Polisi Ciduk Kawanan Penipu dengan Modus Beli Rumah Mewah
A
A
A
JAKARTA - Polisi menciduk sindikat penipu properti berinisial D, R, S, dan A. Mereka melakukan aksi dengan berpura-pura membeli rumah mewah, lalu memalsukan sertifikat dan lalu mengagunkan sertifikat asli rumah itu ke bank.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono mengatakan, pengungkapan kasus itu berawal dari laporan masyarakat ke polisi, yang mana ada tiga laporan polisi sejak bulan Maret-Juli 2019 kemarin. Disitu, masyarakat mendapatkan surat tagihan dari bank tentang pembayaran agunan sertifikat tanah mereka.
Padahal, mereka merasa tak pernah mengagunkan sertifikatnya. Komplotan itu memiliki peran berbeda-beda, ada yang menjadi notaris gadungan, memalsukan sertifikat tanah, menjadi orang yang berpura-pura membeli rumah milik korban, mengontrak rumah, dan membuat plang palsu notaris.
"Ini dikemas rapi sindikat ini sehingga masyarakat yang mau jual rumah rata-rata harga rumahnya di atas Rp15 miliar," ujarnya pada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Senin (5/8/2019).
Sementara itu, Direskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Suyudi Ario Seto menerangkan, tersangka D berperan mencari korban yang ingin menjual rumah dan berpura-pura ingin membelinya. Lalu tersangka R menjadi notaris palsu, tersangka S menyediakan sarana dan tempat, sedangkan terangka A berperan memalsukan sertifikat rumah korban.
"Setelah tersangka bertemu korban terjadi nego dan ada notaris dan deal disitu disepakati harganya. Mereka sepakat melakukan langkah selanjutnya mengecek sertifikat korban," tuturnya.
Guna meyakinkan korbannya, kata dia, pelaku yang berpura-pura hendak membeli rumah itu lalu mengajak korban bertemu di kantor notaris palsu di Jalan Tebet Timur, Tebet, Jakarta Selatan atas nama Idham. Disitu, korban diminta menunjukan sertifikat tanahnya agar bisa dicek keasliannya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), korban pun menyetujuinya.
Setelah mendapat sertifikat itu, paparnya, tersangka D menyerahkan ke tersangka A untuk menduplikasi sertifikat tersebut. Sertifikat yang asli lantas digadaikan ke bank oleh pelaku.
"Fander (bank) mengecek meski misalnya mengeluarkan dana anggaran sebesar Rp5 miliar. Lantas, sertifikat palsu akhirnya diserahkan ke korban," terangnya.
Adapun uang hasil kejahatan itu, tambahnya, dibagikan secara merata ke para pelaku dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Komplotan itu diketahui sudah tiga kali melakukan aksi penipuannya itu. Seperti yang terjadi di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru dengan rumah seharga Rp42 miliar dan rumah di Jalan Kebagusan seharga Rp15 miliar.
Ada pula enam korban lainnya yang hendak melapor ke polisi terkait kasus tersebut. Dari yang sudah terungkap, nominal kerugian korban akibat sindikat penipuan ini mencapai Rp214 miliar. "Atas perbuatannya, para tersangka dikenakan Pasal 378 KUHP atau 372 KUHP atau 263 KUHP dengan ancaman 6 tahun penjara," katanya.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono mengatakan, pengungkapan kasus itu berawal dari laporan masyarakat ke polisi, yang mana ada tiga laporan polisi sejak bulan Maret-Juli 2019 kemarin. Disitu, masyarakat mendapatkan surat tagihan dari bank tentang pembayaran agunan sertifikat tanah mereka.
Padahal, mereka merasa tak pernah mengagunkan sertifikatnya. Komplotan itu memiliki peran berbeda-beda, ada yang menjadi notaris gadungan, memalsukan sertifikat tanah, menjadi orang yang berpura-pura membeli rumah milik korban, mengontrak rumah, dan membuat plang palsu notaris.
"Ini dikemas rapi sindikat ini sehingga masyarakat yang mau jual rumah rata-rata harga rumahnya di atas Rp15 miliar," ujarnya pada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Senin (5/8/2019).
Sementara itu, Direskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Suyudi Ario Seto menerangkan, tersangka D berperan mencari korban yang ingin menjual rumah dan berpura-pura ingin membelinya. Lalu tersangka R menjadi notaris palsu, tersangka S menyediakan sarana dan tempat, sedangkan terangka A berperan memalsukan sertifikat rumah korban.
"Setelah tersangka bertemu korban terjadi nego dan ada notaris dan deal disitu disepakati harganya. Mereka sepakat melakukan langkah selanjutnya mengecek sertifikat korban," tuturnya.
Guna meyakinkan korbannya, kata dia, pelaku yang berpura-pura hendak membeli rumah itu lalu mengajak korban bertemu di kantor notaris palsu di Jalan Tebet Timur, Tebet, Jakarta Selatan atas nama Idham. Disitu, korban diminta menunjukan sertifikat tanahnya agar bisa dicek keasliannya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), korban pun menyetujuinya.
Setelah mendapat sertifikat itu, paparnya, tersangka D menyerahkan ke tersangka A untuk menduplikasi sertifikat tersebut. Sertifikat yang asli lantas digadaikan ke bank oleh pelaku.
"Fander (bank) mengecek meski misalnya mengeluarkan dana anggaran sebesar Rp5 miliar. Lantas, sertifikat palsu akhirnya diserahkan ke korban," terangnya.
Adapun uang hasil kejahatan itu, tambahnya, dibagikan secara merata ke para pelaku dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Komplotan itu diketahui sudah tiga kali melakukan aksi penipuannya itu. Seperti yang terjadi di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru dengan rumah seharga Rp42 miliar dan rumah di Jalan Kebagusan seharga Rp15 miliar.
Ada pula enam korban lainnya yang hendak melapor ke polisi terkait kasus tersebut. Dari yang sudah terungkap, nominal kerugian korban akibat sindikat penipuan ini mencapai Rp214 miliar. "Atas perbuatannya, para tersangka dikenakan Pasal 378 KUHP atau 372 KUHP atau 263 KUHP dengan ancaman 6 tahun penjara," katanya.
(ysw)