Kisah Tragis Pengkhianat Erberveld di Balik Nama Kampung Pecah Kulit Jakbar

Minggu, 09 Juli 2023 - 12:08 WIB
loading...
Kisah Tragis Pengkhianat Erberveld di Balik Nama Kampung Pecah Kulit Jakbar
Monumen Pieter Erberveld tahun 1885. Foto: Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures
A A A
JAKARTA - Di balik nama Kampung Pecah Kulit, Pinangsia, Jakarta Barat ada kisah tragis seorang pengkhianat bernama Pieter Erberveld. Cara eksekusi mati Erberveld yang sadis dan kejam menjadi cikal bakal berdirinya Kampung Pecah Kulit.

Pada abad ke-18 Kampung Pecah Kulit yang berlokasi di Jalan Pangeran Jayakarta dikenal dengan sebutan Jacatraweg. Kampung tua yang masih mempertahankan tradisi dan kehidupan khas masyarakat Betawi.

Sejarah Nama Kampung Pecah Kulit

Pada zaman dulu kawasan ini dikenal sebagai tempat penyamakan kulit yang dimiliki orang Jerman yang merupakan seorang Letnan Kavaleri Belanda bernama Erberveld. Setelah pensiun dari dinas militer, dia membuka usaha penyamakan kulit di lahan yang cukup luas.

Erberveld menikah dengan perempuan Siam dari Thailand dan mereka dikaruniai seorang anak yang diberi nama Pieter Erberveld.



Pieter Erberveld kemudian menikah dengan perempuan Betawi lalu melanjutkan usaha sang ayah. Dia memiliki hubungan yang baik dengan pribumi di sekitar tempat tinggalnya.

Bahkan, Erberveld sering membantu masyarakat pribumi yang kesulitan. Karena perilakunya yang baik, Erberveld dianggap keluarga oleh warga pribumi.

Namun, nasib malang menghampiri mereka ketika tanah milik Erberveld disita Gubernur Jenderal Hindia Belanda (VOC). VOC menyita tanah Erberveld di Pondok Bambu dengan alasan tanah tersebut tidak memiliki akta VOC yang sah.

Ketika eksekusi penyitaan tanah banyak rakyat mendukung Erberveld dalam perjuangannya. Namun, VOC bersikeras melaksanakan tindakan tersebut.

Bahkan, Gubernur VOC Joan Van Hoorn menambah hukuman bagi Erberveld dengan mewajibkannya membayar denda sebanyak 3.300 ikat padi yang harus diserahkan kepada VOC.

Peristiwa penyitaan tanah pada tahun 1708 meninggalkan bekas dendam yang mendalam bagi Erberveld dan masyarakat terhadap VOC.

Dalam buku Zaman Perang: Orang Biasa dalam Sejarah Luar Biasa yang ditulis Hendi Jo pada tahun 2015 diungkapkan bahwa penyitaan memicu kemarahan dan kekecewaan yang mendalam di kalangan Erberveld dan rakyat.

Eksekusi Mati Pieter Erberveld

Pada 1722, VOC mendengar kabar Erberveld dan Raden Ateng terlibat dalam sebuah perlawanan yakni rencana makar terhadap pemerintah kolonial Belanda. Mereka merencanakan aksi pemberontakan untuk menggulingkan kekuasaan VOC yang dianggap merampas tanah dan merugikan masyarakat.

Jika makar berhasil Erberveld akan menjadi Gubernur, sementara Raden Ateng menjadi Patih. Beberapa pendukung lainnya akan menerima imbalan sesuai peran mereka dalam rencana tersebut.

Berdasarkan laporan tersebut, VOC segera mengambil tindakan. Mereka melancarkan serangan dan berhasil menangkap Erberveld beserta pengikut-pengikutnya. Sebanyak 23 orang yang terlibat dalam rencana makar tewas dalam kejadian tersebut.

Pada April 1722, Erberveld dan Raden Ateng serta pengikut-pengikutnya dijatuhi hukuman mati oleh VOC. Eksekusi mati Erberveld dan pendukungnya dilakukan dengan cara yang sangat tidak manusiawi dan kejam.

Tubuh Erberveld dan pengikut lainnya diikat pada kayu salib. Tali-tali kayu dihubungkan dengan 4 kuda yang menghadap ke arah berlawanan. Ketika 4 kuda ditarik, kulit Erberveld dan anggota tubuh lainnya terbelah atau terpecah.

Daging-daging mereka dibiarkan sebagai santapan burung-burung pemakan bangkai. Bahkan sebelum mereka benar-benar meninggal, tubuh mereka disayat-sayat berkali-kali dengan senjata tajam.

Eksekusi sadis ini sebagai pesan dari VOC kepada masyarakat agar mereka tidak melakukan tindakan yang melawan hukum. Tempat eksekusi tersebut saat ini dikenal sebagai Kampung Pecah Kulit.

Dikutip dari portal resmi Pemprov DKI Jakarta, di Kampung Pecah Kulit dibuatkan monumen yang di atasnya terdapat tengkorak seperti kepala Pieter Erberveld. Monumen Erberveld dibangun dengan tulisan dua bahasa yaitu bahasa Belanda dan Jawa dengan tulisan cat putih.

Monumen itu bertuliskan “Sebagai kenangan dari pengkhianat Pieter Erberveld, tidak seorang pun kini boleh membangun, membuat, meletakkan bata atau menanam di tempat ini. Batavia, 14 April 1722”. Kini, prasasti asli berada di Museum Sejarah Jakarta.

MG/Vanya Aisy Nourzaki
(jon)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1584 seconds (0.1#10.140)