Pengamat Hukum Sayangkan Demo UU Cipta Kerja Berujung Anarkis
Jum'at, 16 Oktober 2020 - 22:02 WIB
JAKARTA - Demo penolakan terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja beberapa hari ini banyak menyita perhatian masyarakat luas. Pasalnya, beberapa kali demo sempat mengalami kericuhan seperti yang terjadi pada Kamis 8 Oktober 2020.
Pengamat Hukum C Suhadi menilai, seyogiyanya penyampaian pendapat harus dengan ketentuan hukum. Salah contoh, kata dia, orasi itu harus memberikan hal yang positif bukan justru provokatif. ( )
“Dengan melihat kondisi demo akhir-akhir ini dari kaca mata UU dan hukum, modelnya tidak lagi sesuai lagi dengan ketentuan karena mereka, peserta demo cenderung abai dan tidak taat hokum,” kata Suhadi dalam keterangannya, Jumat (16/10/2020).
“Salah satunya, penyempaikan pendapat bukan dalam bentuk kata-kata yang dibungkus orasi dan atau tulisan tulisan yang bersifat edukatif, akan tetapi dalam bentuk bentuknya yang berbau kekerasan dengan cara, provokasi, kekerasan phisik maupun verbal. Merusak, menjarah serta melawan aparat,” sambungnya.
Padahal, kata dia, bentuk seperti itu bukan demo yang dimaksud dalam UU akan tetapi bentuk kejahatan yang dibungkus oleh demo. Dan hal ini tidak boleh dibiarkan terus berlaku, karena kalau tidak masalahnya bukan penegakan hukum yang dilanggar tetapi masuk ranah kebiasaan.
“Sehingga lambat atau cepat demo itu harus pake batu, pake api dan pake kekerasan. Dan polisi sebagai garda terdepan dalam masalah hukum harus sudah memilah dan menegakan aturan demo, mana yang boleh mana yang tidak,” terangnya. (
)
Dia menjelaskan, dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 9 tahun 2008 tentang penyampaian pendapat. Aturan itu jelas bahwa demo tidak dilarang asal berlaku tertib dan tidak melanggar hukum.
“Sehingga atas dasar itu Polri tidak boleh lembek dalam menghadapi demo kalau sampai anarkis, tindak tegas. Siapapun itu, karena pelanggaran hukum harus berlaku kepada siapa saja,” katanya.
Pengamat Hukum C Suhadi menilai, seyogiyanya penyampaian pendapat harus dengan ketentuan hukum. Salah contoh, kata dia, orasi itu harus memberikan hal yang positif bukan justru provokatif. ( )
“Dengan melihat kondisi demo akhir-akhir ini dari kaca mata UU dan hukum, modelnya tidak lagi sesuai lagi dengan ketentuan karena mereka, peserta demo cenderung abai dan tidak taat hokum,” kata Suhadi dalam keterangannya, Jumat (16/10/2020).
“Salah satunya, penyempaikan pendapat bukan dalam bentuk kata-kata yang dibungkus orasi dan atau tulisan tulisan yang bersifat edukatif, akan tetapi dalam bentuk bentuknya yang berbau kekerasan dengan cara, provokasi, kekerasan phisik maupun verbal. Merusak, menjarah serta melawan aparat,” sambungnya.
Padahal, kata dia, bentuk seperti itu bukan demo yang dimaksud dalam UU akan tetapi bentuk kejahatan yang dibungkus oleh demo. Dan hal ini tidak boleh dibiarkan terus berlaku, karena kalau tidak masalahnya bukan penegakan hukum yang dilanggar tetapi masuk ranah kebiasaan.
“Sehingga lambat atau cepat demo itu harus pake batu, pake api dan pake kekerasan. Dan polisi sebagai garda terdepan dalam masalah hukum harus sudah memilah dan menegakan aturan demo, mana yang boleh mana yang tidak,” terangnya. (
Baca Juga
Dia menjelaskan, dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 9 tahun 2008 tentang penyampaian pendapat. Aturan itu jelas bahwa demo tidak dilarang asal berlaku tertib dan tidak melanggar hukum.
“Sehingga atas dasar itu Polri tidak boleh lembek dalam menghadapi demo kalau sampai anarkis, tindak tegas. Siapapun itu, karena pelanggaran hukum harus berlaku kepada siapa saja,” katanya.
(mhd)
tulis komentar anda