Riwayat Hotel des Indes di Jalan Gajah Mada, Saksi Bisu Perundingan Roem Royen
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di Jalan Gajah Mada , Jakarta Barat yang dulunya dikenal kawasan Molenvliet West (Batavia) terdapat sebuah hotel termasyhur. Hotel des Indes yang beroperasi pada 1856-1960 dan menjadi saksi bisu Perundingan Roem Royen pada 7 Mei 1949.
Perundingan Roem Royen di Hotel des Indes dipimpin oleh Merle Cochran, delegasi RI diwakili Mr Muhammad Roem dan Belanda diketuai Dr JH Van Royen. Perundingan berakhir pada 7 Mei 1949 dengan hasil Pemerintah Indonesia termasuk para pemimpin yang ditawan akan dikembalikan ke Yogyakarta dan kedua pihak sepakat untuk melaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
Baca juga: Kisah Cinta Patih Gajah Mada dengan 3 Wanita
Dikutip dari berbagai sumber, Minggu (5/9/2021), Reinier de Klerk merupakan pemilik tanah untuk lokasi Hotel des Indes sejak tahun 1760. Tanah dan rumah di atasnya dijual de Klerk kepada C Postmans pada 1774. Pada tahun 1824 tanah dan bangunan dibeli pemerintah untuk sekolah asrama putri.
Pada tahun 1829, tanah dan bangunan di atas lokasi dibeli orang Prancis bernama Antoine Surleon Chaulan yang mendirikan sebuah hotel bernama Hotel de Provence. Pada tahun 1845, putra Etienne Chaulan mengambil alih hotel dari tangan ayahnya.
Pada tahun 1851, di bawah manajemen Cornelis Denning Hoff, hotel ini berganti nama menjadi Rotterdamsch Hotel. Satu tahun berselang hotel ini dibeli orang Swiss bernama Francois Auguste Emile Wijss yang menikah dengan keponakan perempuan dari Etienne Chaulan. Pada 1 Mei 1856, Wijjs menamakan hotel ini sebagai Hotel des Indes atas usulan Douwes Dekker.
Pada tahun 1860, Hotel des Indes dijual Wijjs kepada orang Prancis bernama Louis George Cressonnier.
Hotel des Indes tahun 1902-1905. Foto: National Museum of World Cultures
Menurut Alfred Russel Wallace yang berada di Batavia pada tahun 1861, Hotel des Indes sangat nyaman. Setiap tamu disediakan kamar duduk dan kamar tidur menghadap ke beranda. Di beranda, tamu dapat menikmati kopi pagi dan kopi sore. Pada pukul sepuluh disediakan sarapan table d'hôte dan makan malam mulai pukul enam. Semuanya dengan harga per hari yang pantas.
Setelah Cressonnier meninggal dunia pada tahun 1870, keluarganya menjual hotel ini kepada Theodoor Gallas. Pada tahun 1886, Gallas menjual hotel ini kepada Jacob Lugt yang memperluas hotel secara besar-besaran dengan cara membeli tanah di sekeliling hotel. Setelah Lugt mendapat masalah keuangan, Hotel des Indes dijadikan perseroan terbatas NV Hotel des Indes pada tahun 1897. Pada tahun 1903, hotel ini berada di bawah manajemen JM Gantvoort sebelum dikelola oleh Nieuwenhuys.
Baca juga: Sejarah Pendidikan Jakarta dan Sekolah Guru Pertama di Batavia
John T McCutcheon menulis pada tahun 1910 bahwa bila dibandingkan dengan Hotel des Indes, semua hotel di Asia berada di bawahnya. Dia juga bercerita tentang kemewahan rijsttafel di hotel tersebut.
“Anda harus makan siang lebih awal agar ada cukup waktu untuk menikmatinya sebelum makan malam. Makan siang disajikan oleh 24 pelayan yang berbaris memanjang, mulai dari dapur hingga ke meja, dan kembali ke dapur dengan berbaris. Setiap pelayan membawa sepiring makanan berisi salah satu lauk dari keseluruhan 57 lauk pauk untuk rijsttafel. Anda mengambil sendiri lauk dengan sebelah tangan hingga lelah, lalu bergantian dengan tangan yang sebelah lagi. Ketika Anda sudah siap makan, piring anda terlihat seperti bunker di padang golf yang dipenuhi nasi,” tulis John T McCutcheon seperti dimuat di Wikipedia.
Setelah Indonesia merdeka, hotel ini diambil alih Pemerintah Indonesia pada tahun 1960 dan diganti namanya menjadi Hotel Duta Indonesia. Pada tahun 1971, bangunan hotel dibongkar untuk didirikan Pertokoan Duta Merlin.
Sumber: Wikipedia, jakarta45.wordpress.com
Perundingan Roem Royen di Hotel des Indes dipimpin oleh Merle Cochran, delegasi RI diwakili Mr Muhammad Roem dan Belanda diketuai Dr JH Van Royen. Perundingan berakhir pada 7 Mei 1949 dengan hasil Pemerintah Indonesia termasuk para pemimpin yang ditawan akan dikembalikan ke Yogyakarta dan kedua pihak sepakat untuk melaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
Baca juga: Kisah Cinta Patih Gajah Mada dengan 3 Wanita
Dikutip dari berbagai sumber, Minggu (5/9/2021), Reinier de Klerk merupakan pemilik tanah untuk lokasi Hotel des Indes sejak tahun 1760. Tanah dan rumah di atasnya dijual de Klerk kepada C Postmans pada 1774. Pada tahun 1824 tanah dan bangunan dibeli pemerintah untuk sekolah asrama putri.
Pada tahun 1829, tanah dan bangunan di atas lokasi dibeli orang Prancis bernama Antoine Surleon Chaulan yang mendirikan sebuah hotel bernama Hotel de Provence. Pada tahun 1845, putra Etienne Chaulan mengambil alih hotel dari tangan ayahnya.
Pada tahun 1851, di bawah manajemen Cornelis Denning Hoff, hotel ini berganti nama menjadi Rotterdamsch Hotel. Satu tahun berselang hotel ini dibeli orang Swiss bernama Francois Auguste Emile Wijss yang menikah dengan keponakan perempuan dari Etienne Chaulan. Pada 1 Mei 1856, Wijjs menamakan hotel ini sebagai Hotel des Indes atas usulan Douwes Dekker.
Pada tahun 1860, Hotel des Indes dijual Wijjs kepada orang Prancis bernama Louis George Cressonnier.
Hotel des Indes tahun 1902-1905. Foto: National Museum of World Cultures
Menurut Alfred Russel Wallace yang berada di Batavia pada tahun 1861, Hotel des Indes sangat nyaman. Setiap tamu disediakan kamar duduk dan kamar tidur menghadap ke beranda. Di beranda, tamu dapat menikmati kopi pagi dan kopi sore. Pada pukul sepuluh disediakan sarapan table d'hôte dan makan malam mulai pukul enam. Semuanya dengan harga per hari yang pantas.
Setelah Cressonnier meninggal dunia pada tahun 1870, keluarganya menjual hotel ini kepada Theodoor Gallas. Pada tahun 1886, Gallas menjual hotel ini kepada Jacob Lugt yang memperluas hotel secara besar-besaran dengan cara membeli tanah di sekeliling hotel. Setelah Lugt mendapat masalah keuangan, Hotel des Indes dijadikan perseroan terbatas NV Hotel des Indes pada tahun 1897. Pada tahun 1903, hotel ini berada di bawah manajemen JM Gantvoort sebelum dikelola oleh Nieuwenhuys.
Baca juga: Sejarah Pendidikan Jakarta dan Sekolah Guru Pertama di Batavia
John T McCutcheon menulis pada tahun 1910 bahwa bila dibandingkan dengan Hotel des Indes, semua hotel di Asia berada di bawahnya. Dia juga bercerita tentang kemewahan rijsttafel di hotel tersebut.
“Anda harus makan siang lebih awal agar ada cukup waktu untuk menikmatinya sebelum makan malam. Makan siang disajikan oleh 24 pelayan yang berbaris memanjang, mulai dari dapur hingga ke meja, dan kembali ke dapur dengan berbaris. Setiap pelayan membawa sepiring makanan berisi salah satu lauk dari keseluruhan 57 lauk pauk untuk rijsttafel. Anda mengambil sendiri lauk dengan sebelah tangan hingga lelah, lalu bergantian dengan tangan yang sebelah lagi. Ketika Anda sudah siap makan, piring anda terlihat seperti bunker di padang golf yang dipenuhi nasi,” tulis John T McCutcheon seperti dimuat di Wikipedia.
Setelah Indonesia merdeka, hotel ini diambil alih Pemerintah Indonesia pada tahun 1960 dan diganti namanya menjadi Hotel Duta Indonesia. Pada tahun 1971, bangunan hotel dibongkar untuk didirikan Pertokoan Duta Merlin.
Sumber: Wikipedia, jakarta45.wordpress.com
(jon)