Penolakan Reklamasi Soal Tangkapan Ikan Dinilai Tidak Tepat
A
A
A
JAKARTA - Alasan penolakan sejumlah pihak terkait reklamai Pantai Utara Jakarta dinilai tidak kuat. Apalagi, jika argumen tersebut didasarkan pada isu penyempitan wilayah tangkapan ikan.
Ketua Indonesian Land Reclamation & Water Management Institute (ILWI) Sawarendro menjelaskan, para nelayan selama ini mengeluhkan semakin kecilnya daerah tangkapan ikan di Teluk Jakarta akibat pembangunan pulau reklamasi. Padahal, Teluk Jakarta sudah lama tidak menjadi lumbung ikan bagi para nelayan akibat pencemaran berat.
"Ada pernyataan nelayan yang kurang tepat. Di Teluk Jakarta sudah sangat sedikit sekali ikan. Wilayah penangkapan ikan justru berada di luar perairan Laut Jawa. Jadi lebih jauh lagi dari Teluk Jakarta," ujar Sawarendro, Senin (19/6/2017).
Data Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta yang dirilis melalui situs www.data.jakarta.go.id memperlihatkan, sampai akhir 2014, sebanyak 85% perairan Teluk Jakarta sudah tercemar sedang hingga berat. Hanya 15% bagian dari Teluk Jakarta yang pencemarannya sangat ringan sampai ringan.
Penelitian Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta bersama Japan International Cooperation Agency (JICA) mencatat air limbah domestik berkontribusi 75% terhadap pencemaran Teluk Jakarta. Adapun perkantoran dan daerah komersial menyumbang 15%, serta industri 10 persen.
Sawarendro menambahkan, alasan lain yang tidak tepat adalah isu akses nelayan. Menurut dia, akses nelayan terbuka kendati ada pembangunan pulau reklamasi.
"Nelayan Kamal, Muara Angke, dan Cilincing tetap ada jalur dari tempat mereka. Jadi tidak mengganggu perjalanan mereka. Aksesnya pun cukup lebar sekitar 300 meter," kata Sawarendro.
Penolakan terhadap proyek reklamasi, lanjut Sawarendro, justru akan merugikan nelayan sendiri. Pembangunan 17 pulau reklamasi akan turut memperbaiki ekosistem perairan Teluk Jakarta dan memberikan nilai tambah bagi para nelayan.
Pakar dari Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung (ITB), Hernawan Mahfudz, mengatakan pembangunan proyek reklamasi dapat membuka lapangan pekerjaan baru. "Jangan sampai hanya ingin diberhentikan saja tanpa memikirkan kepentingan-kepentingan lain. Jadi harus dipikirkan secara komprehensif," ujar Hernawan.
Ketua Indonesian Land Reclamation & Water Management Institute (ILWI) Sawarendro menjelaskan, para nelayan selama ini mengeluhkan semakin kecilnya daerah tangkapan ikan di Teluk Jakarta akibat pembangunan pulau reklamasi. Padahal, Teluk Jakarta sudah lama tidak menjadi lumbung ikan bagi para nelayan akibat pencemaran berat.
"Ada pernyataan nelayan yang kurang tepat. Di Teluk Jakarta sudah sangat sedikit sekali ikan. Wilayah penangkapan ikan justru berada di luar perairan Laut Jawa. Jadi lebih jauh lagi dari Teluk Jakarta," ujar Sawarendro, Senin (19/6/2017).
Data Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta yang dirilis melalui situs www.data.jakarta.go.id memperlihatkan, sampai akhir 2014, sebanyak 85% perairan Teluk Jakarta sudah tercemar sedang hingga berat. Hanya 15% bagian dari Teluk Jakarta yang pencemarannya sangat ringan sampai ringan.
Penelitian Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta bersama Japan International Cooperation Agency (JICA) mencatat air limbah domestik berkontribusi 75% terhadap pencemaran Teluk Jakarta. Adapun perkantoran dan daerah komersial menyumbang 15%, serta industri 10 persen.
Sawarendro menambahkan, alasan lain yang tidak tepat adalah isu akses nelayan. Menurut dia, akses nelayan terbuka kendati ada pembangunan pulau reklamasi.
"Nelayan Kamal, Muara Angke, dan Cilincing tetap ada jalur dari tempat mereka. Jadi tidak mengganggu perjalanan mereka. Aksesnya pun cukup lebar sekitar 300 meter," kata Sawarendro.
Penolakan terhadap proyek reklamasi, lanjut Sawarendro, justru akan merugikan nelayan sendiri. Pembangunan 17 pulau reklamasi akan turut memperbaiki ekosistem perairan Teluk Jakarta dan memberikan nilai tambah bagi para nelayan.
Pakar dari Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung (ITB), Hernawan Mahfudz, mengatakan pembangunan proyek reklamasi dapat membuka lapangan pekerjaan baru. "Jangan sampai hanya ingin diberhentikan saja tanpa memikirkan kepentingan-kepentingan lain. Jadi harus dipikirkan secara komprehensif," ujar Hernawan.
(whb)