Sejarah Jakarta, Disebut di Batu Tulis Purnawarman yang Berkembang Menjadi Bandar Besar
Kamis, 29 Oktober 2020 - 06:30 WIB
Pelabuhan Sunda Kelapa saat ini. Foto/Dok. SINDOnews
Kapten Cina waktu itu, meminta izin untuk menggali sebuah terusan yang dapat dipakai untuk pengangkutan dengan perahu ke arah selatan sampai di dekat hutan, yang kemudian bernama Molenvliet. Dengan pengembangan ini, sepertinya Jakarta memasuki tahapan perkembangan kota selanjutnya, seperti yang dinyatakan Childe (1950) bahwa beberapa kota berkembang dalam jalur transportasi utama; gagasan baru dan penemuan mengikutinya secara natural.
Dalam hal kota Jakarta, terusan Molenvliet memperlancar perkembangan kota ke arah selatan bahwa hingga dewasa ini jalan-jalan di kanan-kiri terusan itu berperan sebagai urat nadi yang menghubungkan pusat kota baru di Lapangan Banteng, Medan Merdeka, Tanah abang, dengan pusat kota lama di Jakarta Kota.
Sjoberg (1965: hal. 24) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kejayaan dan kejatuhan sebuah kerajaan dan kejayaan dan kejatuhan sebuah kota. Hal ini sepertinya berlaku pada kasus Jakarta. Semenjak kejayaan Fatahillah runtuh sehingga Jakarta (Jayakarta atau Batavia) dikuasai Belanda, jakarta berkembang pesat.
Setelah JP Coen membangun terusan Molenvliet, Gubernur Jenderal selanjutnya Daendels mengembangkan Weltervreden sebagai ibukota baru. Mula-mula ia membuat sebuah istana baru di dekat tempat parade (kemudian bernama Waterlooplein, sekarang Lapangan Banteng). Tindakan lain yang mempengaruhi perkembangan tata kota di kemudian hari ialah pembukaan lapangan latihan, yaitu di tempat yang kemudian berturut-turut bernama Koningsplein (1818), tanah lapang Gambir, dan sekarang ini Medan Merdeka.
Pusat pertahanannya dibangun di Mesteer Cornelis (Jatinegara) di mana di situ dibangun sekolah artileri. Setelah diputuskan bahwa istana Waterlooplein itu akan dipakai untuk kantor-kantor, maka paviliun di Rijswijk itu diubah menjadi tempat kediaman Gubernur Jenderal.
Berhubung dengan kegiatan-kegiatan Gubernur Jenderal di istana itu semakin banyak, maka dirasakan perlunya dibuat istana lagi yang menghadap Koningsplein. Sejak itu terdapat dua bangunan istana, yang kini disebut sebagai Istana Merdeka (yang menghadap Medan Merdeka) dan Istana Negara (yang menghadap Jalan Veteran).
Sayangnya, apa yang terjadi kemudian –menurut saya- menjadi anti klimaks.
Pecahnya Perang Dunia II yang memicu pemekaran Jakarta secara terencana, tidak berjalan semestinya. Dengan dipengaruhi pertumbuhan ekonomi yang pesat sejak akhir abad-19, menyebabkan timbulnya gagasan pembukaan tanah, di Kebayoran seluas 730 Ha, yang dapat dihubungkan dengan jalan raya bagi kendaraan bermotor.
Daerah yang diproyeksi bagi perumahan itu bersinggungan tepinya dengan jalan Kereta Api Tanah Abang-Serpong, yang dapat mempermudah pengangkutan bahan-bahan bangunan. Daerah ini diistilahkan sebagai Kota Satelit Kebayoran, walaupun istilah itu tidak tepat.
Kapten Cina waktu itu, meminta izin untuk menggali sebuah terusan yang dapat dipakai untuk pengangkutan dengan perahu ke arah selatan sampai di dekat hutan, yang kemudian bernama Molenvliet. Dengan pengembangan ini, sepertinya Jakarta memasuki tahapan perkembangan kota selanjutnya, seperti yang dinyatakan Childe (1950) bahwa beberapa kota berkembang dalam jalur transportasi utama; gagasan baru dan penemuan mengikutinya secara natural.
Dalam hal kota Jakarta, terusan Molenvliet memperlancar perkembangan kota ke arah selatan bahwa hingga dewasa ini jalan-jalan di kanan-kiri terusan itu berperan sebagai urat nadi yang menghubungkan pusat kota baru di Lapangan Banteng, Medan Merdeka, Tanah abang, dengan pusat kota lama di Jakarta Kota.
Sjoberg (1965: hal. 24) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kejayaan dan kejatuhan sebuah kerajaan dan kejayaan dan kejatuhan sebuah kota. Hal ini sepertinya berlaku pada kasus Jakarta. Semenjak kejayaan Fatahillah runtuh sehingga Jakarta (Jayakarta atau Batavia) dikuasai Belanda, jakarta berkembang pesat.
Setelah JP Coen membangun terusan Molenvliet, Gubernur Jenderal selanjutnya Daendels mengembangkan Weltervreden sebagai ibukota baru. Mula-mula ia membuat sebuah istana baru di dekat tempat parade (kemudian bernama Waterlooplein, sekarang Lapangan Banteng). Tindakan lain yang mempengaruhi perkembangan tata kota di kemudian hari ialah pembukaan lapangan latihan, yaitu di tempat yang kemudian berturut-turut bernama Koningsplein (1818), tanah lapang Gambir, dan sekarang ini Medan Merdeka.
Pusat pertahanannya dibangun di Mesteer Cornelis (Jatinegara) di mana di situ dibangun sekolah artileri. Setelah diputuskan bahwa istana Waterlooplein itu akan dipakai untuk kantor-kantor, maka paviliun di Rijswijk itu diubah menjadi tempat kediaman Gubernur Jenderal.
Berhubung dengan kegiatan-kegiatan Gubernur Jenderal di istana itu semakin banyak, maka dirasakan perlunya dibuat istana lagi yang menghadap Koningsplein. Sejak itu terdapat dua bangunan istana, yang kini disebut sebagai Istana Merdeka (yang menghadap Medan Merdeka) dan Istana Negara (yang menghadap Jalan Veteran).
Sayangnya, apa yang terjadi kemudian –menurut saya- menjadi anti klimaks.
Pecahnya Perang Dunia II yang memicu pemekaran Jakarta secara terencana, tidak berjalan semestinya. Dengan dipengaruhi pertumbuhan ekonomi yang pesat sejak akhir abad-19, menyebabkan timbulnya gagasan pembukaan tanah, di Kebayoran seluas 730 Ha, yang dapat dihubungkan dengan jalan raya bagi kendaraan bermotor.
Daerah yang diproyeksi bagi perumahan itu bersinggungan tepinya dengan jalan Kereta Api Tanah Abang-Serpong, yang dapat mempermudah pengangkutan bahan-bahan bangunan. Daerah ini diistilahkan sebagai Kota Satelit Kebayoran, walaupun istilah itu tidak tepat.
Lihat Juga :
tulis komentar anda