Dahsyat! Bisikan Komandan Brimob Ini Berujung Penarikan Pasukan RPKAD
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bisikan Komandan Resimen Pelopor Brimob Kombes Pol Anton Soedjarwo berujung penarikan pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD/saat ini Kopassus ). Insiden itu terjadi pada 1966 ketika sedang panas-panasnya aksi demonstrasi mahasiswa menyampaikan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura).
Anton yang berjaga di Istana Presiden berbisik kepada Komandan RPKAD Kolonel (Inf) Sarwo Edhie Wibowo yang mengenakan pakaian sipil sedang berada di belakang demonstran.
Baca juga: Kisah Jenderal TNI yang Peduli Kesejahteraan Anggota Brimob
Dikutip dari buku Resimen Pelopor (Edisi Revisi), Pasukan Elite Yang Terlupakan, penulis Anton Agus Setyawan dan Andi M Darlis, Januari 2013, Anton meminta Sarwo Edhie menarik mundur pasukan atau akan terjadi kontak senjata dengan pasukan Pelopor Brimob.
Permintaan itu akhirnya disanggupi Sarwo Edhie dengan menarik pasukan RPKAD berpakaian sipil keluar dari kerumunan demonstran mahasiswa. Sarwo Edhie mengakhiri dunia kemiliteran dengan pangkat Letjen TNI.
Sarwo Edhie merupakan ayah Kristiani Herrawati atau Ani Yudhoyono, Ibu Negara Republik Indonesia yang merupakan istri Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Aksi demonstrasi tahun 1966 juga menimbulkan bentrokan antara pasukan Pelopor anggota Resimen Tjakrabirawa dengan demonstran yang berakibat penembakan Arief Rahman Hakim.
Ketika demonstrasi ada sekelompok mahasiswa dan massa yang menerobos ke belakang Istana. Tiba-tiba, menurut anggota Pelopor yang waktu itu tengah berjaga terdengar suara tembakan dari kerumunan demonstran yang diarahkan ke posisi para penjaga.
Mendengar tembakan tersebut, prajurit Brimob bereaksi lalu melepaskan tembakan balasan. Pasukan Pelopor menembak dari ketinggian sehingga menimbulkan banyak korban.
Setelah bentrokan, pasukan Pelopor melakukan penyisiran dan menemukan beberapa mayat demonstran yang menjadi korban penembakan. Anehnya, di tubuh mayat-mayat tersebut ditemukan senjata berupa Sten Gun, Thompson, dan pistol semiotomatis FN Cal 45 yang merupakan senjata standar Angkatan Darat (AD).
Dua tahun berselang tepatnya 1968, Mabak (Mabes) Polri mengeluarkan SK penggantian Kombes Anton Soedjarwo. Pergantian pejabat di tengah konflik tak pelak menimbulkan kecurigaan.
Reaksi keras ditunjukkan para anggota Pelopor. Wakil Komandan Resimen Pelopor Brimob AKBP Soetrisno Ilham memimpin langsung pengepungan Mabak Polri dengan membawa seluruh anggota Pelopor menggunakan truk.
Baca juga: Kisah Komandan Brimob yang Miliki Jimat Mengendus Gerombolan Pemberontak
Mereka hanya minta satu tuntutan saja. Tuntutan itu yakni SK penggantian Kombes Anton dicabut atau mereka akan terus mengepung Mabes Polri hingga batas waktu tidak ditentukan.
Setibanya di Mabes Polri, AKBP Soetrisno Ilham langsung memerintahkan pasukannya menutup seluruh akses menuju Mabes. Dia juga menempatkan penembak jitu atau sniper di beberapa titik strategis kemudian memerintahkan mereka melepaskan tembakan peringatan kepada siapa pun yang keluar dari Mabes Polri, termasuk Kapolri Jenderal Pol Soetjipto Joedodihardjo.
Untuk mencegah konflik yang lebih besar, Mabes Polri akhirnya memenuhi tuntutan tersebut. Terlebih dalam situasi politik yang tidak menentu, konflik antaranggota Polri akan berakibat sangat tidak menguntungkan bagi institusi Polri. Buntut pengepungan Pelopor Brimob yakni mundurnya Kapolri Jenderal Pol Soetjipto Joedodihardjo.
Diketahui, Jenderal Polisi Anton Soedjarwo pada periode 4 Desember 1982-6 Juni 1986 menjabat Kapolri.
Anton yang berjaga di Istana Presiden berbisik kepada Komandan RPKAD Kolonel (Inf) Sarwo Edhie Wibowo yang mengenakan pakaian sipil sedang berada di belakang demonstran.
Baca juga: Kisah Jenderal TNI yang Peduli Kesejahteraan Anggota Brimob
Dikutip dari buku Resimen Pelopor (Edisi Revisi), Pasukan Elite Yang Terlupakan, penulis Anton Agus Setyawan dan Andi M Darlis, Januari 2013, Anton meminta Sarwo Edhie menarik mundur pasukan atau akan terjadi kontak senjata dengan pasukan Pelopor Brimob.
Permintaan itu akhirnya disanggupi Sarwo Edhie dengan menarik pasukan RPKAD berpakaian sipil keluar dari kerumunan demonstran mahasiswa. Sarwo Edhie mengakhiri dunia kemiliteran dengan pangkat Letjen TNI.
Sarwo Edhie merupakan ayah Kristiani Herrawati atau Ani Yudhoyono, Ibu Negara Republik Indonesia yang merupakan istri Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Aksi demonstrasi tahun 1966 juga menimbulkan bentrokan antara pasukan Pelopor anggota Resimen Tjakrabirawa dengan demonstran yang berakibat penembakan Arief Rahman Hakim.
Ketika demonstrasi ada sekelompok mahasiswa dan massa yang menerobos ke belakang Istana. Tiba-tiba, menurut anggota Pelopor yang waktu itu tengah berjaga terdengar suara tembakan dari kerumunan demonstran yang diarahkan ke posisi para penjaga.
Mendengar tembakan tersebut, prajurit Brimob bereaksi lalu melepaskan tembakan balasan. Pasukan Pelopor menembak dari ketinggian sehingga menimbulkan banyak korban.
Setelah bentrokan, pasukan Pelopor melakukan penyisiran dan menemukan beberapa mayat demonstran yang menjadi korban penembakan. Anehnya, di tubuh mayat-mayat tersebut ditemukan senjata berupa Sten Gun, Thompson, dan pistol semiotomatis FN Cal 45 yang merupakan senjata standar Angkatan Darat (AD).
Dua tahun berselang tepatnya 1968, Mabak (Mabes) Polri mengeluarkan SK penggantian Kombes Anton Soedjarwo. Pergantian pejabat di tengah konflik tak pelak menimbulkan kecurigaan.
Reaksi keras ditunjukkan para anggota Pelopor. Wakil Komandan Resimen Pelopor Brimob AKBP Soetrisno Ilham memimpin langsung pengepungan Mabak Polri dengan membawa seluruh anggota Pelopor menggunakan truk.
Baca juga: Kisah Komandan Brimob yang Miliki Jimat Mengendus Gerombolan Pemberontak
Mereka hanya minta satu tuntutan saja. Tuntutan itu yakni SK penggantian Kombes Anton dicabut atau mereka akan terus mengepung Mabes Polri hingga batas waktu tidak ditentukan.
Setibanya di Mabes Polri, AKBP Soetrisno Ilham langsung memerintahkan pasukannya menutup seluruh akses menuju Mabes. Dia juga menempatkan penembak jitu atau sniper di beberapa titik strategis kemudian memerintahkan mereka melepaskan tembakan peringatan kepada siapa pun yang keluar dari Mabes Polri, termasuk Kapolri Jenderal Pol Soetjipto Joedodihardjo.
Untuk mencegah konflik yang lebih besar, Mabes Polri akhirnya memenuhi tuntutan tersebut. Terlebih dalam situasi politik yang tidak menentu, konflik antaranggota Polri akan berakibat sangat tidak menguntungkan bagi institusi Polri. Buntut pengepungan Pelopor Brimob yakni mundurnya Kapolri Jenderal Pol Soetjipto Joedodihardjo.
Diketahui, Jenderal Polisi Anton Soedjarwo pada periode 4 Desember 1982-6 Juni 1986 menjabat Kapolri.
(jon)