Banjir ulah manusia, bukan Tuhan
A
A
A
Sindonews.com - Banjir seakan menjadi konsekuensi yang harus diterima masyarakat Jakarta dan sekitarnya setiap kali musim hujan datang. Karena, hujan merupakan salah satu keberkahan untuk umat manusia di muka bumi ini.
"Kalau menyalahkan curah hujan, nanti masyarakat ini takutnya musyrik, bilang banjir karena Tuhan, padahal hujan itu berkah," kata Manajer Penanganan Bencana Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Mukri Friatna kepada SINDO, Selasa 21 Januari 2014.
Menurutnya, penyebab banjir bukan curah hujan. Melainkan banyak kawasan resapan yang beralih fungsi. Pihaknya mencatat, banyak hutan yang ditebang untuk permukiman dan industri.
Artinya, wadah untuk menampung hujan makin kecil. Depok sebagai salah satu daerah penyangga Jakarta, saat ini mengalami peningkatan curah hujan yaitu naik dari 63,5 dan 64,5 milimeter per hari menjadi 65 dan 147 milimeter per hari pada tanggal 11-12 Januari 2014.
Menurut aktivis perempuan Gefarina Djohan menuturkan, indikasi ini seharusnya menjadi perhatian Pemerintah Kota (Pemkot) Depok manakala dikaitkan dengan buruknya sistem dan pengendalian Tata Ruang Kota.
Gefarina menyebutkan, dampak paling buruk dari gagalnya pengelolaan sistem dan pengendalian Tata Ruang Kota dirasakan oleh kaum perempuan. Ketidakadilan gender yang biasa melingkupi kaum perempuan semakin terasa ketika musibah banjir melanda.
"Perempuan lagi-lagi menjadi korban, mereka tidak pernah tahu bahwa ada ketidakadilan struktural yang membuat mereka harus menderita seperti di saat-saat ini," katanya.
Penduduk perempuan di Depok mayoritas adalah pekerja. Sesuai dengan data Biro Pusat Statistik tahun 2011, penduduk perkotaan termasuk Depok memiliki angkatan pekerja perempuan cukup tinggi, mencapai 50,95 juta sedangkan laki-laki 53,93 juta.
"Nah, perempuan-perempuan pekerja ini mau tidak mau harus berhenti sejenak karena fungsi ganda yang harus lebih dikedepankan, sebagai istri dan ibu yang seolah-olah punya tanggung jawab penuh ketika musibah datang," sesalnya.
Dia menegaskan, konsep pembangunan Kota Depok pada kenyataannya memang berantakan. Jika diperhatikan, lanjutnya, hampir seluruh perumahan dan permukiman yang ada di Depok dibangun disempadan dan di sekitar sungai Ciliwung. Setidaknya ada sembilan perumahan yang dikembangkan di sempadan dan sisanya dibangun di sekitar sempadan sungai Ciliwung. Di antaranya, Pesona Khayangan, Grand Depok City, dan Cimanggis Country Riverside.
"Jelas ini melanggar dan menyalahi Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Praktek pembangunan perumahan dan permukiman yang terjadi di sempadan sungai Ciliwung tersebut berlasung sangat masif. Sehingga menyebabkan melemahnya daya dukung sempadan sungai," tukasnya.
Pada saat perumahan tersebut dibuka dan beroperasi, lanjut Gefarina, terjadi pendangkalan tanah, arus lumpur, dan sedimentasi menjadi lebih tinggi. Sehingga saat hujan terjadi, sungai Ciliwung tak dapat menampung air hujan yang justru langsung mengalir ke tempat lebih rendah yakni Jakarta.
Air yang mengalir ini disertai sampah dan lumpur. Gefarina menengarai, Pemkot Depok justru membiarkan pembangunan terus terjadi dengan pemberian izin tanpa disertai Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan tanpa pengawasan tata ruang.
Baca:
Strategis, warga berat tinggalkan Kampung Pulo
"Kalau menyalahkan curah hujan, nanti masyarakat ini takutnya musyrik, bilang banjir karena Tuhan, padahal hujan itu berkah," kata Manajer Penanganan Bencana Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Mukri Friatna kepada SINDO, Selasa 21 Januari 2014.
Menurutnya, penyebab banjir bukan curah hujan. Melainkan banyak kawasan resapan yang beralih fungsi. Pihaknya mencatat, banyak hutan yang ditebang untuk permukiman dan industri.
Artinya, wadah untuk menampung hujan makin kecil. Depok sebagai salah satu daerah penyangga Jakarta, saat ini mengalami peningkatan curah hujan yaitu naik dari 63,5 dan 64,5 milimeter per hari menjadi 65 dan 147 milimeter per hari pada tanggal 11-12 Januari 2014.
Menurut aktivis perempuan Gefarina Djohan menuturkan, indikasi ini seharusnya menjadi perhatian Pemerintah Kota (Pemkot) Depok manakala dikaitkan dengan buruknya sistem dan pengendalian Tata Ruang Kota.
Gefarina menyebutkan, dampak paling buruk dari gagalnya pengelolaan sistem dan pengendalian Tata Ruang Kota dirasakan oleh kaum perempuan. Ketidakadilan gender yang biasa melingkupi kaum perempuan semakin terasa ketika musibah banjir melanda.
"Perempuan lagi-lagi menjadi korban, mereka tidak pernah tahu bahwa ada ketidakadilan struktural yang membuat mereka harus menderita seperti di saat-saat ini," katanya.
Penduduk perempuan di Depok mayoritas adalah pekerja. Sesuai dengan data Biro Pusat Statistik tahun 2011, penduduk perkotaan termasuk Depok memiliki angkatan pekerja perempuan cukup tinggi, mencapai 50,95 juta sedangkan laki-laki 53,93 juta.
"Nah, perempuan-perempuan pekerja ini mau tidak mau harus berhenti sejenak karena fungsi ganda yang harus lebih dikedepankan, sebagai istri dan ibu yang seolah-olah punya tanggung jawab penuh ketika musibah datang," sesalnya.
Dia menegaskan, konsep pembangunan Kota Depok pada kenyataannya memang berantakan. Jika diperhatikan, lanjutnya, hampir seluruh perumahan dan permukiman yang ada di Depok dibangun disempadan dan di sekitar sungai Ciliwung. Setidaknya ada sembilan perumahan yang dikembangkan di sempadan dan sisanya dibangun di sekitar sempadan sungai Ciliwung. Di antaranya, Pesona Khayangan, Grand Depok City, dan Cimanggis Country Riverside.
"Jelas ini melanggar dan menyalahi Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Praktek pembangunan perumahan dan permukiman yang terjadi di sempadan sungai Ciliwung tersebut berlasung sangat masif. Sehingga menyebabkan melemahnya daya dukung sempadan sungai," tukasnya.
Pada saat perumahan tersebut dibuka dan beroperasi, lanjut Gefarina, terjadi pendangkalan tanah, arus lumpur, dan sedimentasi menjadi lebih tinggi. Sehingga saat hujan terjadi, sungai Ciliwung tak dapat menampung air hujan yang justru langsung mengalir ke tempat lebih rendah yakni Jakarta.
Air yang mengalir ini disertai sampah dan lumpur. Gefarina menengarai, Pemkot Depok justru membiarkan pembangunan terus terjadi dengan pemberian izin tanpa disertai Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan tanpa pengawasan tata ruang.
Baca:
Strategis, warga berat tinggalkan Kampung Pulo
(ysw)