Magnet Wisata Kian Terkikis, Kampung Turis Tak Lagi Laris

Kamis, 19 Desember 2019 - 05:45 WIB
Magnet Wisata Kian Terkikis,...
Magnet Wisata Kian Terkikis, Kampung Turis Tak Lagi Laris
A A A
JAKARTA - Plang biru bertulis ‘Kawasan Wisata Malam’ di pinggir Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat tak lagi berkilau. Plang setinggi tujuh meter itu telah berkarat. Putih warna tulisannya juga memudar tersapu hujan dan dimakan usia.

Kawasan Wisata Malam Jaksa kini mengenaskan. Dari puluhan kafe yang pernah ada, kini hanya tersisa kurang dari lima saja. Gambaran ini kontras pada 1990 hingga 2010-an. Masa ini, Jalan Jaksa ibarat mencapai masa keemasan. Tiap malam, jalan sepanjang sekitar 400 meter ini selalu tersendat. Ratusan turis asing berseliweran untuk menikmati malam di sejumlah tempat hiburan yang berada di sepanjang jalan ini. Selain hiburan malam, Jalan Jaksa juga memiliki banyak kuliner khas yang terkenal kala itu, seperti soto, sate dan kopi.

Puluhan kafe yang berderet membuat membuat jalan pendek ini begitu hidup, bahkan hingga jelang pagi. Cahaya lampu temaram diiringi musik reggae atau dangdut di tiap kafe membuat Jaksa benar-benar menyala.

Namun kini semuanya telah berubah. Bahkan, perubahan seolah hampir 180 derajat. Jalan satu arah ini sunyi. Tak ada kemacetan, gemerlap lampu maupun suara keras dari lorong-lorong remang kafe.

Saat KORAN SINDO menyambangi kawasan itu malam hari, tak terlihat ingar bingar keramaian, setidaknya seperti lima tahun silam. Pintu-pintu kafe tertutup rapat. Hanya beberapa kafe yang mencoba bertahan dengan kondisi mengenaskan. Tak banyak pembeli dan sepi. Para pejalan kaki juga makin mudah melewati

jalan ini. Apalagi, pedestrian di jalan ini sudah tertata rapi. “Jangankan untuk malam Minggu atau weekend. Pada peringatan Hari Kemerdekaan RI yang biasanya ramai juga kini juga sangat sepi,” kata Oppa,57, salah satu pengunjung setia sebuah kafe di Jalan Jaksa, pekan lalu.

Saat pertama kali datang ke Jalan Jaksa pada tahun 1990-an, Oppa begitu terkesan dengan jalan yang tak jauh dari kawasan Monas ini. Jalanan cukup ramai. Kafe-kafe bermunculan bak jamur di musim penghujan. Sejumlah wisatawan yang mayoritas asing tumpah ruah di kawasan ini, Di malam hari, mereka berjoget seiring alunan musik kafe. Ada banyak kafe yang masyhur kala itu, seperti Obama Cafe, Papa's Cafe, Ali's Bar, dan KL Village, Kafe Equal Park, dan Memories Cafe.Layaknya kawasan Legian, Kuta, Bali, lanjut Oppa, Jalan Jaksa
dipenuhi sejumlah hiburan.

Gadis-gadis lalu lalang di kawasan ini. Para turis asing dari Eropa dan Amerika berkumpul menikmati Ibu Kota dengan santai di Jaksa sebelum pelesiran ke sejumlah pelosok Indonesia, seperti Bali, Lombok, Danau Toba, hingga beberapa tempat lainnya yang eksotik.

Kunjungan turis asing ke Jaksa biasanya melonjak tajam pada Mei hingga pertengahan Desember. Adapun mulai akhir Desember hingga April, Jaksa lebih sepi. Ini terjadi karena dipengaruhi siklus musim panas dan dingin di Eropa atau Amerika.Keberadaan sejumlah hostel di kawasan ini membuat Jaksa menjadi serbuan para backpacker. Mereka kemudian tinggal beberapa hari di kawasan ini sebelum melanjutkan keliling Indonesia. Tak hanya kafe, warung tegal (warteg) maupun kios-kios kecil juga mendapat berkah karena kerap jadi jujukan turis.

Kini, di antara beberapa kafe yang tumbuh kala itu, hanya Memories Cafe yang bertahan. Itu pun, sekitar sepertiga dari kursi di kafe ini terisi
oleh pengunjung dari sekitar Jaksa. Terlihat hanya dua orang wisatawan asing nongkrong di kafe ini. “Dulu waktu tahun 2012, buat duduk di sini aja ngantre,” timpal

Toga, 38,pengunjung lainnya.Hampir tiap malam di akhir 2000-an, Toga pun tergolong rajin berkunjung ke Jalan Jaksa. Nongkrong bersama sejumlah rekan-rekannya ditemani makan dan minum membuat malam-malamnya merlewati begitu hangat.

Mulai 2011, perlahan Jalan Jaksa kian meredup. Pamornya terkikis seiring banyaknya tempat-tempat hiburan anyar yang lebih menarik. Kemunculan hotel-hotel baru bertarif murah dengan fasilitas terbatas (budget) juga membuat hostel di kawasan Jaksa perlahan punah. Sejak 2015,

Toga pun memilih tak lagi sering nongkrong di kawasan itu. Ini lantaran hampir tiap kali nongkrong di Jaksa, mobilnya diderek petugas Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Niat awal untuk bersantai berubah mendadak pusing. Sebelumnya, mobil pengunjung Jaksa dibolehkan parkir di sebagain badan jalan. Namun sejak penataan pedestrian, aturan ini dihapus.

Pada 2013, Pemprov DKI Jakarta berupaya menghidupkan Jaksa dengan dengan menggelar festival. Namun ikhtiar ini belum mampu mengembalikan kejayaan Jaksa. Kini Jalan Jaksa benar-benar sudah tak lagi ramai. Festival yang dulu menarik wisatawan kini juga tak lagi ada sejak dua tahun terakhir. Wisatawan asing pun kini perlahan menjauh dari Jaksa. Mereka memilih menongkrong di tempat lain yang kondisi jauh lebih tertutup. Lokasinya banyak bertebaran, di Jalan Wahid Hasyim yang hanya ratusan meter dari Jaksa.

Upaya sejumlah pemilik hostel dengan membanting harga juga tak banyak membantu. Rata-rata tarif hostel ini Jaksa kini hanya Rp120.000-175.000 per malam. Namun hostel ini pun masih kalah saing dengan hotel dengan harga Rp500.000-700.000 yang bermunculan di sekitaran Jalan Wahid Hasyim.

Jadi Perkantoran
Sejumlah kafe pun kiniberganti menjadi kawasan perkantoran. Beberapa restoran yang dibuka pada 2017 kini tak lagi terlihat. Kafe dan restoran itu kini mendadak tutup dan dibiarkan terbengkalai, debu tebal terlihat dari kaca yang begitu besar.

Helmi,61, pemilik Memories Cafe mengaku pasrah dengan kondisi ini. Karenanya kafe yang telah digelutinya sejak 35 tahun lalu bakal dijual
bersama rumahnya. “Selain itu, saya juga jual hostel yang ada di seberang,” ungkapnya.

Bagi kalangan turis backpacker, menurut Helmi, Memories Cafe cukup dikenal. Itu setidaknya terlihat dari beberapa turis (bule) yang
rutin menyambangi kafenya. Mereka umumnya menikmati malam di kafenya dua kali dalam setahun.

Helmi mengaku kondisi anjloknya pengunjung Jalan Jaksa terjadi sudah cukup lama. Di masa keemasan, dirinya bisa menjual lebih dari 150 botol minuman per hari. Kini, 16 botol per hari saja sangatlah sulit terjual.

Kondisi ini membuat dirinya terpaksa mengubah strategi bisnis. Sebelumnya dia terjun langsung mengelola kafe dan menggaji sejumlah pekerja. Dalan setahun terakhir, dia memilih hanya menyediakan tempat, kemudian memberikan modal Rp100 juta ke empat karyawannya dengan sistem pembagian hasil. “Dulu kita punya 40 pekerja, sekarang cuma empat,” ujar Helmi.

Alang, 57, warga yang tinggal di Jalan Jaksa kepada wartawan iNews.id mengungkapkan bahwa banyaknya bisnis kafe dan penginapan yang memilih tutup dikarenakan kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melarang para pengunjung memarkirkan kendaraan mereka di badan jalan itu sejak 2015.

Namun meredupnya Jalan Jaksa ternyata tidak sampai dialami kampung bule seperti di Kampung Prawirotaman dan Sorowijayan Yogyakarta maupun di Bali. Persaingan harga hotel pun tidak berpengaruh banyak terhadap kehidupan di dua kampung ini.

Ketua Kehormatan PersatuanHotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta Istijab mengatakan, kawasan Prawirotaman hingga kini justru banyak didatangi pengunjung yang didominasi wisatawan mancanegara. Ini lantaran Prawirotaman merupakan jawaban wisata dengan konsep hotel bakpacker.

“Saat ini menjelang akhir tahun semua hotel juga tidak terkendala. Prawirotaman juga full dari laporan yang masuk. Artinya tingkat okupansi hotel sangat bagus," kata Istijab.

Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Irwandi mengaku pihaknya tak tinggal diam atas punahnya wisata malam Jalan Jaksa. Beragam upaya telah dilakukan, namun hal itu tak kunjung merangsang pariwisata di lokasi ini. “Kami support soal acara di sana, tapi tetap kurang peminat,” kata Irwandi.

Irwandi menyebutkan sepinya Jalan Jaksa tak lepas dari banyaknya pelancong yang sudah kehilangan gairah. Terlebih hostel di Jalan Jaksa kalah bersaing dengan aplikasi online. “Harga jauh lebih murah dengan fasilitas yang mumpuni,” katanya.

Demi menghidupkan kembali Jalan Jaksa. Irwandi berencana melakukan survei ke kawasan itu, seperti harga makanan dan hotel. Termasuk memberikan pengarahan ke pengelola penginapan.

Penataan Tak Berkonsep
Kalangan DPRD DKI Jakarta menilai punahnya Wisata Malam Jalan Jaksa akibat pengelolaan kawasan itu tak berkonsep. Pemprov DKI dianggap gagal merangsang pariwisata di kawasan itu. Faktor lain merosotnya pamor kawasan ini karena serbuan hotel yang jauh lebih murah.

Anggota Komisi B dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Eneng Maliyanasari menyebut pemerintah seperti membiarkan kawasan ini hancur dan tenggelam. Padahal, kata Eneng, dari letaknya, Jalan Jaksa adalah kawasan yang menguntungkan. Dilihat dari lokasinya yang di tengah kota mestinya Jalan Jaksa cukup ramai.

Dia juga menyayangkan langkah Pemprov yang tak berupaya merangsang Jalan Jaksa hidup lagi. Pegelola juga banyak tak profesional, seperti membiarkan kamar hostel kumuh dan berbau.

Pengamat Tata Kota UniversitasTrisakti, Nirwono Joga melihat Jalan Jaksa sengaja tidak dikembangkan. Bahkan dia melihat Pemprov DKI lebih memilih kawasan lainnya, seperti Cikini, Kemang, Cipete, Sabang, dan Thamrin.

Dia menyarankan perlu adanya revitalisasi di Jalan Jaksa. Pedestrian, pengembangan destinasi wisata perlu didukung dengan prasarana sarananya seperti aksesibilitas transportasi umum. Selain itu, rehabilitasi bangunan penginapan harus dilakukan demi memberikan
kesan terjangkau, bersih, rapi, nyaman. “Cara ini bakal mengundang investor baru serta destinasi wisata kuliner.”(Yan Yusuf/Suharjono)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6392 seconds (0.1#10.140)