Kisah Preman Paling Ditakuti di Jakarta dan Dua Jagoan Penguasa Pelabuhan Tanjung Priok
Minggu, 13 Juni 2021 - 05:30 WIB
Sedangkan di kawasan pantai Utara, ada preman bernama Angkri yang menguasai kawasan Marunda, Tanjung Priok, dan Ancol. Keduanya sama-sama merampok untuk diberikan ke warga miskin. Sepak terjang Angkri hampir sama dengan si Pitung yang sudah melegenda di Marunda. Kendati begitu belum ada catatan yang mengaitkan kedua orang ini.
Pasca kemerdekaan Indonesia, Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara memasuki zaman yang rawan dengan kekerasan dan tindak kriminal. Sebagian besar pelakunya merupakan eks pejuang laskar yang kehilangan pekerjaan karena revolusi telah usai. Mereka yang tidak terakomodir dalam institusi resmi militer memilih “dunia kekerasan” untuk menyambung hidup.
Daerah-daerah ekonomi seperti Senen, Meester Cornelis, Tanah Abang, dan Tanjung Priok, menjadi tempat menyandarkan kebutuhan hidup. Mereka menjajakan diri sebagai penjaga keamanan, centeng alias jagoan.
Daerah-daerah ekonomi itu menjadi lahan perebutan kekuasaan, baik antarindividu maupun antarorganisasi pengelola keamanan. Hal ini yang menjadi penyebab utama daerah tersebut dinamakan oleh masyarakat umum waktu itu sebagai daerah onderwereld (dunia hitam) yang dianggap seram dan menakutkan.
Tanjung Priok sebagai pelabuhan utama Kota Jakarta menjadi salah satu lumbung ekonomi yang dipenuhi para jagoan. Mereka berangkat dari berbagai macam latar belakang etnis. Secara umum tidak ada penguasa tunggal dari latar belakang etnis dalam dunia kekerasan di kota Jakarta.
Dikutip dari situs sejarahjakarta.com, dua etnis yang pernah eksis dalam percaturan onderwereld di Jakarta Utara atau di Pelabuhan Tanjung Priok dan sekitarnya adalah etnis Bugis dan Banten. Salah satu nama jagoan yang legendaris sebagai penguasa Pelabuhan Tanjung Priok hingga akhir tahun 50-an adalah Lagoa, tokoh masyarakat Bugis yang bernama asli Labuang De Passore. Selain sebagai tokoh masyarakat, Lagoa juga dikenal sebagai seorang jago yang merangkap menjadi mandor pelabuhan.
Labuang De Passore. Foto: Dok sejarahjakarta.com
Pasca kemerdekaan Indonesia, Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara memasuki zaman yang rawan dengan kekerasan dan tindak kriminal. Sebagian besar pelakunya merupakan eks pejuang laskar yang kehilangan pekerjaan karena revolusi telah usai. Mereka yang tidak terakomodir dalam institusi resmi militer memilih “dunia kekerasan” untuk menyambung hidup.
Daerah-daerah ekonomi seperti Senen, Meester Cornelis, Tanah Abang, dan Tanjung Priok, menjadi tempat menyandarkan kebutuhan hidup. Mereka menjajakan diri sebagai penjaga keamanan, centeng alias jagoan.
Daerah-daerah ekonomi itu menjadi lahan perebutan kekuasaan, baik antarindividu maupun antarorganisasi pengelola keamanan. Hal ini yang menjadi penyebab utama daerah tersebut dinamakan oleh masyarakat umum waktu itu sebagai daerah onderwereld (dunia hitam) yang dianggap seram dan menakutkan.
Tanjung Priok sebagai pelabuhan utama Kota Jakarta menjadi salah satu lumbung ekonomi yang dipenuhi para jagoan. Mereka berangkat dari berbagai macam latar belakang etnis. Secara umum tidak ada penguasa tunggal dari latar belakang etnis dalam dunia kekerasan di kota Jakarta.
Dikutip dari situs sejarahjakarta.com, dua etnis yang pernah eksis dalam percaturan onderwereld di Jakarta Utara atau di Pelabuhan Tanjung Priok dan sekitarnya adalah etnis Bugis dan Banten. Salah satu nama jagoan yang legendaris sebagai penguasa Pelabuhan Tanjung Priok hingga akhir tahun 50-an adalah Lagoa, tokoh masyarakat Bugis yang bernama asli Labuang De Passore. Selain sebagai tokoh masyarakat, Lagoa juga dikenal sebagai seorang jago yang merangkap menjadi mandor pelabuhan.
Labuang De Passore. Foto: Dok sejarahjakarta.com
tulis komentar anda