu interaksi sosial antarwarga binaan akan cenderung terjadi dalam jarak yang sangat dekat. Terutama pada saat malam hari ketika warga binaan berada di dalam sel.
World Health Organization, Regional Office for Europe, pada 15 Maret 2020 lalu mengeluarkan apa yang mereka sebut sebagai Interim Guidance untuk pencegahan dan pengendalian Covid-19 di penjara dan tempat penahanan lainnya. Di dalam panduan ini disebutkan bahwa mereka yang berada di dalam penjara/tempat penahanan lebih rentan terhadap infeksi Covid-19. (Baca juga: Jasa Marga Pastikan Tak Ada Penutupan Jalan Tol di Jabodetabek)
Selain karena mereka tinggal bersama dalam jarak dekat untuk waktu yang cukup lama, kerentanan ini juga diakibatkan oleh relatif buruknya kondisi kesehatan di dalam. Imunitas menjadi menurun karena stres, nutrisi yang kurang, serta adanya prevalensi penyakit yang lain. Pertanyaanya kemudian, bagaimana pencegahan dapat dilakukan?
Seperti disinggung sebelumnya, penegakan hukum dan putusan pengadilan adalah dua proses yang memberi “intake” bagi lapas/rutan. Sejak mulai ditetapkannya kebijakan physical distancing dalam bentuk bekerja dan belajar dari rumah pada minggu ketiga Maret, “intake” tentu menjadi masalah. Hal ini karena belum adanya mekanisme khusus tentang bagaimana memastikan bahwa seseorang bebas dari infeksi Covid-19 sebelum ditahan di rutan atau dipenjarakan di lapas. Untuk mencegah penularan, muncul Surat Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH.PK.01.01.01-04 kepada Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Polri yang meminta penundaan sementara pengiriman tahanan ke rutan/lapas.
Surat penundaan ini di satu sisi memang akan memunculkan masalah. Pertama, persoalan utamanya adalah adanya tahanan baru yang masuk di dalam penahanan. Apabila pada akhirnya ditahan di kepolisian, risiko yang sama akan terjadi di sel-sel tahanan polisi, selain bahwa kemampuan daya tampung tempat penahanan di kepolisian sangat terbatas. Kedua, sesuai dengan Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tahanan memang seharusnya secara fisik berada di dalam rutan di bawah Kementerian Hukum dan HAM.
Namun oleh karena karakteristik lapas/rutan sebagai institusi tertutup dengan berbagai masalah kesehatan di dalamnya, permintaan tersebut dapat dipahami sepenuhnya. Pertanyaannya kemudian, apa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi intake? Jawaban dari pertanyaan ini pada dasarnya ada di dalam KUHAP, khususnya di dalam ketentuan tentang bentuk penahanan.Ditegaskan di dalam Pasal 22, bentuk penahanan dapat berupa penahanan di rumah tahanan negara, penahanan rumah, dan penahanan kota. Hingga saat ini penyidik cenderung menggunakan penahanan di rumah tahanan daripada menggunakan bentuk penahanan lainnya. (Baca juga: Demi Keluarga, Drivel Ojo Tetap Mengaspal di Tengah Wabah Corona)
Dalam situasi pandemi Covid-19, terlebih di wilayah dengan level keparahan yang relatif tinggi seperti Jakarta, penyidik semestinya dapat menggunakan alternatif penahanan rumah atau kota. Memang di dalam KUHAP juga terdapat ketentuan bahwa penahanan dilakukan dengan pertimbangan adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Memperhatikan ketentuan ini, penyidik sebenarnya dapat melakukan kategorisasi bila penahanan memang harus dilakukan.
Penahanan rumah atau kota bisa diterapkan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dengan ancaman pidana lebih dari 7 tahun (karena di bawah 7 tahun dilakukan diversi), terhadap penyalahguna narkotika, tersangka yang berstatus lanjut usia, tersangka kejahatan terkait properti seperti pencurian, atau dapat juga diperluas pada tipologi kejahatan non-kekerasan dan bukan pengulangan kejahatan.Khusus untuk mengurangi intake berupa terpidana yang dieksekusi jaksa menjalani pidana penjara di lapas, hakim dapat saja memutuskan probation untuk kasus-kasus kejahatan ringan yang tidak disertai kekerasan dan bukan pengulangan.
Protokol Internal
Membendung arus masuk adalah pilihan paling aman dalam situasi saat ini. Namun pencegahan di dalam lapas/rutan juga perlu mekanisme yang jelas. Bila mengacu pada Interm Guidance WHO Regional Office for Europe, ada berbagai langkah umum yang dapat dilakukan (yang pada dasarnya dapat juga dilakukan di kawasan lain, termasuk Indonesia). Hal ini karena langkah-langkah yang diatur melekat pada prosedur yang selama ini menjadi standar penahanan/pemenjaraan di mana pun di dunia. Berbagai langkah umum yang harus dilakukan menurut panduan tersebut, bila disesuaikan dengan konteks Indonesia, dapat diringkas sebagai berikut.
Pertama, pentingnya kerja sama antara petugas lapas/rutan dengan petugas pelayanan kesehatan dengan mengikuti protokol yang telah ditetapkan secara nasional. Hal ini untuk mendeteksi suspect di kalangan petugas atau warga binaan sehingga bisa dilakukan isolasi. Dalam konteks Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu memastikan semua prosedur pencegahan telah mengacu pada protokol nasional.
Kedua, berkaitan dengan keluar masuk orang ke dan dari lapas/rutan, yaitu pentingnya screening di pintu masu dengan melakukan pemeriksaan terhadap petugas, pengunjung hingga narapidana/tahanan. Termasuk melakukan registrasi yang ketat terhadap orang-orang yang keluar atau masuk. Masih berkaitan dengan hal ini, perlunya pembatasan terhadap mobilitas petugas tergantung pada level resiko suatu wilayah. Termasuk melakukan pembatasan terhadap kunjungan. Lapas/rutan di wilayah Jakarta sudah semestinya memastikan hal ini. Langkah mengubah kunjungan ke dalam bentuk daring adalah langka yang sangat baik.
Ketiga, pentingnya informasi, baik mengenai kondisi seseorang maupun tentang ancaman Covid-19 ini sendiri. Perlu disediakan informasi yang jelas mengenai ancaman dan pencegahannya. Perlu pula informasi tentang riwayat perjalanan seluruh petugas dan staf administratif sehingga mereka yang pernah berkunjung ke negara atau wilayah yang terinfeksi harus melakukan isolasi mandiri. Keempat, perlunya rapid identification dan kejelasan prosedur transfer ke rumah sakit. Pemerintah sebaiknya memasukkan petugas dan warga binaan di lapas/rutan ke dalam prioritas.
(ysw)