Kurangi Kemacetan 30%, Ahok Dinilai Lakukan Pembohongan Publik
A
A
A
JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) optimis Simpang Susun Semanggi kurangi kemacetan 30 persen karena didukung dengan konsistensi lajur jalan sekitar. Tanpa adanya perbaikan angkutan umum dan pebatasan kendaraan, 30 persen kurangi kemacetan dinilai pembohongan publik.
Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga mengatakan, pembangunan jalan layan semanggi hanya menguntungkan dan menyenangkan pengguna kendaraan pribadi. Hal tersebut sangat kontraproduktif mengajak masyarakat untuk beralih ke transportasi massal.
"Keberadaan Jalan Layang semanggi mengurangi macet 30% itu pembohongan publik. Ini menunjukkan Pemprov DKI setengah hati membangun transportasi massal," kata Nirwono Joga saat dihubungi, Jumat (28/4/2017).
Nirwono menjelaskan, untuk mengurai kemacetan itu harus ada pembatasan kendaraan melalui sistem pengendalian Elektronik Road Pricing (ERP), parkir mesin dan sebagainya. Namun, hal itu tentunya harus dibarengi dengan perbaikan moda transportasi yang aman, nyaman dan terintegrasi. Sehingga, pembangunan jalan Simpang Susun Semanggi dapat efektif urai kemacetan.
Konsistensi jalur, kata Nirwono, memang mengurangi kemacetan lantaran tidak ada lagi bottle neck atau jalan menyempit. Hal itu pun sudah dilakukan di kota-kota besar dunia. Sayangnya, lanjut dia, konsistensi jalur dengan menyempitkan jalur dan menambah pelebaran trotoar yang dilakukan DKI saat ini justru malah menambah kemacetan, seperti misalnya di depan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat dan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
"Jadi enggak akan mungkin Simpang Susun Semanggi dapat kurangi kemacetan hanya dengan melebarkan trotoar dengan mengorbankan jalur tanpa adanya pembatasan kendaraan serta perbaikan angkutan umum," katanya.
Nirwono menyarankan, agar Pemprov DKI fokus terhadap pembatasan kendaraan pribadi Sudirman-Thamrin-Gatot Subroto-MT haryono melalui ERP. Kemudian, sambungnya, fokus untuk mengoptimalkan bus Transjakarta, Light Rail Transit (LRT), MRT, jalur pejalan kaki dan pesepeda untuk jarak dekat.
"Keterlibatan pihak swasta dapat dialihkan ke pembangunan di tempat lain. Masih banyak lokasi yang bisa dibantu seperti percepatan pembangunan jalan layang pelintasan sebidang kereta api, pembangunan underpass, pedestrianisasi, jalur sepeda. Termasuk koridor lanjutan Transjakarta," pungkasnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) optimistis, Simpang Susun Semanggi dapat mengurai kemacetan sekitar 30%. Sebab, sebelum adanya Simpang Susun Semanggi II, pengendara pribadi dari Grogol ke Kebayoran baru harus memutar dalam lingkaran masuk lagi ke dalam Jalan Sudirman. Sedangkan dengan adanya Simpang Susun Semanggi II, pengendara tidak perlu lagi masuk ke dalam Jalan sudirman.
"Dari Cawang, layang masuk dari Grogol juga layang langsung masuk tol. Kita mengurangi 30%," katanya di Jakarta.
Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga mengatakan, pembangunan jalan layan semanggi hanya menguntungkan dan menyenangkan pengguna kendaraan pribadi. Hal tersebut sangat kontraproduktif mengajak masyarakat untuk beralih ke transportasi massal.
"Keberadaan Jalan Layang semanggi mengurangi macet 30% itu pembohongan publik. Ini menunjukkan Pemprov DKI setengah hati membangun transportasi massal," kata Nirwono Joga saat dihubungi, Jumat (28/4/2017).
Nirwono menjelaskan, untuk mengurai kemacetan itu harus ada pembatasan kendaraan melalui sistem pengendalian Elektronik Road Pricing (ERP), parkir mesin dan sebagainya. Namun, hal itu tentunya harus dibarengi dengan perbaikan moda transportasi yang aman, nyaman dan terintegrasi. Sehingga, pembangunan jalan Simpang Susun Semanggi dapat efektif urai kemacetan.
Konsistensi jalur, kata Nirwono, memang mengurangi kemacetan lantaran tidak ada lagi bottle neck atau jalan menyempit. Hal itu pun sudah dilakukan di kota-kota besar dunia. Sayangnya, lanjut dia, konsistensi jalur dengan menyempitkan jalur dan menambah pelebaran trotoar yang dilakukan DKI saat ini justru malah menambah kemacetan, seperti misalnya di depan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat dan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
"Jadi enggak akan mungkin Simpang Susun Semanggi dapat kurangi kemacetan hanya dengan melebarkan trotoar dengan mengorbankan jalur tanpa adanya pembatasan kendaraan serta perbaikan angkutan umum," katanya.
Nirwono menyarankan, agar Pemprov DKI fokus terhadap pembatasan kendaraan pribadi Sudirman-Thamrin-Gatot Subroto-MT haryono melalui ERP. Kemudian, sambungnya, fokus untuk mengoptimalkan bus Transjakarta, Light Rail Transit (LRT), MRT, jalur pejalan kaki dan pesepeda untuk jarak dekat.
"Keterlibatan pihak swasta dapat dialihkan ke pembangunan di tempat lain. Masih banyak lokasi yang bisa dibantu seperti percepatan pembangunan jalan layang pelintasan sebidang kereta api, pembangunan underpass, pedestrianisasi, jalur sepeda. Termasuk koridor lanjutan Transjakarta," pungkasnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) optimistis, Simpang Susun Semanggi dapat mengurai kemacetan sekitar 30%. Sebab, sebelum adanya Simpang Susun Semanggi II, pengendara pribadi dari Grogol ke Kebayoran baru harus memutar dalam lingkaran masuk lagi ke dalam Jalan Sudirman. Sedangkan dengan adanya Simpang Susun Semanggi II, pengendara tidak perlu lagi masuk ke dalam Jalan sudirman.
"Dari Cawang, layang masuk dari Grogol juga layang langsung masuk tol. Kita mengurangi 30%," katanya di Jakarta.
(mhd)