Cerita Betawi, Kisah Pembantaian Dukun Santet di Cengkareng (Bagian-2, Tamat)

Minggu, 03 Maret 2019 - 07:15 WIB
Cerita Betawi, Kisah Pembantaian Dukun Santet di Cengkareng (Bagian-2, Tamat)
Cerita Betawi, Kisah Pembantaian Dukun Santet di Cengkareng (Bagian-2, Tamat)
A A A
KISAH pembantaian dukun santet di Cengkareng Jakarta Barat pada tahun 1968-an, bermula dari wabah muntah darah dan perut membuncit yang diderita warga. Banyak warga yang percaya kalau penyakit tersebut merupakan perbuatan dukun teluh atau santet.

Saat itu mereka yakin ada yang 'mengerjai' kerabat mereka hingga menderita sakit yang tidak lazim itu. Salah satunya adalah kerabat Kapten Madun yang menjadi petugas keamanan di kawasan Bambularangan Wetan. Kapten Madun langsung mengumpulkan informasi siapa saja orang yang dicurigai sebagai dukun santet.

Sebagaimana dituturkan Haji Endik Sukardja tokoh masyarakat Bambularangan Kidul, setelah melaporkan kasus ini kepada komandannya, Kapten Madun dengan dibantu anggotanya, diantaranya adalah Saim Gajah dan Ranen segera mengumpulkan data nama-nama orang yang dicurigai sebagai dukun santet.

Menurut tokoh pemuda Bambularangan, Royani, Kapten madun juga mendapat pasokan data nama-nama orang yang dicurigai sebagai dukun teluh dari salah satu ketua ormas Kecamatan Cengkareng bernama Samlawi. Masih menurut Royani, orang yang dikategorikan sebagai dukun adalah orang yang sering dimintai “aer adem” untuk obat baik gangguan fisik maupun mental, atau orang yang suka dimintai jampi-jampi untuk keperluan tertentu.

Sementara untuk kasus Ki Rohimi menurut Haji Endik Sukardja, Ki Roihimi adalah orang tua yang temperamental, serta suka bersumpah serapah. Kata-kata yang sering diucapkan jika dia berselisih dengan orang lain adalah “Lu ribut ama gua, umur lu tiga hari lagi”. Sehingga orang curiga dia adalah dukun teluh yang bisa bikin koit orang secara gaib. (Baca Juga: Intrik Intelijen Tentara Mataram di Balik Kematian GUbernur VOC)

Setelah data nama-nama orang yang dicurigai sebagai dukun teluh dianggap cukup, Kapten madun segera melakukan pemanggilan dan penangkapan. Menurut cerita beberapa orang yang mengetahui peristiwa tersebut banyak korban yang dicurigai sebagai dukun teluh yang ditangkap dan dibunuh, tetapi hanya enam orang korban yang berhasil dihimpun dengan keterangan yang cukup meyakinkan.

Tercatat enam orang digelandang ke kantor keamanan di Cengkareng, mereka adalah Ki Tumpang dan Ki Rohimi dari Bambularangan, Ki Enih dari kampung Maja, Ki Loyog dari kampung Menceng, Ki Lihin asal Poris, dan Ki Kecil dari Tebaci.

Selain Ki Rohimi yang tewas ditembak, nasib lebih tragis dialami Ki Lihin, dia tewas dengan mengenaskan setelah disiksa dengan dipukuli tongkat karet di Bulak Cegin. Sementara Ki Enih, meskipun tidak sampai dibunuh, sempat diarak massa dari rumahnya sampai kantor kecamatan Cengkareng. (Baca Juga: Kisah Bang Pi'i Jawara Senen dan Awal Mula Kriminalitas di Jakarta)

Satu minggu setelah kejadian itu, aparat kepolisian yang bermarkas di daerah Pesing turun tangan, mayat Ki Rohimi yang terlanjur dimakamkan kerabatnya di tanah wakaf keluarga akan diautopsi, Tetapi keluarga besar Ki Rohimi menolak, sehingga polisi gagal mengautopsi mayat Rohimi.

Kapten Madun serta anggota OPR yang terlibat, Ditangkap dan dipecat dari keanggotaannya. Sementara Samlawi “sang pemasok data” melarikan diri ke Bandung, hingga saat ini keberadaannya tidak pernah diketahui.

Itulah sekelumit kisah sadis terkait fitnah dukun teluh yang terjadi di Cengkareng dua korban diantaranya berasal dari Bambularangan, sebagaimana pernah juga terjadi di Banyuwangi, Sukabumi, dan yang masih hangat diberitakan di Sumatera Utara. (Baca Juga: Peradaban Jakarta Bermula di Menara Syahbandar)

Ilmu teluh atau santet memang sering makan korban, namun dibanding dengan korban ilmu teluh, justru orang yang difitnah, diduga atau diisukan sebagai dukun teluh-lah yang sering jadi korban. Baik terkena amuk massa atau kekerasan aparat.

Sementara hukum positif nasional yang berlaku, tidak berdaya menjangkau dunia irasional teluh atau santet. Karena memang sulit atau bahkan mustahil untuk membuktikan kegiatan gaib dengan bantuan jin ini.Dipihak lain kepercayaan masyarakat dibanyak tempat di Indonesia tentang adanya teluh dan santet masih mengakar kuat, akhirnya main hakim sendiri-pun menjadi jalan penyelesaian. (Tamat)

Sumber: diolah blog anakmandorbuang
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3606 seconds (0.1#10.140)