Politikus PKS Ini Tolak Semua Tempat di BogorJadi Kawasan Tanpa Rokok

Kamis, 06 Februari 2020 - 23:02 WIB
Politikus PKS Ini Tolak Semua Tempat di BogorJadi Kawasan Tanpa Rokok
Politikus PKS Ini Tolak Semua Tempat di BogorJadi Kawasan Tanpa Rokok
A A A
BOGOR - Polemik terkait penerapan Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Nomor 10 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Perda Nomor 12 Tahun 2009, terus bergulir. Tak hanya di kalangan pedagang tradisional dan usaha kecil menengah (UKM) yang protes kemudian melakukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA), di akar rumput masyarakat Bogor juga terus menjadi perbincangan. Bahkan mendesak agar perda tersebut dicabut.

"Memang saya sudah memprediksi sejak awal pembahasan hingga disahkan, Perda Nomor 10 Tahun 2018 tentang KTR pasti bakal menuai polemik, karena di situ terjadi perluasan tempat KTR. Jadi hampir semua tempat dijadikan KTR. Padahal di perda sebelumnya hanya disebutkan tujuh tempat saja. Tapi sekarang malah semua, sehingga wajar masyarakat menganggap Pemkot Bogor antirokok," ujar anggota DPRD Kota Bogor dari Fraksi PKS, Muaz HD, dalam diskusi publik tentang Mengawal Langkah Akhir Uji Materi Perda KTR di Kota Bogor, Kamis (6/2/2020).

Ia menyebutkan, saat melahirkan Perda Nomor 12 Tahun 2009 tentang KTR, tidak terlalu ramai dan menuai kontroversi seperti sekarang ini. Sebab dalam perda lama itu, pihaknya sepakat hanya melakukan penataan tempat-tempat yang boleh dan tidak boleh merokok.

"Saya kira itu sudah cukup untuk melindungi yang tidak merokok, sehingga yang tidak merokok hak asasinya juga diperhatikan, terutama ibu-ibu dan anak-anak. Dalam Perda Nomor 12 Tahun 2009 yang menjadi KTR hanya tujuh tempat, tapi di Perda Nomor 10 Tahun 2018, malah di semua tempat. Kecuali di rumah dan mobil pribadi," tukasnya.

Maka dari itu, pihaknya selaku wakil rakyat berjanji di suara publik yang mempersoalkan perda tersebut, akan disampaikan dan segera diusulkan agar perda tersebut dicabut.

"Secara pribadi selaku anggota DPRD, perda itu harus dicabut karena menjadi masalah. Saya dari Fraksi PKS, dalam pandangan umum sudah saya sampaikan kepada Pemkot. Untuk itu, nanti saya usulkan dalam rapat fraksi. Sebab enggak mungkin juga saya sendiri saja. Nanti akan saya sampaikan juga pertimbangan-pertimbangannya, bahwa ini secara sosiologis tak mungkin, karena jumlah perokok di Kota Bogor tak sedikit," ujarnya.

Saat disinggung kenapa baru sekarang mempersoalkan dan seolah ingin berpihak kepada pedagang tradisional dan UKM, padahal yang menyetujui perda itu adalah DPRD, Muaz berdalih Fraksi PKS tak kuasa lantaran jumlah anggotanya sedikit.

"Fraksi PKS anggotanya di 2014-2019 hanya lima orang. Jumlah perwakilan di pansus hanya satu orang. Yang jelas, saat ini sedang dibentuk pansus untuk mencabut tujuh perda. Hanya saya tidak hafal perda apa saja. Maka dengan dinamika ini, saya akan mengusulkan ke fraksi saya bahwa Perda Nomor 10 Tahun 2018 harus dicabut masuk dalam agenda pansus terkait pencabutan sejumlah perda, sehingga nanti ada delapan perda yang harus dicabut," ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Ali Rido menyebutkan sudah sejak lama mengamati persoalan terbitnya Perda KTR. Bahkan judicial review terhadap Perda tersebut sudah pernah diajukan.

"Pada 2011 Perda Nomor 12 Tahun 2009 sempat di judicial review juga dan sudah keluar keputusannya, ternyata ada problem juga. Pertama, dalam putusannya MA memutuskan bahwa perda ini bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, tetapi rujukan aturan tertingginya itu salah. Seharusnya yang dirujuk UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Tetapi yang dirujuk MA adalah UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus," ujarnya.

Pertanyaannya, lanjut dia, apakah pada saat itu si pemohon meminta bahwa perda ini bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus atau tidak. "Ternyata si pemohon tidak. Kenapa kemudian diputusan MA muncul, berarti kan salah. Dalam putusannya tersebut, saat itu MA menolak bahwa Perda 12 Tahun 2009 Kota Bogor tentang KTR tidak bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 2009. Anehkan. Bagaimana kita ketahui Bogor itu bukan Kawasan Ekonomi Khusus," bebernya.

Ia menilai satu-satunya jalan untuk meluruskan perda bermasalah ini adalah menunggu keputusan hasil judicial review yang diajukan pedagang tradisional dan UKM di Kota Bogor, yang saat ini masih bergulir.

"Harapannya nanti tidak lagi merujuk pada hasil judicial review perda yang sebelumnya, karena itu salah. Sebagai orang hukum saya optimistis judicial review kali ini bakal dikabulkan. Sebab dinamika regulasi yang sekarang mengafirmasi bahwa persoalan rokok itu bukan dilarang tapi ditata, itu putusan MK Nomor 74 Tahun 2010 yang berkaitan dengan penyediaan tempat khusus merokok," tukasnya.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6857 seconds (0.1#10.140)