Dinas Cipta Karya Sebut Pembangunan Gedung di Jakarta Menurun
A
A
A
JAKARTA - Gedung di Jakarta saat ini berjumlah sekitar 867 unit. Pembangunan gedung cenderung menurun karena faktor ekonomi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta Heru Hermawanto. Menurutnya, pertumbuhan gedung tinggi di Jakarta pada 2019-2020 menurun. Apalagi untuk bangunan properti serupa apartemen.
"Sektor perekonomian untuk properti menurun dan mempengaruhi pembangunan. Dari yang biasanya 15 unit per tahun paling saat ini hanya 5 unit gedung," kata Heru Hermawanto saat dihubungi, Rabu 17 Juli 2019.
Heru menjelaskan, gedung tinggi di Jakarta itu berada pada ketinggian di atas delapan lantai. Umumnya, gedung tersebut digunakan untuk hunian dan perkantoran. Menurutnya, sejak 2017, pertumbuhan pembangunan gedung tidak begitu marak atau cenderung menurun.
Pengendalian gedung tinggi, lanjut Heru, tidak dilakukan di wilayah tertentu saja. Dia menyebut bahwa pembangunan gedung bebas dilakukan dimana saja sesuai Rencana Dasar Tata Ruang Wilayah (RDTR). Misalnya, kata dia, RDTR yang zonasinya diperuntukkan untuk hunian bisa dibangun gedung apartemen ataupun rumah susun (Rusun). Begitu juga dengan zona perkantoran dibangun gedung perkantoran.
"Pemerintah pusat kan juga punya andil untuk kebijakan gedung karena banyak aspek. Aspek ekonomi misalnya, dari pajak, moneter dan sebagainya. Kalau pemerintah daerah dari izin dan regulasi," pungkasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi D DKI Jakarta, Ricardo menilai, Pemprov DKI Jakarta tidak serius untuk menata gedung tinggi di Jakarta apabila melihat kondisi yang ada. Akibatnya, banyak peristiwa kecelakaan di dalam gedung, baik itu kebakaran ataupun roboh seperti yang terjadi di lantai gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2018.
Politikus PDI Perjuangan ini menilai audit dan pengecekan Sertifikat Layak Fungsi (SLF) Dinas Cipta Karya tidak akan dapat mengetahui kualitas kemananan material gedung. Sebab, kata dia, pengecekan dilakukan secara umum tidak sampai detail pada bagian kontruksi.
"Kalau saya tidak masalah mau dibangun dimana asal sesuai aturan dan peruntukan. Terpenting keamanan dan keselamatan," ungkapnya.
Ricardo berharap, agar gedung-gedung pencakar langit yang memperpanjang SLF itu dibarengi dengan pengecekan oleh konsultan serta kontraktor pembangunan. Sehingga, tingkat keamanan dan keselamatan lebih terjamin.
"Penerbitan izin dan SLF itu garis besarnya saja. Misalnya gambarnya udah oke nih sama yang udah jadi. Tinggi pasak tiang, luas selasar dan sebagainya. Tapi kalau bagian detail besi rangka kontruksi, semen dan sebagainya tidak dilihat," tegasnya.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta Heru Hermawanto. Menurutnya, pertumbuhan gedung tinggi di Jakarta pada 2019-2020 menurun. Apalagi untuk bangunan properti serupa apartemen.
"Sektor perekonomian untuk properti menurun dan mempengaruhi pembangunan. Dari yang biasanya 15 unit per tahun paling saat ini hanya 5 unit gedung," kata Heru Hermawanto saat dihubungi, Rabu 17 Juli 2019.
Heru menjelaskan, gedung tinggi di Jakarta itu berada pada ketinggian di atas delapan lantai. Umumnya, gedung tersebut digunakan untuk hunian dan perkantoran. Menurutnya, sejak 2017, pertumbuhan pembangunan gedung tidak begitu marak atau cenderung menurun.
Pengendalian gedung tinggi, lanjut Heru, tidak dilakukan di wilayah tertentu saja. Dia menyebut bahwa pembangunan gedung bebas dilakukan dimana saja sesuai Rencana Dasar Tata Ruang Wilayah (RDTR). Misalnya, kata dia, RDTR yang zonasinya diperuntukkan untuk hunian bisa dibangun gedung apartemen ataupun rumah susun (Rusun). Begitu juga dengan zona perkantoran dibangun gedung perkantoran.
"Pemerintah pusat kan juga punya andil untuk kebijakan gedung karena banyak aspek. Aspek ekonomi misalnya, dari pajak, moneter dan sebagainya. Kalau pemerintah daerah dari izin dan regulasi," pungkasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi D DKI Jakarta, Ricardo menilai, Pemprov DKI Jakarta tidak serius untuk menata gedung tinggi di Jakarta apabila melihat kondisi yang ada. Akibatnya, banyak peristiwa kecelakaan di dalam gedung, baik itu kebakaran ataupun roboh seperti yang terjadi di lantai gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2018.
Politikus PDI Perjuangan ini menilai audit dan pengecekan Sertifikat Layak Fungsi (SLF) Dinas Cipta Karya tidak akan dapat mengetahui kualitas kemananan material gedung. Sebab, kata dia, pengecekan dilakukan secara umum tidak sampai detail pada bagian kontruksi.
"Kalau saya tidak masalah mau dibangun dimana asal sesuai aturan dan peruntukan. Terpenting keamanan dan keselamatan," ungkapnya.
Ricardo berharap, agar gedung-gedung pencakar langit yang memperpanjang SLF itu dibarengi dengan pengecekan oleh konsultan serta kontraktor pembangunan. Sehingga, tingkat keamanan dan keselamatan lebih terjamin.
"Penerbitan izin dan SLF itu garis besarnya saja. Misalnya gambarnya udah oke nih sama yang udah jadi. Tinggi pasak tiang, luas selasar dan sebagainya. Tapi kalau bagian detail besi rangka kontruksi, semen dan sebagainya tidak dilihat," tegasnya.
(mhd)