Pertama, Sepasang Elang Jawa Dilepasliarkan di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango Bogor
loading...
A
A
A
BOGOR - Sepasang Elang Jawa dilepasliarkan di kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) , Kabupaten Bogor. Kedua Elang Jawa itu merupakan hasil penangkaran Pusat Suaka Satwa Elang Jawa (PSSEJ) dan Taman Safari Bogor.
Elang Jawa pertama yang dilepasliarkan yakni betina bernama Jelita, hasil indukan Elang Jawa bernama Rizka dan Hanum yang menetaskan telur di Taman Safari Bogor pada 14 Oktober 2020. Bobot pertama Jelita saat menetas kala itu adalah 49,4 gram dan usianya saat ini sudah menginjak 2 tahun 4 bulan.
Sementara elang jawa kedua yakni jantan bernama Parama, hasil indukan Elang Jawa bernama Rama dan Dygtha yang menetas di Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) pada 8 Juli 2020. Usia Parama saat dilepasliarkan saat ini sudah menginjak 2 tahun 7 bulan.
"Keduanya dilepasliarkan bersama ke habitat alamnya di bentang TNGGP setelah keduanya menjalani proses habituasi di TSI," ujar Kepala TNGHS Wasja, di Taman Safari Bogor, Senin (30/1/2023).
Menurut Wasja, kegiatan pelepasliaran dua Elang Jawa hari ini sangat penting. Sebab, untuk pertama kalinya di Indonesia Elang Jawa yang dilepasliarkan merupakan hasil breeding dalam upaya konservasi Eksitu to Insitu.
Eksitu adalah usaha pelestarian alam yang dilakukan di luar habitat aslinya. Sedangkan Insitu adalah usaha pelestarian alam yang dilakukan dalam habitat aslinya.
Wasja membeberkan, kedua Elang Jawa tersebut telah dipasangi alat transmiter atau GPS untuk mengetahui posisinya secara realtime di alam liar.
Program pelepasliaran memiliki tujuan jangka panjang yang dapat dicapai, d iantaranya kembalinya peran dan fungsi ekologis dan biologis satwa yang dilepasliarkan ke habitatnya.
Serimoni sepasang Elang Jawa dilepasliarkan di kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango.
Elang Jawa merupakan satwa endemik Pulau Jawa dan salah satu burung pemangsa atau raptor yang mempunyai peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
"Elang jenis ini dilindungi oleh Undang-Undang dan telah ditetapkan sebagai simbol satwa nasional melalui Keppres Nomor 4 Tahun 1993 karena kelangkaan dan kemiripanyya dengan garuda, lambang negara Indonesia," ungkapnya.
Direktur Konservasi Keanekaraman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indra Eksploitasia Semiawan mengatakan, dalam studi, populasi Elang Jawa hanya sekitar 700 ekor atau 300 pasang. Sejauh ini, pihaknya sudah melepasliarkan sekitar 30 ekor elang yang dilindungi, termasuk Elang Jawa.
"Dalam tahun ini baru pertama. Tapi untuk 2020-2022 sudah ada sekitar 30 elang yang telah dilepasliarkan, baik dari hasil konflik satwa maupun yang hasil breeding," ucap Indra.
Lokasi TNGGP sengaja dipilih untuk pelepasliaran kedua Elang Jawa karena sudah melalui kajian habitat. Selain itu, TNGGP merupakan habitat alami dari Elang Jawa.
Di lokasi yang sama Direktur Taman Safari Indonesia Jansen Manangsang mengatakan, pihaknya masih memiliki 8 ekor Elang Jawa yang sedang dirawat. Ke depan, tidak hanya Elang Jawa, Tamam Safari Indonesia juga akan melepasliarkan hewan lainnya seperti Komodo.
"Ada 6 ekor komodo, kita akan lepaskan ditempat alam asli liar di Nusa Tenggara Timur (NTT)," tutur Jansen.
Elang Jawa pertama yang dilepasliarkan yakni betina bernama Jelita, hasil indukan Elang Jawa bernama Rizka dan Hanum yang menetaskan telur di Taman Safari Bogor pada 14 Oktober 2020. Bobot pertama Jelita saat menetas kala itu adalah 49,4 gram dan usianya saat ini sudah menginjak 2 tahun 4 bulan.
Sementara elang jawa kedua yakni jantan bernama Parama, hasil indukan Elang Jawa bernama Rama dan Dygtha yang menetas di Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) pada 8 Juli 2020. Usia Parama saat dilepasliarkan saat ini sudah menginjak 2 tahun 7 bulan.
Baca Juga
"Keduanya dilepasliarkan bersama ke habitat alamnya di bentang TNGGP setelah keduanya menjalani proses habituasi di TSI," ujar Kepala TNGHS Wasja, di Taman Safari Bogor, Senin (30/1/2023).
Menurut Wasja, kegiatan pelepasliaran dua Elang Jawa hari ini sangat penting. Sebab, untuk pertama kalinya di Indonesia Elang Jawa yang dilepasliarkan merupakan hasil breeding dalam upaya konservasi Eksitu to Insitu.
Eksitu adalah usaha pelestarian alam yang dilakukan di luar habitat aslinya. Sedangkan Insitu adalah usaha pelestarian alam yang dilakukan dalam habitat aslinya.
Wasja membeberkan, kedua Elang Jawa tersebut telah dipasangi alat transmiter atau GPS untuk mengetahui posisinya secara realtime di alam liar.
Program pelepasliaran memiliki tujuan jangka panjang yang dapat dicapai, d iantaranya kembalinya peran dan fungsi ekologis dan biologis satwa yang dilepasliarkan ke habitatnya.
Serimoni sepasang Elang Jawa dilepasliarkan di kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango.
Elang Jawa merupakan satwa endemik Pulau Jawa dan salah satu burung pemangsa atau raptor yang mempunyai peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
"Elang jenis ini dilindungi oleh Undang-Undang dan telah ditetapkan sebagai simbol satwa nasional melalui Keppres Nomor 4 Tahun 1993 karena kelangkaan dan kemiripanyya dengan garuda, lambang negara Indonesia," ungkapnya.
Direktur Konservasi Keanekaraman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indra Eksploitasia Semiawan mengatakan, dalam studi, populasi Elang Jawa hanya sekitar 700 ekor atau 300 pasang. Sejauh ini, pihaknya sudah melepasliarkan sekitar 30 ekor elang yang dilindungi, termasuk Elang Jawa.
"Dalam tahun ini baru pertama. Tapi untuk 2020-2022 sudah ada sekitar 30 elang yang telah dilepasliarkan, baik dari hasil konflik satwa maupun yang hasil breeding," ucap Indra.
Lokasi TNGGP sengaja dipilih untuk pelepasliaran kedua Elang Jawa karena sudah melalui kajian habitat. Selain itu, TNGGP merupakan habitat alami dari Elang Jawa.
Di lokasi yang sama Direktur Taman Safari Indonesia Jansen Manangsang mengatakan, pihaknya masih memiliki 8 ekor Elang Jawa yang sedang dirawat. Ke depan, tidak hanya Elang Jawa, Tamam Safari Indonesia juga akan melepasliarkan hewan lainnya seperti Komodo.
"Ada 6 ekor komodo, kita akan lepaskan ditempat alam asli liar di Nusa Tenggara Timur (NTT)," tutur Jansen.
(thm)