GNPF MUI Minta Wujudkan Pilgub DKI Tanpa Politik Uang
A
A
A
JAKARTA - Jelang pencoblosan Rabu 19 April 2017, kedua pasangan Cagub-Cawagub DKI Jakarta makin menarik perhatian masyarakat. Saat ini, waktunya masyarakat menimbang di antara kedua pasangan calon (paslon).
Dua paslon itu adalah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Rasyid Baswedan-Anies Salahuddin Uno.
"Partisipasi aktif masyarakat memiliki otoritas yang menentukan, apakah seseorang capable (layak) atau tidak untuk diberikan amanah memimpin DKI Jakarta kedepannya," kata salah seorang anggota Tim Advokasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) Kapitra Ampera kepada SINDOnews, Senin (17/4/2017).
Kapitra menambahkan, Pilgub merupakan implementasi dan true evidence, bahwa demokrasi memang telah menjadi bagian dari budaya yang mengakar dalam struktur pemerintahan yang berkedaulatan rakyat serta mengindikasikan masyarakat siap menjalankan bentuk sederhana dari suatu metodologi politik.
Mengadaptasi mekanisme sistem yang demokratis dalam pemilihan sosok pemimpin politik, dengan melakukan penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik, yaitu individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif untuk meraih suara.
Pada hakikatnya, lanjut Kapitra, pilgub merupakan esensi hak asasi manusia dalam menetapkan pemimpinnya. "Mendepiksikan keikutsertaan rakyat dalam menentukan alur pemerintahan daerah secara langsung ataupun tidak langsung, melalui seorang Gubernur dan Wakil Gubernur yang terpilih nantinya, yaitu yang dapat mewujudkan kebutuhan dan kehendak rakyat," jelas Kapitra.
"Maka, rakyat diberikan kebebasan dalam menentukan pilihannya secara mandiri, tanpa ada paksaan dan intimidasi, tanpa money politics serta iming-iming apapun yang akan mendistorsi makna demokrasi," tegasnya.
Dua paslon itu adalah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Rasyid Baswedan-Anies Salahuddin Uno.
"Partisipasi aktif masyarakat memiliki otoritas yang menentukan, apakah seseorang capable (layak) atau tidak untuk diberikan amanah memimpin DKI Jakarta kedepannya," kata salah seorang anggota Tim Advokasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) Kapitra Ampera kepada SINDOnews, Senin (17/4/2017).
Kapitra menambahkan, Pilgub merupakan implementasi dan true evidence, bahwa demokrasi memang telah menjadi bagian dari budaya yang mengakar dalam struktur pemerintahan yang berkedaulatan rakyat serta mengindikasikan masyarakat siap menjalankan bentuk sederhana dari suatu metodologi politik.
Mengadaptasi mekanisme sistem yang demokratis dalam pemilihan sosok pemimpin politik, dengan melakukan penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik, yaitu individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif untuk meraih suara.
Pada hakikatnya, lanjut Kapitra, pilgub merupakan esensi hak asasi manusia dalam menetapkan pemimpinnya. "Mendepiksikan keikutsertaan rakyat dalam menentukan alur pemerintahan daerah secara langsung ataupun tidak langsung, melalui seorang Gubernur dan Wakil Gubernur yang terpilih nantinya, yaitu yang dapat mewujudkan kebutuhan dan kehendak rakyat," jelas Kapitra.
"Maka, rakyat diberikan kebebasan dalam menentukan pilihannya secara mandiri, tanpa ada paksaan dan intimidasi, tanpa money politics serta iming-iming apapun yang akan mendistorsi makna demokrasi," tegasnya.
(mhd)