Pemprov DKI Gandeng Masyarakat untuk Perbaiki Aset
A
A
A
JAKARTA - Buruknya pengelolaan aset DKI Jakarta masih menjadi permasalahan yang harus dituntaskan. Pemprov DKI kini menggandeng masyarakat untuk mengatasi pengelolaan aset tersebut.
Salah satu penilaian utama atas predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP) yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap penggunaan anggaran DKI sejak 2012-2016 adalah buruknya pengelolaan aset. Bahkan, saking buruknya, sempat terjadi pembelian lahan milik Pemprov DKI di Cengkareng, Jakarta Barat yang dilakukan oleh Pemprov DKI sendiri.
Pada 2017, Badan Pengelolaan Aset Daerah (BPAD) dibentuk sendiri terpisah dari pengelolaan keuangan agar fokus menginventarisasi sekaligus menyelesaikan sengketa aset sesuai ketentuan berlaku.
Pembentukan BPAD kemudian sedikit berhasil merubah predikat penggunaan anggaran DKI menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada 2017. Meski berhasil meraih predikat WTP, BPAD hingga saat ini belum optimal menginventarisir dan mengelola aset milik DKI.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan, sedikitnya ada sekitar 1,6 juta bidang tanah di Jakarta dan dari angka tersebut masih belum tercatat dengan baik kepemilikan. Untuk itu, Pemprov DKI bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) melaksanakan Pencanangan Penerapan Gerakan Masyarakat Pemasangan Tanda Batas (Gema Patas) di Gedung UPT PPBD BPAD Pulomas, Jakarta Timur, Selasa (4/9/2018).
Gerakan ini dilaksanakan sebagai bentuk komitmen dalam menyukseskan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) dan Tertib Administrasi Pertanahan Aset Pemprov DKI Jakarta menuju Jakarta Satu Peta pada 2019.
"Nah hari ini kita lakukan sosialisasi gerakan masyarakat pemasangan tanda batas kita berharap agar satu saat tahun depan jakarta akan memiliki peta dasar yaitu jakarta satu," kata Anies di lokasi.
Anies menjelaskan, peta dasar itu nantinya akan menjadi rujukan untuk semua informasi kewilayahan di DKI yang nantinya terintegrasi dengan informasi perpajakan, kependudukan, dan info atas kepemilikan aset baik tanah maupun barang lainnya.
Salah satu kendala utama dalam penyusunan peta tersebut, kata Anies adalah pencatatan ukuran-ukuran bidang tanahnya. Dimana, ketika BPN mendatangi lokasi yang belum tercatat untuk pengukuran belum tentu dapat menemui pemiliknya.
"Karena itu sekarang bersama dengan para walikota, camat, lurah kemudian rt rw nanti bergerak unuk memberikan tanda batas di lahan mereka sendiri. Dengan begitu ketika petugas datang petugas bisa langsung melakukan eksekusi," ungkapnya.
Selain itu, lanjut Anies, gerakan pemasangan tanda batas juga memudahkan program sertifikasi tanah yang tahun ini dialokasikan oleh Pemprov DKI sebesar Rp 120 Miliar untuk 282 bidang tanah masyarakat yang belum tersertifikasi.
Melalui gerakan pembatasan tanah ini juga Anies berharap tidak ada lagi tanah masyarakat yang tidak bersertifikat dan masyarakat memiliki peluang yang sama agar terpetakan tanahnya secara sistematis. Dengan begitu, pendataan akan lebih mudah dan status tanah akan lebih jelas, serta terselesaikannya polemik tentang batasan tapak tanah. Sehingga, masyarakat akan memperoleh kepastian hukum sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA), Pasal 19 dan Penjelasan Umum angka IV, mengisntruksikan kepada Pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum (rechts-kadaster).
"Sertifikasi ini hanya bisa berjalan jika data tentang tanahnya itu lengkap dan salah satu datanya adalah ukurannya," pungkasnya.
Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI Jakarta, Jaya mengapresiasi Pemprov DKI Jakarta atas sinerginya dalam membantu percepatan pendaftaran tanah di seluruh wilayah DKI. Menurutnya, hal ini sejalan dengan keinginan Pemprov DKI Jakarta bahwa 2019 Jakarta Satu Peta.
Saat ini, kata Jaya, ada sekitar 332.655 ribu bidang tanah mendapat bantuan. Dengan bantuan Rp120 miliar untuk 282 ribu bidang tanah yang belum disertifikasi selesai semua dan tahun depan terkahir seluruh bidang tanah di DKI terdaftar.
"Saya kira ini baik sekali karena seluruhnya akan terjamin kepastian tertib administasinya, kepastian hukumnya, serta kepastian penggunaannya dan lingkungan hidupnya," pungkasnya.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Muhammad Taufik mengatakan, buruknya pengelolaan aset di Jakarta memang sudah terjadi sejak dahulu dan harus ada manajemen aset yang benar untuk memperbaikinya. Untuk itu, Badan Pengelolaan Aset Daerah (BPAD) dipisahkan dari Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD).
Kendati demikian, kata Taufik, fasilitas umum dan sosial serta pembangunan infrastruktur yang mengunakan dana perusahaan swasta harus segera diserahterimakan kepada Pemprov DKI agar kedepannya tidak lagi bermasalah dan akhirnya hilang.
"BPAD berat tugas kedepannya, karena aset di DKI bukan punya unit, sertifikatnya nama Pemda DKI. Harus ada inventarisasi, Kemudian sertifikasi dan terakhir masukan dalam sistem," kata Taufik saat dihubungi kemarin.
Taufik menjelaskan, aset itu memiliki empat bentuk, yakni ada surat ada barang, ada surat enggak ada barang, enggak ada surat ada barang dan ada surat ada barang tetapi dimanfaatkan oleh pihak lain.
Artinya, kata Taufik, aset itu benar-benar harus diinventarisasi dahulu dan baru kemudian di sertifikasi sebelum dimasukan dalam sistem. Dengan begitu, dia optimis tidak ada sekolah yang lantai pertama buat sekolah tetapi lantai duanya buat rumah tinggal.
"Paling penting itu segera catat aset yang dikerjakan oleh perusahaan swasta. Banyak fasilitas sosial dan umum yang belum diserahterimakan dan masukan di neraca. Kan aset itu masuk dalam neraca, jangan-jangan balaikota tidak ada dalam neraca. Jadi nilai balaikota dahulu dengan sekarang pasti berbeda," tegasnya.
Salah satu penilaian utama atas predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP) yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap penggunaan anggaran DKI sejak 2012-2016 adalah buruknya pengelolaan aset. Bahkan, saking buruknya, sempat terjadi pembelian lahan milik Pemprov DKI di Cengkareng, Jakarta Barat yang dilakukan oleh Pemprov DKI sendiri.
Pada 2017, Badan Pengelolaan Aset Daerah (BPAD) dibentuk sendiri terpisah dari pengelolaan keuangan agar fokus menginventarisasi sekaligus menyelesaikan sengketa aset sesuai ketentuan berlaku.
Pembentukan BPAD kemudian sedikit berhasil merubah predikat penggunaan anggaran DKI menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada 2017. Meski berhasil meraih predikat WTP, BPAD hingga saat ini belum optimal menginventarisir dan mengelola aset milik DKI.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan, sedikitnya ada sekitar 1,6 juta bidang tanah di Jakarta dan dari angka tersebut masih belum tercatat dengan baik kepemilikan. Untuk itu, Pemprov DKI bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) melaksanakan Pencanangan Penerapan Gerakan Masyarakat Pemasangan Tanda Batas (Gema Patas) di Gedung UPT PPBD BPAD Pulomas, Jakarta Timur, Selasa (4/9/2018).
Gerakan ini dilaksanakan sebagai bentuk komitmen dalam menyukseskan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) dan Tertib Administrasi Pertanahan Aset Pemprov DKI Jakarta menuju Jakarta Satu Peta pada 2019.
"Nah hari ini kita lakukan sosialisasi gerakan masyarakat pemasangan tanda batas kita berharap agar satu saat tahun depan jakarta akan memiliki peta dasar yaitu jakarta satu," kata Anies di lokasi.
Anies menjelaskan, peta dasar itu nantinya akan menjadi rujukan untuk semua informasi kewilayahan di DKI yang nantinya terintegrasi dengan informasi perpajakan, kependudukan, dan info atas kepemilikan aset baik tanah maupun barang lainnya.
Salah satu kendala utama dalam penyusunan peta tersebut, kata Anies adalah pencatatan ukuran-ukuran bidang tanahnya. Dimana, ketika BPN mendatangi lokasi yang belum tercatat untuk pengukuran belum tentu dapat menemui pemiliknya.
"Karena itu sekarang bersama dengan para walikota, camat, lurah kemudian rt rw nanti bergerak unuk memberikan tanda batas di lahan mereka sendiri. Dengan begitu ketika petugas datang petugas bisa langsung melakukan eksekusi," ungkapnya.
Selain itu, lanjut Anies, gerakan pemasangan tanda batas juga memudahkan program sertifikasi tanah yang tahun ini dialokasikan oleh Pemprov DKI sebesar Rp 120 Miliar untuk 282 bidang tanah masyarakat yang belum tersertifikasi.
Melalui gerakan pembatasan tanah ini juga Anies berharap tidak ada lagi tanah masyarakat yang tidak bersertifikat dan masyarakat memiliki peluang yang sama agar terpetakan tanahnya secara sistematis. Dengan begitu, pendataan akan lebih mudah dan status tanah akan lebih jelas, serta terselesaikannya polemik tentang batasan tapak tanah. Sehingga, masyarakat akan memperoleh kepastian hukum sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA), Pasal 19 dan Penjelasan Umum angka IV, mengisntruksikan kepada Pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum (rechts-kadaster).
"Sertifikasi ini hanya bisa berjalan jika data tentang tanahnya itu lengkap dan salah satu datanya adalah ukurannya," pungkasnya.
Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI Jakarta, Jaya mengapresiasi Pemprov DKI Jakarta atas sinerginya dalam membantu percepatan pendaftaran tanah di seluruh wilayah DKI. Menurutnya, hal ini sejalan dengan keinginan Pemprov DKI Jakarta bahwa 2019 Jakarta Satu Peta.
Saat ini, kata Jaya, ada sekitar 332.655 ribu bidang tanah mendapat bantuan. Dengan bantuan Rp120 miliar untuk 282 ribu bidang tanah yang belum disertifikasi selesai semua dan tahun depan terkahir seluruh bidang tanah di DKI terdaftar.
"Saya kira ini baik sekali karena seluruhnya akan terjamin kepastian tertib administasinya, kepastian hukumnya, serta kepastian penggunaannya dan lingkungan hidupnya," pungkasnya.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Muhammad Taufik mengatakan, buruknya pengelolaan aset di Jakarta memang sudah terjadi sejak dahulu dan harus ada manajemen aset yang benar untuk memperbaikinya. Untuk itu, Badan Pengelolaan Aset Daerah (BPAD) dipisahkan dari Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD).
Kendati demikian, kata Taufik, fasilitas umum dan sosial serta pembangunan infrastruktur yang mengunakan dana perusahaan swasta harus segera diserahterimakan kepada Pemprov DKI agar kedepannya tidak lagi bermasalah dan akhirnya hilang.
"BPAD berat tugas kedepannya, karena aset di DKI bukan punya unit, sertifikatnya nama Pemda DKI. Harus ada inventarisasi, Kemudian sertifikasi dan terakhir masukan dalam sistem," kata Taufik saat dihubungi kemarin.
Taufik menjelaskan, aset itu memiliki empat bentuk, yakni ada surat ada barang, ada surat enggak ada barang, enggak ada surat ada barang dan ada surat ada barang tetapi dimanfaatkan oleh pihak lain.
Artinya, kata Taufik, aset itu benar-benar harus diinventarisasi dahulu dan baru kemudian di sertifikasi sebelum dimasukan dalam sistem. Dengan begitu, dia optimis tidak ada sekolah yang lantai pertama buat sekolah tetapi lantai duanya buat rumah tinggal.
"Paling penting itu segera catat aset yang dikerjakan oleh perusahaan swasta. Banyak fasilitas sosial dan umum yang belum diserahterimakan dan masukan di neraca. Kan aset itu masuk dalam neraca, jangan-jangan balaikota tidak ada dalam neraca. Jadi nilai balaikota dahulu dengan sekarang pasti berbeda," tegasnya.
(mhd)