Bangun Kota, Pemkot Tangerang Manfaatkan Teknologi Geolistrik

Selasa, 13 Maret 2018 - 11:30 WIB
Bangun Kota, Pemkot...
Bangun Kota, Pemkot Tangerang Manfaatkan Teknologi Geolistrik
A A A
TANGERANG - Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang mulai memanfaatkan teknologi geolistrik untuk pembuatan lubang biofori, pembangunan jembatan, hingga elevated busway Koridor 13 Ciledug-Tendean. Dengan menggunakan metode geofisika ini, maka akan menghemat terjadinya kesalahan dalam pengeboran. Sehingga, dapat mengurangi dampak dari kerusakan lingkungan akibat pengeboran tanah.

Selain itu, geolistrik juga bisa mengurangi beban biaya yang harus ditanggung dalam proses awal suatu pembangunan. Dengan kata lain, penggunaan geolistrik dalam proses pembangunan tersebut merupakan langkah yang efektif dan efisien. Apalagi dalam penerapannya, Pemkot Tangerang bekerja sama dengan sejumlah tenaga profesional dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang berpusat di Serpong, Tangerang Selatan, Banten.

Teknologi yang biasa digunakan untuk pertambangan, minyak, pembuatan konstruksi bangunan, arkeologi, benda-benda bersejarah, geologi, dan hidrologi ini pun mulai dimanfaatkan di perkotaan. Adalah Wali Kota Tangerang nonaktif Arief R Wismansyah yang membuka peluang pemanfaatan teknologi ini seluas-luasnya untuk pembangunan di Kota Tangerang, melalui jalinan kerja sama dengan BPPT.

"Teknologi ini bisa kita aplikasikan dalam kebutuhan pembangunan di Kota Tangerang, dan memberikan solusi bagi penanganan persoalan perkotaan yang ada," ungkap Arief, kepada KORAN SINDO.

Lebih lanjut, Arief menunjuk dinas terkait yang banyak memanfaatkan teknologi itu untuk pembangunan kota, yakni Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Sumber Daya Air (SDA). Salah satu proyek pembangunan yang sedang digarap dinas ini dengan menggunakan teknologi geolistrik adalah pembangunan jembatan. Terutama untuk mengetahui lapisan tanah dasarnya.

Menurut Kepala Dinas PUPR dan SDA Kota Tangerang Nana Trisyana, teknologi ini sangat penting digunakan untuk meneliti struktur tanah agar mendapatkan profil lapisan tanah dasar (sub bottom profile). "Sehingga sangat membantu proses investigasi tanah pembangunan jembatan. Jadi, sebelum dilakukan pengeboran, kita gunakan teknologi geolistrik ini untuk mengetahui lapisan tanahnya," jelasnya.

Dalam sejumlah kasus, sebelum memakai teknologi geolistrik, pengeboran tanah sering salah alamat. Alhasil, tanah menjadi rusak dan harus harus dilakukan pengeboran ulang, serta menambah biaya. Selain membuang-buang tenaga, sistem pengeboran dengan cara manual ini tidak memiliki tingkat keakuratan yang pasti. Meski demikian, bukan berarti pengeboran seperti ini menjadi tidak berguna lagi.

Sebaliknya, teknologi makin melengkapi sistem pengeboran yang ada. Bahkan, menyempurnakannya. Dari yang tadinya rawan terjadi kesalahan, menjadi minus kesalahan pada proses pengeboran. "Karena salah beberapa titik saja, hasilnya bisa jadi kurang akurat. Apalagi jarak satu meter saja karakter tanah sudah beda. Teknologi ini memungkinkan memindai struktur tanah secara tepat," sambungnya.

Dengan kekerasan yang dibutuhkan, maka bencana longsor atau amblas pada pencanangan tiang bangunan, bisa lebih dihindari dan diminimalisir. Hal inilah yang sangat dibutuhkan dari teknologi ini. "Teknologi ini cocok digunakan di daerah yang struktur tanahnya didominasi lapisan aluvial tebal (lempung) seperti di wilayah Priuk, Kawasan Kali Ledug, dan yang ada di sepanjang Sungai Cisadane," imbuhnya.

Namun, tidak hanya itu, di semua wilayah Kota Tangerang yang kedalaman tanahnya biasa ditemukan di kedalaman 25-30 meter ini, teknologi geolistik bisa digunakan di hampir semua wilayah. Hal itu diungkapkan Staf Bidang Perencanaan Teknis pada Dinas PUPR Kota Tangerang Alphatora. Dia bahkan mengatakan, teknologi ini digunakan jauh sebelum ada kerja sama dengan BPPT.

"Teknologi geolistrik ini sudah digunakan 2-3 tahun lalu, untuk sumur resapan. Posisi kedalaman air di mana. Ke depan, dipakai untuk penggambaran lapisan tanah pembangunan jembatan," jelasnya.

Pembuatan sumur resapan air atau biopori tersebut telah tersebar di 13 kecamatan di Kota Tangerang. Jumlah lubang biopori yang dibuat dengan teknologi ini, totalnya sudah mencapai ratusan lubang. Selain untuk pembuatan sumur resapan, teknologi ini juga sudah digunakan untuk perencanaan pembangunan elevated busway Koridor 13 Ciledug-Tendean, di sepanjang Jalan Cokroaminoto, Ciledug.

"Teknologi ini sudah kita pakai untuk perencanaan elevated busway, sepanjang Jalan Cokroaminoto. Pengeboran untuk mengecek kekuatan struktur tanah sudah dilakukan. Ada sekitar 20 titik," jelasnya.

Ke-20 titik geolistik dan boring itu sudah dibuat mulai dari batas wilayah DKI Jakarta sampai dengan CBD Ciledug, dengan jarak 5 Kilometer. Hasilnya, cukup memuaskan dan keakuratannya tinggi. "Ke depan, kita juga akan pakai geolistrik untuk membangun jembatan di Sungai Cisadane. Karena geolistrik bisa mencapai kedalaman tanah hingga 50-100 meter dengan radius 200 meter," tambahnya.

Dari segi biaya, penggunaan teknologi ini juga cukup ringan, hanya Rp1,5 juta per satu titiknya. Sedang sistem boring, Rp500 ribu per meternya dengan minimal pengeboran hingga mencapai 30 meter. "Kelebihan geolistrik mempresentasikan lapisan tanah, dan kita menjadi tahu titik mana saja yang harus dibor. Sedang kelemahannya tidak bisa menggambarkan kekuatan struktur tanah," sambungnya.

Untuk itu, sistem geolistrik melengkapi sistem pengeboran yang ada, dalam perencanaan teknis suatu pembangunan. Pengkombinasian keduanya sangat diperlukan dalam proses pembangunan. "Tapi kita belum punya alat sendiri. Dari segi SDM juga kita belum siap. Kita sedang mengarah ke sana. Karena butuh ahli geofisika untuk menginterpretasikan arus listrik dan lapisan tanah," tukasnya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5676 seconds (0.1#10.140)