Kelenteng Ancol, Simbol Kerukunan Umat Konghucu, Budha, Tao, dan Muslim
Kamis, 25 November 2021 - 17:47 WIB
Kelenteng ini mulai banyak dikunjungi umat sejak abad ke-17. Tak hanya umat Konghucu, Buddha, atau Tao, tetapi umat Islam pun datang melakukan ziarah untuk mendoakan keempat orang muslim, Sampo Soei Soe, Siti Wati, Mbah Areli Dato Kembang, dan Ibu Enneng.
Khusus untuk altar pemujaan Ibu Siti Wati dan Sampo Soei Soe, serta makam Mbah Areli Dato Kembang dan Ibu Enneng, umat tidak diperkenankan untuk membawa sajian yang berbahan dasar daging babi. Umat Budha dan Konghucu di Kelenteng Ancol sangat menghormati empat orang muslim tersebut.
Juru kunci makam Mbah Areli dan Ibu Enneg, Suparto (30), banyak peziarah Kelenteng Ancol yang menghantar doa untuk kedua tokoh tersebut. Sebelum menuju ruang utama terdapat koridor beratap. Di kanan kiri koridor terdapat kolam dan sungai yang telah mati akibat penutupan aliran oleh pengembang fasilitas rekreasi di Ancol.
Sungai yang dahulu dipercaya tempat berlabuhnya kapal empunya Klenteng Ancol—Sampo Seoi Soe—kini telah menjadi kolam. Sebuah pompa air dipasang di ujung tembok kolam untuk mengantisipasi meluapnya air saat kolam tak mampu menampung banyaknya air hujan.
Sam Poo Soei Soe dikuburkan berdua dengan Sitiwati. Makam mereka nyaris tidak terlihat. Sebab, berada di bawah rak dengan dua boneka yang menjadi representasi Sam Poo Soei Soe dan istrinya tersebut. Di depan makam, terletak sebuah altar persembahyangan yang cukup besar.
Di bagian belakang kelenteng tersebut, masih ada makam lagi. Yakni, makam Mbah Said Areli Dato Kembang dan istrinya, Ibu Enneng. Mereka adalah orang tua Sitiwati. Seperti anaknya, mereka berdua dimakamkan dalam satu liang lahat.
Bukan hanya pemeluk Khonghucu yang datang untuk memberikan penghormatan, tetapi juga kadang umat Islam. “Sering juga kok ada kelompok pengajian yang datang, kemudian tahlilan dan yasinan di sini,” ungkap Suparto.
Namun, jumlah mereka memang tidak sebanyak pemeluk Khonghucu. Pria yang juga seorang muslim itu mengaku bisa memahaminya. “Mungkin karena banyak umat Islam yang tidak tahu. Juga agak sungkan jika datang ke kelenteng untuk mendoakan,” terang Parto.
Padahal, lanjut Suparto, seluruh penjaga kelenteng yang berjumlah 15 orang adalah muslim. “Jadi, kami sangat terbuka jika ada umat Islam yang berziarah seperti ziarah ke makam wali-wali,” terangnya. Sebab, Mbah Said dan anaknya juga seorang ulama yang mendakwahkan Islam di kawasan Ancol dan sekitarnya.
Baca Juga
Khusus untuk altar pemujaan Ibu Siti Wati dan Sampo Soei Soe, serta makam Mbah Areli Dato Kembang dan Ibu Enneng, umat tidak diperkenankan untuk membawa sajian yang berbahan dasar daging babi. Umat Budha dan Konghucu di Kelenteng Ancol sangat menghormati empat orang muslim tersebut.
Juru kunci makam Mbah Areli dan Ibu Enneg, Suparto (30), banyak peziarah Kelenteng Ancol yang menghantar doa untuk kedua tokoh tersebut. Sebelum menuju ruang utama terdapat koridor beratap. Di kanan kiri koridor terdapat kolam dan sungai yang telah mati akibat penutupan aliran oleh pengembang fasilitas rekreasi di Ancol.
Sungai yang dahulu dipercaya tempat berlabuhnya kapal empunya Klenteng Ancol—Sampo Seoi Soe—kini telah menjadi kolam. Sebuah pompa air dipasang di ujung tembok kolam untuk mengantisipasi meluapnya air saat kolam tak mampu menampung banyaknya air hujan.
Sam Poo Soei Soe dikuburkan berdua dengan Sitiwati. Makam mereka nyaris tidak terlihat. Sebab, berada di bawah rak dengan dua boneka yang menjadi representasi Sam Poo Soei Soe dan istrinya tersebut. Di depan makam, terletak sebuah altar persembahyangan yang cukup besar.
Di bagian belakang kelenteng tersebut, masih ada makam lagi. Yakni, makam Mbah Said Areli Dato Kembang dan istrinya, Ibu Enneng. Mereka adalah orang tua Sitiwati. Seperti anaknya, mereka berdua dimakamkan dalam satu liang lahat.
Bukan hanya pemeluk Khonghucu yang datang untuk memberikan penghormatan, tetapi juga kadang umat Islam. “Sering juga kok ada kelompok pengajian yang datang, kemudian tahlilan dan yasinan di sini,” ungkap Suparto.
Namun, jumlah mereka memang tidak sebanyak pemeluk Khonghucu. Pria yang juga seorang muslim itu mengaku bisa memahaminya. “Mungkin karena banyak umat Islam yang tidak tahu. Juga agak sungkan jika datang ke kelenteng untuk mendoakan,” terang Parto.
Padahal, lanjut Suparto, seluruh penjaga kelenteng yang berjumlah 15 orang adalah muslim. “Jadi, kami sangat terbuka jika ada umat Islam yang berziarah seperti ziarah ke makam wali-wali,” terangnya. Sebab, Mbah Said dan anaknya juga seorang ulama yang mendakwahkan Islam di kawasan Ancol dan sekitarnya.
(hab)
Lihat Juga :
tulis komentar anda