Sudahkah Rumah Menjadi Tempat yang Aman untuk Anak?
loading...
A
A
A
Reni Kartikawati
Pengajar di Departemen Kriminologi FISIP UI
Peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli 2020, Indonesia masih dikejutkan dengan angka kasus kekerasan terhadap anak yang terus meningkat setiap tahunnya, tak terkecuali pada masa pandemi Covid-19 ini. Berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari–19 Juni 2020, telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, 852 kasus di antaranya kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual.
Angka ini tergolong tinggi dibandingkan data tahun 2019 yang mencapai 1.192 kasus laporan. Pada masa pandemi Covid-19, keberadaan anak di dalam rumah, tidak serta-merta membuat mereka berada pada ‘ruang aman’. Rumah sebagai tempat yang seharusnya ‘aman’ untuk anak justru menjadi rentan di masa pandemi karena banyaknya anggota keluarga yang harus tinggal di rumah dalam waktu yang lama. Kemudian, masalah pola pengasuhan serta masalah ekonomi akibat kehilangan penghasilan menjadi beberapa penyebab tingginya angka kasus kekerasan terhadap anak pada masa pandemi.
Dalam kacamata kriminologis, anak merupakan salah satu kelompok rentan menjadi korban kejahatan yang harus dilindungi. Menurut WHO, pelaku kekerasan terhadap anak biasanya memiliki ‘relasi kuasa’ dan hubungan yang dekat dengan lingkungan tempat tinggal anak berada. Tidak terkecuali rumah dalam hal ini ‘keluarga’ atau orang dewasa lainnya yang dapat juga menjadi pelaku kekerasan terhadap anak. (Baca: Kasus Kekerasan Anak meningkat Selama Pandemi, Paling Banyak Seksual)
Laporan Wahana Visi Indonesia (WVI) tahun 2020 mengenai “Pandemic Covid-19 dan Pengaruhnya Terhadap Anak Indonesia” menyebutkan bahwa hampir dua pertiga anak mengaku justru mengalami kekerasan verbal dari orang tuanya (61,5%). Kemudian, anak mengaku mengalami kekerasan fisik (11,3%) saat harus belajar di rumah atau work from home (WFH). Ini kontradiktif dengan hasil survei kepada orang tua yang hampir dua pertiga orang tua mengaku sudah melakukan pengasuhan positif tanpa kekerasan (64%).
Dilihat dari kacamata perlindungan anak menurut UU Perlindungan Anak No.034 Tahun 2014, pasal 1 poin 11 dan 12 yang dinyatakan bahwa “Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai dengan kemampuan, bakat serta minatnya.” Artinya, tugas orang tua adalah melindungi anak dari segala bentuk kekerasan. Hak dilindungi termasuk dari unsur kekerasan ini sesuai juga dengan hak asasi anak pada poin 12, serta sejalan dengan pasal 20, yaitu “Negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak”.
Pada masa pandemi Covid-19 ini, posisi anak sebagai korban kekerasan semakin rentan. Anak sebagai korban dijadikan target sasaran orang tua atau orang yang lebih dewasa dari dirinya karena posisi anak yang lemah. Selain itu, adanya pandemi Covid-19 yang membuat anak selalu berada di rumah, juga sekaligus menjadi ‘peluang’ bagi para pelaku kekerasan untuk melampiaskan emosi sosial psikologisnya kepada anak. Hal ini juga terkait masih adanya pemikiran bahwa anak adalah ‘aset keluarga’ yang dapat diatur dan dimiliki oleh orang tua selaku wali yang juga memiliki hak asuh anak secara penuh.
Artinya jika terjadi kekerasan pada anak, orang tua/wali anak menganggap bagian dari proses pengasuhan dan ranah privat rumah tangga. Dengan demikian, kontrol sosial masyarakat atas bentuk-bentuk kekerasan mulai dalam bentuk verbal, fisik, sampai dengan kekerasan seksual, yang marak pada masa pandemi, menjadi sulit untuk dilakukan. Inilah yang harus dilihat dan ditindaklanjuti lebih jauh oleh pemerintah selaku pembuat kebijakan, serta seluruh lembaga pemerhati perlindungan anak, agar kekerasan terhadap anak tidak selalu berulang dan baru diketahui setelah terjadinya kekerasan. (Baca juga: AS Tuduh Rusia Kirim Banyak Senjata ke Garis Depan Libya)
Upaya preventif atau pencegahan dengan mengedukasi keluarga sebagai unit terkecil dan terdekat dengan anak di rumah menjadi hal yang sangat penting dalam mencegah terjadinya bentuk-bentuk kekerasan. Begitu juga dengan elemen masyarakat selaku agen sosial yang dapat membantu mengontrol dan melihat gejala prakekerasan yang bisa dan mungkin terjadi di lingkungan sosialnya. Karena jika kontrol sosial lemah, peluang terjadinya kekerasan semakin tinggi, khususnya pada masa pandemi. Keberadaan anak di rumah sering kali tidak dapat diketahui kondisi psikologis dan sosialnya, karena ada batasan ranah publik dan privat tadi yang sering kali dijadikan alasan masyarakat tidak dapat berbuat lebih jauh ketika menemukan bentuk atau gejala kekerasan di lingkungannya.
Seperti fenomena gunung es, data riil dari kasus kekerasan pada anak, jumlah persebarannya, pelaku kekerasan, dan motif di balik pelaku kekerasan, sampai dengan saat ini belum bisa diketahui secara pasti. Untuk itu, pemerintah beserta lembaga independen (Komnas Anak, KPAI, dll) dan seluruh elemen masyarakat harus secara serius dan berkomitmen penuh untuk mencegah agar segala bentuk kekerasan kepada anak tidak lagi terjadi. Oleh karena itu, pemberian edukasi praktik pola pengasuhan positif (tanpa kekerasan verbal atau fisik) dalam keluarga perlu ditingkatkan kapasitasnya. (Baca juga: Wow! Pemerintah Buru Harta Karun Batangan Emas di Dasar Laut)
Di samping itu, pemerintah juga perlu menjamin pelayanan perlindungan anak berbasis komunitas tetap berjalan pada masa pandemi, khususnya pada upaya pencegahan dan bukan hanya pada penanggulangan jika sudah terjadi korban kekerasan. Beberapa peraturan yang ada di Indonesia terkait dengan perlindungan anak sudah sangat banyak, mulai UUD 1945, pasal 2B ayat 2, dikatakan bahwa “Negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi”.
Adanya UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak; Adanya Peraturan Menteri Negara PPPA No. 13 Tahun 2011, Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), serta kebijakan perlindungan anak yang terbaru dalam masa pandemi, yaitu Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 460/812/SJ dan Nomor 460/813/SJ tanggal 28 Januari 2020 tentang Perencanaan dan Penganggaran dalam Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Kemudian Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Menteri Sosial, dan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional No.12 Tahun 2020, No.440-824.A Tahun 2020, No.47 Tahun 2020, No. 01 Tahun 2020, No.100 Tahun 2020 tentang Sinergitas Program dan Kegiatan Perlindungan Perempuan dan Anak Pada Masa Pandemi Covid-19. (Lihat videonya: Sparko, Sensasi Olahraga Bergaya Militer)
Implementasi berbagai aturan tersebutlah yang perlu dikaji dan renungkan. Mengutip kata bijak dari Nelson Mandela saat menjabat sebagai sekretaris jenderal PBB, yang mengatakan bahwa “Sebuah negara dikatakan beradab jika memiliki perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masa depan anak, dan anak terbebas dari bentuk situasi yang sulit.” Ukuran ‘beradab’ suatu negara dalam hal ini bisa dilihat ketika negara serius dalam melaksanakan komitmennya untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap anak, khususnya anak dalam situasi sulit seperti pandemi. Kekerasan terjadi tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga pada kondisi psikologis anak yang membuat mereka tertekan dan tidak dapat melawan. Selamat Hari Anak Nasional 2020!
Pengajar di Departemen Kriminologi FISIP UI
Peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli 2020, Indonesia masih dikejutkan dengan angka kasus kekerasan terhadap anak yang terus meningkat setiap tahunnya, tak terkecuali pada masa pandemi Covid-19 ini. Berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari–19 Juni 2020, telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, 852 kasus di antaranya kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual.
Angka ini tergolong tinggi dibandingkan data tahun 2019 yang mencapai 1.192 kasus laporan. Pada masa pandemi Covid-19, keberadaan anak di dalam rumah, tidak serta-merta membuat mereka berada pada ‘ruang aman’. Rumah sebagai tempat yang seharusnya ‘aman’ untuk anak justru menjadi rentan di masa pandemi karena banyaknya anggota keluarga yang harus tinggal di rumah dalam waktu yang lama. Kemudian, masalah pola pengasuhan serta masalah ekonomi akibat kehilangan penghasilan menjadi beberapa penyebab tingginya angka kasus kekerasan terhadap anak pada masa pandemi.
Dalam kacamata kriminologis, anak merupakan salah satu kelompok rentan menjadi korban kejahatan yang harus dilindungi. Menurut WHO, pelaku kekerasan terhadap anak biasanya memiliki ‘relasi kuasa’ dan hubungan yang dekat dengan lingkungan tempat tinggal anak berada. Tidak terkecuali rumah dalam hal ini ‘keluarga’ atau orang dewasa lainnya yang dapat juga menjadi pelaku kekerasan terhadap anak. (Baca: Kasus Kekerasan Anak meningkat Selama Pandemi, Paling Banyak Seksual)
Laporan Wahana Visi Indonesia (WVI) tahun 2020 mengenai “Pandemic Covid-19 dan Pengaruhnya Terhadap Anak Indonesia” menyebutkan bahwa hampir dua pertiga anak mengaku justru mengalami kekerasan verbal dari orang tuanya (61,5%). Kemudian, anak mengaku mengalami kekerasan fisik (11,3%) saat harus belajar di rumah atau work from home (WFH). Ini kontradiktif dengan hasil survei kepada orang tua yang hampir dua pertiga orang tua mengaku sudah melakukan pengasuhan positif tanpa kekerasan (64%).
Dilihat dari kacamata perlindungan anak menurut UU Perlindungan Anak No.034 Tahun 2014, pasal 1 poin 11 dan 12 yang dinyatakan bahwa “Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai dengan kemampuan, bakat serta minatnya.” Artinya, tugas orang tua adalah melindungi anak dari segala bentuk kekerasan. Hak dilindungi termasuk dari unsur kekerasan ini sesuai juga dengan hak asasi anak pada poin 12, serta sejalan dengan pasal 20, yaitu “Negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak”.
Pada masa pandemi Covid-19 ini, posisi anak sebagai korban kekerasan semakin rentan. Anak sebagai korban dijadikan target sasaran orang tua atau orang yang lebih dewasa dari dirinya karena posisi anak yang lemah. Selain itu, adanya pandemi Covid-19 yang membuat anak selalu berada di rumah, juga sekaligus menjadi ‘peluang’ bagi para pelaku kekerasan untuk melampiaskan emosi sosial psikologisnya kepada anak. Hal ini juga terkait masih adanya pemikiran bahwa anak adalah ‘aset keluarga’ yang dapat diatur dan dimiliki oleh orang tua selaku wali yang juga memiliki hak asuh anak secara penuh.
Artinya jika terjadi kekerasan pada anak, orang tua/wali anak menganggap bagian dari proses pengasuhan dan ranah privat rumah tangga. Dengan demikian, kontrol sosial masyarakat atas bentuk-bentuk kekerasan mulai dalam bentuk verbal, fisik, sampai dengan kekerasan seksual, yang marak pada masa pandemi, menjadi sulit untuk dilakukan. Inilah yang harus dilihat dan ditindaklanjuti lebih jauh oleh pemerintah selaku pembuat kebijakan, serta seluruh lembaga pemerhati perlindungan anak, agar kekerasan terhadap anak tidak selalu berulang dan baru diketahui setelah terjadinya kekerasan. (Baca juga: AS Tuduh Rusia Kirim Banyak Senjata ke Garis Depan Libya)
Upaya preventif atau pencegahan dengan mengedukasi keluarga sebagai unit terkecil dan terdekat dengan anak di rumah menjadi hal yang sangat penting dalam mencegah terjadinya bentuk-bentuk kekerasan. Begitu juga dengan elemen masyarakat selaku agen sosial yang dapat membantu mengontrol dan melihat gejala prakekerasan yang bisa dan mungkin terjadi di lingkungan sosialnya. Karena jika kontrol sosial lemah, peluang terjadinya kekerasan semakin tinggi, khususnya pada masa pandemi. Keberadaan anak di rumah sering kali tidak dapat diketahui kondisi psikologis dan sosialnya, karena ada batasan ranah publik dan privat tadi yang sering kali dijadikan alasan masyarakat tidak dapat berbuat lebih jauh ketika menemukan bentuk atau gejala kekerasan di lingkungannya.
Seperti fenomena gunung es, data riil dari kasus kekerasan pada anak, jumlah persebarannya, pelaku kekerasan, dan motif di balik pelaku kekerasan, sampai dengan saat ini belum bisa diketahui secara pasti. Untuk itu, pemerintah beserta lembaga independen (Komnas Anak, KPAI, dll) dan seluruh elemen masyarakat harus secara serius dan berkomitmen penuh untuk mencegah agar segala bentuk kekerasan kepada anak tidak lagi terjadi. Oleh karena itu, pemberian edukasi praktik pola pengasuhan positif (tanpa kekerasan verbal atau fisik) dalam keluarga perlu ditingkatkan kapasitasnya. (Baca juga: Wow! Pemerintah Buru Harta Karun Batangan Emas di Dasar Laut)
Di samping itu, pemerintah juga perlu menjamin pelayanan perlindungan anak berbasis komunitas tetap berjalan pada masa pandemi, khususnya pada upaya pencegahan dan bukan hanya pada penanggulangan jika sudah terjadi korban kekerasan. Beberapa peraturan yang ada di Indonesia terkait dengan perlindungan anak sudah sangat banyak, mulai UUD 1945, pasal 2B ayat 2, dikatakan bahwa “Negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi”.
Adanya UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak; Adanya Peraturan Menteri Negara PPPA No. 13 Tahun 2011, Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), serta kebijakan perlindungan anak yang terbaru dalam masa pandemi, yaitu Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 460/812/SJ dan Nomor 460/813/SJ tanggal 28 Januari 2020 tentang Perencanaan dan Penganggaran dalam Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Kemudian Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Menteri Sosial, dan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional No.12 Tahun 2020, No.440-824.A Tahun 2020, No.47 Tahun 2020, No. 01 Tahun 2020, No.100 Tahun 2020 tentang Sinergitas Program dan Kegiatan Perlindungan Perempuan dan Anak Pada Masa Pandemi Covid-19. (Lihat videonya: Sparko, Sensasi Olahraga Bergaya Militer)
Implementasi berbagai aturan tersebutlah yang perlu dikaji dan renungkan. Mengutip kata bijak dari Nelson Mandela saat menjabat sebagai sekretaris jenderal PBB, yang mengatakan bahwa “Sebuah negara dikatakan beradab jika memiliki perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masa depan anak, dan anak terbebas dari bentuk situasi yang sulit.” Ukuran ‘beradab’ suatu negara dalam hal ini bisa dilihat ketika negara serius dalam melaksanakan komitmennya untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap anak, khususnya anak dalam situasi sulit seperti pandemi. Kekerasan terjadi tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga pada kondisi psikologis anak yang membuat mereka tertekan dan tidak dapat melawan. Selamat Hari Anak Nasional 2020!
(ysw)