Imbas Kemacetan, Puluhan Triliun Menguap di Jalan

Jum'at, 07 Agustus 2020 - 07:33 WIB
loading...
Imbas Kemacetan, Puluhan Triliun Menguap di Jalan
Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Masalah kemaceta n masih menjadi problem besar DKI Jakarta dan daerah penyangga lainnya. Masyarakat belum sepenuhnya beralih ke moda transportasi seperti ke moda raya terpadu (MRT), light rail transit (LRT), kereta rel listrik (KRL) commuter line, kereta api bandara, serta TransJakarta. Padahal tujuan utama transportasi itu dibangun untuk mendorong masyarakat beralih dari penggunaan kendaraan pribadi.

Buktinya setiap tahun puluhan triliun dana masih menguap di jalan raya yang diakibatkan kemacetan . Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menyebut, berdasarkan data Bank Dunia pada 2109, kerugian akibat kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta mencapai Rp65 triliun per tahun.

Tak hanya itu, DKI Jakarta juga masuk ke dalam salah satu dari 10 kota termacet di Asia dan kemacetan lalu lintas di perkotaan diindikasikan sebagai salah satu penghambat pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Kerugian yang diakibatkan kemacetan meliputi kerugian yang ditanggung dunia usaha, produktivitas tenaga kerja hingga konsumsi BBM kendaraan. (Baca: DPRD DKI NIlai Ganjil Genap Bukan Solusi Pengendalian Covid-19)

Yang jelas, karena keterlambatan atau kemacetan, biaya logistik jadi meningkat. Misalnya pengiriman barang jadi membutuhkan waktu lama, yang misalnya dalam satu hari bisa 5 kali kirim barang, karena macet jadi hanya 3 kali atau 4 kali. Kemacetan di jalan pun membuat konsumsi BBM kendaraan menjadi boros dan perawatan kendaraan menjadi lebih besar sebagai imbas sering kena macet.

Kemacetan pun membuat orang-orang yang bekerja menjadi terlalu lama di jalan saat berangkat dari rumah ke tempat kerja. Hal itu bakal mengganggu produktivitas mereka karena kehabisan banyak waktu hingga tenaga.

“Penyediaan sarana dan prasarana transportasi umum yang aman, nyaman, dan sehat harus ditingkatkan serta perlu kolaborasi stakeholder dalam mewujudkan integritas layanan angkutan umum massal yang berkualitas dan berbasis TI," kata Menhub.

Dia mengatakan Indonesia memiliki beberapa wilayah aglomerasi perkotaan besar. Jabodetabek adalah wilayah aglomerasi terbesar dengan jumlah penduduk 33 juta. "Setiap harinya kebutuhan pergerakan mencapai 88 juta," ujar Budi. (Baca juga: Mulai 3 Agustus, Ganjil Genap di Jakarta Kembali Dilakukan)

Dia menyebutkan sebanyak 3,2 juta penduduk melakukan kegiatan commuting tiap hari. Pergerakan tersebut, menurut dia, harus dikelola dengan baik. "Berdasarkan Traffic Index 2019, Jakarta memasuki angka kemacetan sebesar 53%, tingkat 10 termacet di dunia, dan ini menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi," ungkap Budi.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengaku punya strategi khusus untuk menekan kemacetan di Jakarta. Dia menjelaskan strategi yang dilakukan adalah push and pull, yaitu mendorong masyarakat meninggalkan angkutan pribadi dan menariknya untuk menggunakan transportasi umum.

Menurut dia, kebijakan mendorong masyarakat naik angkutan umum sudah dilakukan sejak lama, yaitu melalui skema ganjil genap. Diharapkan kebijakan ini mampu mengurangi penggunaan angkutan pribadi.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2651 seconds (0.1#10.140)