Pencari Suaka Jadikan Pojokan Ruko di Kalideres untuk Buang Hajat
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah warga di Kawasan Kalideres, dekat Rumah Detensi Imigrasi mengeluhkan keberadaan para pencari suaka. Mereka menilai para pencari suaka membuat kampungnya menjadi kumuh dan bau.
Sebab, para pencari suaka kerap berbuat semuanya. Mereka seringkali membuang air seni sembarang, tidur di depan ruko orang, hingga membuat tinja sembarang. Kondisi ini membuat pemandang tak sedap terjadi.
“Coba deh kalau pagi ke sini, pasti banyak tinja yang mengering. Dulu sebelum ada pengungsi di sini mah masih bersih,” kata Joko (37), petugas keamanan di kawasan Ruko Peta Selatan, Kalideres, Jakarta Barat, Minggu (18/3/2018).
Sebagai kepala keamanan, kondisi ini membuat dirinya kerap di keluhkan oleh para pemilik ruko. Meski demikian, Joko tak bisa berbuat banyak, sikap menjadi dilematis lantaran kondisi pengungsi yang kian miris.
Selain banyak ditemukan kotoran manusia yang mengering. Bau tak sedap ditemukan di pojokan ruko, bau itu membuat ruko kian sepi lantaran banyak pengunjung merasa tak nyaman belanja disana.
“Gimana yah mas, satu sisi kasihan. Tapi satu sisi nyebelin, ruko-ruko kita jadi kumuh begini,” timpal Joko.
Ketua RT 07/11, Mustafa, menjelaskan sudah sejak lama warga mengeluhkan keberadaan pengusi di situ. Mereka mulai jengkel karena perilaku pengungsi yang tak menjaga kebersihan.“Awalnya kami merasa kasihan. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan sebagai manusia kami saling menghormati. Tapi lama kelamaan bukan malah berkurang tapi jumlahnya makin bertambah. Dari rasa kasihan sampai menyebalkan dan membosankan,” jelas Mustofa saat ditemui di area trotoar pengungsian tepat di depan Rumah Detensi Imigrasi Jakarta Barat.
Mustofa menambahkan, warga yang mengeluhkan hal itu diantaranya warga RT 010/01, RT07/011 dan RT06/03. Di pagi hari, anak-anak yang berangkat sekolah dengan berjalan kaki sampai turun ke bahu jalan. Sebab, trotoar diokupasi para pengungsi. Selain itu, para pengungsi juga sering tidak menjaga kebersihan dengan membuang sampah sembarangan dan buang air sembarangan.
“Mandi, cuci baju, dan buang air besar biasanya mereka di WC-WC milik masyarakat tanpa permisi. Sering juga di masjid dan musala. Pagi, siang sore, dan malam. Kalau dimarahin mereka tidak mengerti bahasa kita,” imbuh Mustofa.
Dia berharap ada perhatian dari Pemkot Jakarta Barat untuk segera membenahi hal ini. Pasalnya, sudah berkali-kali pertemuan membahas soal ini dengan camat dan lurah, namun tidak ada hasilnya.
Sementara itu, lemahnya tindakan yang dilakukan Pemprov DKI jakarta membuat pengungsi kini mulai mengokupansi trotoar. Dengan beralas karpet karet dan kardus serta beratap kain, pengungsi ini tinggal di depan rumah detensi imigrasi.
Semakin hari, pengungsi di sana kian banyak, bila sebelumnya hanya beberapa orang saja, kini jumlah pengungsi di sana menjadi puluhan. Mereka kemudian bermalam dan menempati, berharap bisa masuk ke dalam rumah detensi.
Selain memberikan kesan kumuh, pengungsi dis ana kerap menimbulkan macet. Kendaraan melambat, karena ingin melihat, akibatnya saat siang macet mencapai 300 meter. Keberadaan mereka kian memburuk lantaran ditempat itu kurang toilet.
Mereka kemudian memanfaat sebuah toilet umum bergantian yang lokasinya tak jauh. Beberapa diantaranya juga bahkan menggunakan toilet di salah satu swalayan.
Petugas keamanan Hari Hari Pasar Swalayan mengaku tidak tahu menahu soal hal ini. Padahal, jelas terlihat pengungsi berlalu lalang di sekitar pasar swalayan hanya untuk sekadar mandi atau buang air. Untuk mandi di sana pun tidak dipungut biaya.
“Oh kalau itu kita tidak tahu menahu. Kamar mandi itu hanya untuk kostumer pasar swalayan,” kata Sunarsono, salah satu petugas keamanan.
Di toilet umum Hari Hari Pasar Swalayan terpampang tulisan berbahasa Inggris bertuliskan ‘Don’t take a bath. Only for customer Hari Hari Supermarket’. Kendati demikian, saat SINDO menjajal toilet tersebut, seorang pria muda sedang mengeringkan tubuh menggunakan handuk.
Selain disitu, untuk mandi sehari-hari para pengungsi memiliki sejumlah alternatif. Yang paling terdekat, pengungsi biasa mandi dan cuci baju di sebuah WC umum yang letaknya agak menjorok ke dalam dari trotoar. Di sana terdapat tiga bilik kamar mandi yang kondisinya mengenaskan.
Air keran dibiarkan terbuka karena kepala keran air yang copot, dinding pun telah mengelupas. Untuk buar air kecil dan besar pengungsi dikenakan biaya Rp2.000, dan untuk mandi Rp5.000, sementara untuk cuci baju Rp2.000.
“Ya, kami biasanya gunakan WC umum berbayar. Di pagi hari dan malam hari antrean bisa sampai dua jam hanya untuk mandi. Kadang warga yang ingin buang air harus didahulukan dibanding kami,” kata Najibullah (28), pengungsi Afghanistan di lokasi.
Najib mengeluhkan, kualitas air pun tidak sebersih pada normalnya. Antrean biasanya dimulai pukul 07.00 atau pukul 07.30 WIB. “Mengantre di jam segitu bisa dapat giliran pukul 09.00 atau 10.00,” katanya yang sudah tinggal di Jakarta 5 tahun bersama istri dan anaknya.
Lurah Kalideres, M Fahmi mengaku tidak bisa berbuat banyak terhadap kondisi itu. Dia mengakui banyak warga yang mengeluhkan dengan kondisi itu.“Saya bingung mas, kalau ditindak salah. Enggak ditindak salah juga,” ucapnya.
Sebab, para pencari suaka kerap berbuat semuanya. Mereka seringkali membuang air seni sembarang, tidur di depan ruko orang, hingga membuat tinja sembarang. Kondisi ini membuat pemandang tak sedap terjadi.
“Coba deh kalau pagi ke sini, pasti banyak tinja yang mengering. Dulu sebelum ada pengungsi di sini mah masih bersih,” kata Joko (37), petugas keamanan di kawasan Ruko Peta Selatan, Kalideres, Jakarta Barat, Minggu (18/3/2018).
Sebagai kepala keamanan, kondisi ini membuat dirinya kerap di keluhkan oleh para pemilik ruko. Meski demikian, Joko tak bisa berbuat banyak, sikap menjadi dilematis lantaran kondisi pengungsi yang kian miris.
Selain banyak ditemukan kotoran manusia yang mengering. Bau tak sedap ditemukan di pojokan ruko, bau itu membuat ruko kian sepi lantaran banyak pengunjung merasa tak nyaman belanja disana.
“Gimana yah mas, satu sisi kasihan. Tapi satu sisi nyebelin, ruko-ruko kita jadi kumuh begini,” timpal Joko.
Ketua RT 07/11, Mustafa, menjelaskan sudah sejak lama warga mengeluhkan keberadaan pengusi di situ. Mereka mulai jengkel karena perilaku pengungsi yang tak menjaga kebersihan.“Awalnya kami merasa kasihan. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan sebagai manusia kami saling menghormati. Tapi lama kelamaan bukan malah berkurang tapi jumlahnya makin bertambah. Dari rasa kasihan sampai menyebalkan dan membosankan,” jelas Mustofa saat ditemui di area trotoar pengungsian tepat di depan Rumah Detensi Imigrasi Jakarta Barat.
Mustofa menambahkan, warga yang mengeluhkan hal itu diantaranya warga RT 010/01, RT07/011 dan RT06/03. Di pagi hari, anak-anak yang berangkat sekolah dengan berjalan kaki sampai turun ke bahu jalan. Sebab, trotoar diokupasi para pengungsi. Selain itu, para pengungsi juga sering tidak menjaga kebersihan dengan membuang sampah sembarangan dan buang air sembarangan.
“Mandi, cuci baju, dan buang air besar biasanya mereka di WC-WC milik masyarakat tanpa permisi. Sering juga di masjid dan musala. Pagi, siang sore, dan malam. Kalau dimarahin mereka tidak mengerti bahasa kita,” imbuh Mustofa.
Dia berharap ada perhatian dari Pemkot Jakarta Barat untuk segera membenahi hal ini. Pasalnya, sudah berkali-kali pertemuan membahas soal ini dengan camat dan lurah, namun tidak ada hasilnya.
Sementara itu, lemahnya tindakan yang dilakukan Pemprov DKI jakarta membuat pengungsi kini mulai mengokupansi trotoar. Dengan beralas karpet karet dan kardus serta beratap kain, pengungsi ini tinggal di depan rumah detensi imigrasi.
Semakin hari, pengungsi di sana kian banyak, bila sebelumnya hanya beberapa orang saja, kini jumlah pengungsi di sana menjadi puluhan. Mereka kemudian bermalam dan menempati, berharap bisa masuk ke dalam rumah detensi.
Selain memberikan kesan kumuh, pengungsi dis ana kerap menimbulkan macet. Kendaraan melambat, karena ingin melihat, akibatnya saat siang macet mencapai 300 meter. Keberadaan mereka kian memburuk lantaran ditempat itu kurang toilet.
Mereka kemudian memanfaat sebuah toilet umum bergantian yang lokasinya tak jauh. Beberapa diantaranya juga bahkan menggunakan toilet di salah satu swalayan.
Petugas keamanan Hari Hari Pasar Swalayan mengaku tidak tahu menahu soal hal ini. Padahal, jelas terlihat pengungsi berlalu lalang di sekitar pasar swalayan hanya untuk sekadar mandi atau buang air. Untuk mandi di sana pun tidak dipungut biaya.
“Oh kalau itu kita tidak tahu menahu. Kamar mandi itu hanya untuk kostumer pasar swalayan,” kata Sunarsono, salah satu petugas keamanan.
Di toilet umum Hari Hari Pasar Swalayan terpampang tulisan berbahasa Inggris bertuliskan ‘Don’t take a bath. Only for customer Hari Hari Supermarket’. Kendati demikian, saat SINDO menjajal toilet tersebut, seorang pria muda sedang mengeringkan tubuh menggunakan handuk.
Selain disitu, untuk mandi sehari-hari para pengungsi memiliki sejumlah alternatif. Yang paling terdekat, pengungsi biasa mandi dan cuci baju di sebuah WC umum yang letaknya agak menjorok ke dalam dari trotoar. Di sana terdapat tiga bilik kamar mandi yang kondisinya mengenaskan.
Air keran dibiarkan terbuka karena kepala keran air yang copot, dinding pun telah mengelupas. Untuk buar air kecil dan besar pengungsi dikenakan biaya Rp2.000, dan untuk mandi Rp5.000, sementara untuk cuci baju Rp2.000.
“Ya, kami biasanya gunakan WC umum berbayar. Di pagi hari dan malam hari antrean bisa sampai dua jam hanya untuk mandi. Kadang warga yang ingin buang air harus didahulukan dibanding kami,” kata Najibullah (28), pengungsi Afghanistan di lokasi.
Najib mengeluhkan, kualitas air pun tidak sebersih pada normalnya. Antrean biasanya dimulai pukul 07.00 atau pukul 07.30 WIB. “Mengantre di jam segitu bisa dapat giliran pukul 09.00 atau 10.00,” katanya yang sudah tinggal di Jakarta 5 tahun bersama istri dan anaknya.
Lurah Kalideres, M Fahmi mengaku tidak bisa berbuat banyak terhadap kondisi itu. Dia mengakui banyak warga yang mengeluhkan dengan kondisi itu.“Saya bingung mas, kalau ditindak salah. Enggak ditindak salah juga,” ucapnya.
(whb)