DPRD DKI Nilai Laporan Ombudsman soal Jalan Jatibaru Subjektif
A
A
A
JAKARTA - DPRD DKI Jakarta menilai laporan hasil pemeriksaan Ombudsman terkait penutupan ruas Jalan Jatibaru, Tanah Abang, Jakarta Pusat, bersifat subjektif. Hal ini diungkapkan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Triwisaksana kepada wartawan.
"Pertama Ombudsman perwakilan DKI Jakarta itu tak memiliki kewenangan memberikan rekomendasi. Rekomendasi itu diberikan Ombudsman sebagai sebuah lembaga, tidak oleh perwakilan," ungkap pria yang akrab disapa Sani pada wartawan, Selasa (27/3/2018).
Menurut Sandi, DPRD akan melihat lebih jauh tentang laporan Ombudsman. Adapun DPRD sejalan dengan Gubernur DKI menyambut secara positif keaktifan Ombudsman dalam memberi laporan. Namun, dia meminta laporan tersebut steril dari unsur subjektifitas.
Sani menilai adanya ketidakseimbangan penegakan hukum di era Ombudsman saat ini. Sebabnya, Ombudsman saat ini lebih bersikap kritis kepada pemerintah dibandingkan pemerintah yang lalu. Misalnya saja, lanjut Sani, kebijakan pemerintah Ahok-Djarot yang sudah sampai pada tingkat pelanggaran dan dibatalkan oleh pengadilan, tapi tak mendapat rekomendasi dari Ombudsman.
"Kalau kita melihat Ombudsman ini tajam pada (pemerintah) saat ini, tapi tumpul pada (pemerintahan) yang lalu. Contoh penggusuran Bukit Duri dan reklamasi Teluk Jakarta," tuturnya.
Seperti diketahui, Ombudsman Perwakilan DKI memberi waktu 60 hari agar Pemprov melakukan tindakan korektif sesuai saran dari Ombudsman terkait dugaan tidakan maladministrasi yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengalihfungsikan Jalan Jatibaru untuk PKL.
Dari hasil rangkaian pemeriksaan, Tim Ombudsman menemukan empat tindakan maladministrasi atas kebijakan penataan PKL di Jalan Jatibaru di antaranya: yakni
1. Tidak Kompeten.
Tindakan tidak kompeten yang dilakukan Gubernur DKI bersama Dinas UKM serta Perdagangan dalam mengantisipasi dampak dari penataan PKL di Jalan Jatibaru Raya. Hal ini terlihat dari tidak selaras dengan tugas Dinas UKM serta Perdagangan dalam melaksanakan pembangunan, pengembangan, dan pembinaan usaha mikro, kecil, dan menengah serta perdagangan sesuai Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 266/2016. Selain itu Gubernur DKI Jakarta dalam penataan PKL di Jalan Jatibaru Raya tidak mirniliki perencanaan yang matang, terkesan terburu-buru dan parsial, karena Pemprov DKI Jakarta belum memiliki rencana induk penataan PKL dan peta jalan PKL di Jakarta.
2. Penyimpangan
Prosedur kebijakan Gubernur DKI Jakarta dalam melakukan penutupan Jalan Jatibaru Raya juga dinilai telah menyimpang dari prosedur. Pasalnya kebijakan Gubernur DKI Jakarta bersama Dinas Perhubungan DKI Jakarta tersebut dilakukan tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu dari Polda Metro Jaya c.q. Ditlantas. Mengingat, sesuai ketentuan Pasal 128 ayat (3] Undang Undang No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bahwa terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas harus dengan seizin Polri.
3. Pengabaian Kewajiban Hukum
Kebijakan Gubernur DKI Jakarta berupa diskresi dalam penataan PKL di Jalan Jatibaru Raya dengan menutup Jalan tersebut, tidak sejalan dengan ketentuan tentang penggunaan diskresi sebagaimana Undang-Undang No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan mengabaikan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2030 dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Pengaturan Zonasi DKI Jakarta 2030. Hal ini menurut Tim Ombudsman merupakan maladministrasi berupa pengabaian kewajiban hukum.
4. Perbuatan Melawan Hukum
Tim Ombudsman juga menemukan alih fungsi Jalan Jatibaru Raya Tanah Abang, telah melanggar Ketentuan Peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 38/2004 tentang Jalan, Undang-Undang Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Pemerintah Nomor 34/2006 tentang Jalan, dan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 /2007 tentang Ketertiban Umum. Selain alih fungsi Jalan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang menyampingkan hak pejalan kaki atau pedestrian dalam menggunakan fasilitas trotoar juga telah melanggar Peraturan Daerah Nomor 5/2014 tentang Transportasi.
"Pertama Ombudsman perwakilan DKI Jakarta itu tak memiliki kewenangan memberikan rekomendasi. Rekomendasi itu diberikan Ombudsman sebagai sebuah lembaga, tidak oleh perwakilan," ungkap pria yang akrab disapa Sani pada wartawan, Selasa (27/3/2018).
Menurut Sandi, DPRD akan melihat lebih jauh tentang laporan Ombudsman. Adapun DPRD sejalan dengan Gubernur DKI menyambut secara positif keaktifan Ombudsman dalam memberi laporan. Namun, dia meminta laporan tersebut steril dari unsur subjektifitas.
Sani menilai adanya ketidakseimbangan penegakan hukum di era Ombudsman saat ini. Sebabnya, Ombudsman saat ini lebih bersikap kritis kepada pemerintah dibandingkan pemerintah yang lalu. Misalnya saja, lanjut Sani, kebijakan pemerintah Ahok-Djarot yang sudah sampai pada tingkat pelanggaran dan dibatalkan oleh pengadilan, tapi tak mendapat rekomendasi dari Ombudsman.
"Kalau kita melihat Ombudsman ini tajam pada (pemerintah) saat ini, tapi tumpul pada (pemerintahan) yang lalu. Contoh penggusuran Bukit Duri dan reklamasi Teluk Jakarta," tuturnya.
Seperti diketahui, Ombudsman Perwakilan DKI memberi waktu 60 hari agar Pemprov melakukan tindakan korektif sesuai saran dari Ombudsman terkait dugaan tidakan maladministrasi yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengalihfungsikan Jalan Jatibaru untuk PKL.
Dari hasil rangkaian pemeriksaan, Tim Ombudsman menemukan empat tindakan maladministrasi atas kebijakan penataan PKL di Jalan Jatibaru di antaranya: yakni
1. Tidak Kompeten.
Tindakan tidak kompeten yang dilakukan Gubernur DKI bersama Dinas UKM serta Perdagangan dalam mengantisipasi dampak dari penataan PKL di Jalan Jatibaru Raya. Hal ini terlihat dari tidak selaras dengan tugas Dinas UKM serta Perdagangan dalam melaksanakan pembangunan, pengembangan, dan pembinaan usaha mikro, kecil, dan menengah serta perdagangan sesuai Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 266/2016. Selain itu Gubernur DKI Jakarta dalam penataan PKL di Jalan Jatibaru Raya tidak mirniliki perencanaan yang matang, terkesan terburu-buru dan parsial, karena Pemprov DKI Jakarta belum memiliki rencana induk penataan PKL dan peta jalan PKL di Jakarta.
2. Penyimpangan
Prosedur kebijakan Gubernur DKI Jakarta dalam melakukan penutupan Jalan Jatibaru Raya juga dinilai telah menyimpang dari prosedur. Pasalnya kebijakan Gubernur DKI Jakarta bersama Dinas Perhubungan DKI Jakarta tersebut dilakukan tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu dari Polda Metro Jaya c.q. Ditlantas. Mengingat, sesuai ketentuan Pasal 128 ayat (3] Undang Undang No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bahwa terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas harus dengan seizin Polri.
3. Pengabaian Kewajiban Hukum
Kebijakan Gubernur DKI Jakarta berupa diskresi dalam penataan PKL di Jalan Jatibaru Raya dengan menutup Jalan tersebut, tidak sejalan dengan ketentuan tentang penggunaan diskresi sebagaimana Undang-Undang No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan mengabaikan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2030 dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Pengaturan Zonasi DKI Jakarta 2030. Hal ini menurut Tim Ombudsman merupakan maladministrasi berupa pengabaian kewajiban hukum.
4. Perbuatan Melawan Hukum
Tim Ombudsman juga menemukan alih fungsi Jalan Jatibaru Raya Tanah Abang, telah melanggar Ketentuan Peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 38/2004 tentang Jalan, Undang-Undang Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Pemerintah Nomor 34/2006 tentang Jalan, dan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 /2007 tentang Ketertiban Umum. Selain alih fungsi Jalan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang menyampingkan hak pejalan kaki atau pedestrian dalam menggunakan fasilitas trotoar juga telah melanggar Peraturan Daerah Nomor 5/2014 tentang Transportasi.
(whb)