Kemendagri Diminta Pertimbangkan Klarifikasi Evaluasi RAPBD DKI 2015
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI 2015 yang disusun menggunakan Peraturan Gubernur (Pergub) sudah memenuhi perundang-undangan. Kemendagri diharapkan mengambil keputusan sesuai klarifikasi yang telah diberikan pada Kamis 2 April lalu.
Kepala Bappeda DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengatakan, penyusunan Kebijakan Umum APBD dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2015 yang menggunakan nilai pagu APBD 2014 senilai Rp63,08 triliun itu sudah disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan perundang-undangan yang ada.
Dalam Pasal 46 PP 58/2005, kata dia, mengatur jika setinggi-tingginya penggunaan APBD harus sesuai dengan pengeluaran APBD tertinggi tahun sebelumnya. Pengeluaran itu terbagi dua, belanja dan pembiayaan.
Artinya, RAPBD 2015 DKI yang dikoreksi oleh Kemendagri 2015 pada Kamis 2 April lalu lalu merupakan postur APBD sehat baik dari segi aktivitas maupun fiskal. Untuk itu, lanjutnya, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) mencoba mengklarifikasi dengan diskusi tanya jawab pada evaluasi yang diberikan oleh Kemendagri tersebut.
"Evaluasi itu ada koridornya, tidak bisa hanya dilihat dari satu bagian saja. Kami puas dengan hasil diskusi tanya jawab terkait evaluasi Kemendagri, Kamis lalu. Kami harap Kemendagri mempertimbangkan klarifikasi kami dan segera mengesahkannya," kata Tuty Kusumawati saat dihubungi kemarin.
Tuty menjelaskan, belanja pegawai yang besaranya mencapai Rp19,08 triliun dan menjadi sorotan utama evaluasi Kemendagri itu sudah diklarifikasi oleh TAPD. Menurutnya, belanja pegawai tersebut sesuai dengan kondisi pemerintahan daerah.
Selain menempatkannya pada kerangka yang utuh, besaran alokasi belanja pegawai juga hanya sekitar 24% dari maksimalnya 30% Bahkan, apabila dibandingkan dengan provinsi daerah lainnya di Indonesia, dana belanja pegawai DKI masih terendah.
Tuti menuturkan, Pemprov DKI saat ini membutuhkan pegawai yang prima demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan transparan. Semuanya harus ditopang dan diberikan reward berupa take home pay yang memadai.
"Kalau kita menuntut itu, take home pay harus dipikirkan. Segala pekerjaan pegawai harus dihitung agar pembangunan dapat berjalan dengan baik dan tepat sasaran," ujarnya.
Kepala Bappeda DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengatakan, penyusunan Kebijakan Umum APBD dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2015 yang menggunakan nilai pagu APBD 2014 senilai Rp63,08 triliun itu sudah disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan perundang-undangan yang ada.
Dalam Pasal 46 PP 58/2005, kata dia, mengatur jika setinggi-tingginya penggunaan APBD harus sesuai dengan pengeluaran APBD tertinggi tahun sebelumnya. Pengeluaran itu terbagi dua, belanja dan pembiayaan.
Artinya, RAPBD 2015 DKI yang dikoreksi oleh Kemendagri 2015 pada Kamis 2 April lalu lalu merupakan postur APBD sehat baik dari segi aktivitas maupun fiskal. Untuk itu, lanjutnya, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) mencoba mengklarifikasi dengan diskusi tanya jawab pada evaluasi yang diberikan oleh Kemendagri tersebut.
"Evaluasi itu ada koridornya, tidak bisa hanya dilihat dari satu bagian saja. Kami puas dengan hasil diskusi tanya jawab terkait evaluasi Kemendagri, Kamis lalu. Kami harap Kemendagri mempertimbangkan klarifikasi kami dan segera mengesahkannya," kata Tuty Kusumawati saat dihubungi kemarin.
Tuty menjelaskan, belanja pegawai yang besaranya mencapai Rp19,08 triliun dan menjadi sorotan utama evaluasi Kemendagri itu sudah diklarifikasi oleh TAPD. Menurutnya, belanja pegawai tersebut sesuai dengan kondisi pemerintahan daerah.
Selain menempatkannya pada kerangka yang utuh, besaran alokasi belanja pegawai juga hanya sekitar 24% dari maksimalnya 30% Bahkan, apabila dibandingkan dengan provinsi daerah lainnya di Indonesia, dana belanja pegawai DKI masih terendah.
Tuti menuturkan, Pemprov DKI saat ini membutuhkan pegawai yang prima demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan transparan. Semuanya harus ditopang dan diberikan reward berupa take home pay yang memadai.
"Kalau kita menuntut itu, take home pay harus dipikirkan. Segala pekerjaan pegawai harus dihitung agar pembangunan dapat berjalan dengan baik dan tepat sasaran," ujarnya.
(whb)