Sejarah Jakarta, Disebut di Batu Tulis Purnawarman yang Berkembang Menjadi Bandar Besar
Kamis, 29 Oktober 2020 - 06:30 WIB
Tidak hanya dari luar daerah yang berinteraksi di Sunda Kelapa melalui Laut Jawa, daerah ‘dalam kota’ juga bergerak menuju Sunda Kelapa demi mengejar ‘pasar’ strategis melalui Sungai Ciliwung. Merujuk pada sejarah terbentuknya Mesopotamia (cikal bakal negara Irak), dari lembah Sungai Tigris dan Eufrat, begitu pun yang terjadi pada Jakarta yang berkembang dari tepi sungai Ciliwung, dari aktifitas transportasi komoditas pertanian dari Kerajaan Padjajaran. Perbedaannya, jika asal mula Mesopotamia dari aktivitas pertukaran barang kerajinan, Jakarta didominasi bertukaran komoditi pangan.
Karena keberagaman penduduk yang tinggal di awal kota, diperlukan adanya organisasi yang mengatur agar kehidupan berjalan teratur. Organisasi yang umumnya muncul, menurut Sjoberg (1965: hal. 22) berbentuk teokrasi, dominasi tunggal –satu pimpinan- yaitu Raja. Jakarta juga menganut hal yang serupa dengan sistem kerajaan tunggal yang mengatur wilayah Sunda Kelapa, yakni Kerajaan Padjajaran, dengan tambahan pejabat-pejabat yang mengatur kebijakan secara khusus.
Suasana Stasiun Kota tahun 1979. Foto/captainhuntz.wordpress.com
Di Sunda Kelapa terdapat pejabat berpengaruh, yang disebut oleh orang Portugis Tumenggung Sangadipati, dan beberapa pejabat syahbandar dari “Fabyam” (Pabean), yang mengatur cukai masuk dan keluar barang-barang perdagangan serta mengadakan perhubungan dengan dunia luar. Adanya pejabat-pejabat khusus tersebut merupakan konsekuensi dari perkembangan kota yang semakin kompleks, membutuhkan peran spesialis penuh waktu, dalam istilah Sjoberg (1965: ha. 19) dalam organisasi sosial di suatu kota.
Pada tahun 1527, Sunda Kelapa direbut orang-orang Muslim di bawah pimpinan Fatahillah sehingga Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta. Jayakarta masih menganut dominasi tunggal, yakni Fatahillah, yang bergelar Pangeran Jayakarta. Pangeran Jayakarta tinggal di kawasan “keraton” Jakarta, pusat pemerintahan, sekaligus terdapat mesjid dan alun-alun.
Di sebelah timur “keraton” terdapat wilayah Kyai Arya, patih Jayakarta, dan sebelah utara-nya tercatat Watting’s Huis atau rumah seorang Cina yang termasyur. Letak tatanan pusat kota ini, senada seperti yang digambarkan Sjoberg (1965: hal. 22), yakni pusat kota dihuni oleh kepala kota beserta penjaga dan pelayannya, juga diisi dengan rumah ibadah, bangunan pemerintahan, dan perumahan orang-orang terkemuka.
Wilayah pusat kota ini memang diperlakukan berbeda. Waktu itu, pusat kota Jayakarta dilingkupi pagar bambu dan kemudian sebagian dibuat dari tembok berhubung adanya ancaman dari pihak Inggris dan Belanda.
Kekuasaan Fatahillah di Jayakarta tidak bertahan lama, karena Belanda berhasil mengakuisisi Batavia –Jayakarta sebelumnya- sebagai pusat kekuasaannya. Saat Batavia dipimpin Gubernur Jenderal JP Coen, perluasan area kota menjadi 3 kali lipatnya, dengan pengembangan kawasan perniagaan ke area Molenvliet melalui pengembangan jalur transportasi sungai.
Karena keberagaman penduduk yang tinggal di awal kota, diperlukan adanya organisasi yang mengatur agar kehidupan berjalan teratur. Organisasi yang umumnya muncul, menurut Sjoberg (1965: hal. 22) berbentuk teokrasi, dominasi tunggal –satu pimpinan- yaitu Raja. Jakarta juga menganut hal yang serupa dengan sistem kerajaan tunggal yang mengatur wilayah Sunda Kelapa, yakni Kerajaan Padjajaran, dengan tambahan pejabat-pejabat yang mengatur kebijakan secara khusus.
Suasana Stasiun Kota tahun 1979. Foto/captainhuntz.wordpress.com
Di Sunda Kelapa terdapat pejabat berpengaruh, yang disebut oleh orang Portugis Tumenggung Sangadipati, dan beberapa pejabat syahbandar dari “Fabyam” (Pabean), yang mengatur cukai masuk dan keluar barang-barang perdagangan serta mengadakan perhubungan dengan dunia luar. Adanya pejabat-pejabat khusus tersebut merupakan konsekuensi dari perkembangan kota yang semakin kompleks, membutuhkan peran spesialis penuh waktu, dalam istilah Sjoberg (1965: ha. 19) dalam organisasi sosial di suatu kota.
Pada tahun 1527, Sunda Kelapa direbut orang-orang Muslim di bawah pimpinan Fatahillah sehingga Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta. Jayakarta masih menganut dominasi tunggal, yakni Fatahillah, yang bergelar Pangeran Jayakarta. Pangeran Jayakarta tinggal di kawasan “keraton” Jakarta, pusat pemerintahan, sekaligus terdapat mesjid dan alun-alun.
Di sebelah timur “keraton” terdapat wilayah Kyai Arya, patih Jayakarta, dan sebelah utara-nya tercatat Watting’s Huis atau rumah seorang Cina yang termasyur. Letak tatanan pusat kota ini, senada seperti yang digambarkan Sjoberg (1965: hal. 22), yakni pusat kota dihuni oleh kepala kota beserta penjaga dan pelayannya, juga diisi dengan rumah ibadah, bangunan pemerintahan, dan perumahan orang-orang terkemuka.
Wilayah pusat kota ini memang diperlakukan berbeda. Waktu itu, pusat kota Jayakarta dilingkupi pagar bambu dan kemudian sebagian dibuat dari tembok berhubung adanya ancaman dari pihak Inggris dan Belanda.
Kekuasaan Fatahillah di Jayakarta tidak bertahan lama, karena Belanda berhasil mengakuisisi Batavia –Jayakarta sebelumnya- sebagai pusat kekuasaannya. Saat Batavia dipimpin Gubernur Jenderal JP Coen, perluasan area kota menjadi 3 kali lipatnya, dengan pengembangan kawasan perniagaan ke area Molenvliet melalui pengembangan jalur transportasi sungai.
tulis komentar anda