Sidang 3 Kelompok Anarko, Penggiat HAM: Pengadilan Kehilangan Legitimasi
Selasa, 25 Agustus 2020 - 21:02 WIB
TANGERANG - Sidang terhadap tiga terdakwa vandalisme dari kelompok Anarko, yakni, Rizki Julianda, M Riski Rianto, dan Rio Emanuel, masih terus bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. Sidang kali ini beragendakan pemeriksaan saksi ahli, Haris Azhar.
Dalam keterangannya, penggiat hak asasi manusia (HAM) ini menilai persidangan ketiga orang Anarko itu kehilangan legitimasi. Sebab dibangun berdasarkan kekerasan terhadap terdakwa. Sehingga, tidak layak untuk dilanjutkan. (Baca juga: Pembacaan Eksepsi 3 Anarko di Tangerang, Polisi Bersenjata Laras Panjang Diminta Keluar Ruang Sidang )
"Enggak boleh itu, penyikaaan itu kan praktik kekerasan yang dilakukan saat proses hukum. Keterangan yang dijadikan alat bukti didapat dari penyiksaan, itu gugur," kata Haris, Selasa (25/8/2020).
Dilanjutkan Haris, seharusnya pihak majelis hakim PN Tangerang menolak menggelar persidangan, karena bukti-bukti yang didapat diperoleh menggunakan cara-cara kekerasan. (Baca juga: Bawa Bom Molotov saat Hendak Demo DPR, Dua Anarko Diciduk)
"Harusnya ditolak oleh majelis hakim. Jika buktinya didapat dengan cara-cara kotor, dengan cara kekerasan, bukti itu menjadi tidak punya kekuatan hukum. Pengadilan ini jadi kehilangan legitimasinya," tukasnya.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Shaleh Al Ghifari, mengatakan, kekerasan yang dialami kliennya dilakukan oleh kepolisian. (Baca juga: Sejak Ditangkap, 3 Anggota Anarko Mengaku Dapatkan Kekerasan Fisik dari Oknum Polisi)
"Kita sudah melaporkan poses itu secara etik dan disiplin ke Propam dan kita mau mereka melakukan investigasi. Kita mau negara bertanggung jawab. Dalam konteks pembuktian dalam sidang pidana," paparnya.
Tetapi, dalam persidangan pembuktian itu tidak pernah bisa dilakukan. Majelis hakim PN Tangerang sebenarnya memiliki ruang untuk melakukan pengecekan alat bukti.
"Jadi ada wilayah, majelis hakim bisa menilai keterangan soal saksi. Sementara misalnya di sisi lain, polisi atau pelapor mengklaim hasil sebaliknya. Tetapi, tidak bisa membuktikan hasilnya. Kalau kita ada buktinya," ungkapnya.
Bekas penyiksaan para terdakwa, keterangan dari saksi, dan lainnya, harusnya cukup untuk membuktikan adanya penyiksaan para terdakwa selama menjalani proses hukum.
"Saat ini, kita masih akan mengkaji lebih jauh untuk melaporkan secara pidana. Tetapi kita akan melihat kesiapan dari keluarga terlebih dahulu. Tetapi kita akan pertimbangkan untuk membuat laporan pidana," pungkasnya.
Dalam keterangannya, penggiat hak asasi manusia (HAM) ini menilai persidangan ketiga orang Anarko itu kehilangan legitimasi. Sebab dibangun berdasarkan kekerasan terhadap terdakwa. Sehingga, tidak layak untuk dilanjutkan. (Baca juga: Pembacaan Eksepsi 3 Anarko di Tangerang, Polisi Bersenjata Laras Panjang Diminta Keluar Ruang Sidang )
"Enggak boleh itu, penyikaaan itu kan praktik kekerasan yang dilakukan saat proses hukum. Keterangan yang dijadikan alat bukti didapat dari penyiksaan, itu gugur," kata Haris, Selasa (25/8/2020).
Dilanjutkan Haris, seharusnya pihak majelis hakim PN Tangerang menolak menggelar persidangan, karena bukti-bukti yang didapat diperoleh menggunakan cara-cara kekerasan. (Baca juga: Bawa Bom Molotov saat Hendak Demo DPR, Dua Anarko Diciduk)
"Harusnya ditolak oleh majelis hakim. Jika buktinya didapat dengan cara-cara kotor, dengan cara kekerasan, bukti itu menjadi tidak punya kekuatan hukum. Pengadilan ini jadi kehilangan legitimasinya," tukasnya.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Shaleh Al Ghifari, mengatakan, kekerasan yang dialami kliennya dilakukan oleh kepolisian. (Baca juga: Sejak Ditangkap, 3 Anggota Anarko Mengaku Dapatkan Kekerasan Fisik dari Oknum Polisi)
"Kita sudah melaporkan poses itu secara etik dan disiplin ke Propam dan kita mau mereka melakukan investigasi. Kita mau negara bertanggung jawab. Dalam konteks pembuktian dalam sidang pidana," paparnya.
Tetapi, dalam persidangan pembuktian itu tidak pernah bisa dilakukan. Majelis hakim PN Tangerang sebenarnya memiliki ruang untuk melakukan pengecekan alat bukti.
"Jadi ada wilayah, majelis hakim bisa menilai keterangan soal saksi. Sementara misalnya di sisi lain, polisi atau pelapor mengklaim hasil sebaliknya. Tetapi, tidak bisa membuktikan hasilnya. Kalau kita ada buktinya," ungkapnya.
Bekas penyiksaan para terdakwa, keterangan dari saksi, dan lainnya, harusnya cukup untuk membuktikan adanya penyiksaan para terdakwa selama menjalani proses hukum.
"Saat ini, kita masih akan mengkaji lebih jauh untuk melaporkan secara pidana. Tetapi kita akan melihat kesiapan dari keluarga terlebih dahulu. Tetapi kita akan pertimbangkan untuk membuat laporan pidana," pungkasnya.
(thm)
tulis komentar anda