KPU Minta Warga Cermat Sikapi Hasil Quick Count
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat diajak untuk cermat dalam menyikapi hasil hitung cepat (quick count) yang disajikan sejumlah lembaga survei usai pemungutan suara pemilihan kepala daerah (pilkada) 2017. Dibutuhkan kesabaran dari masyarakat untuk menunggu hasil penghitungan manual yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sesuai jadwal yang telah ditetapkan.
Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengingatkan hitung cepat bukan hasil penghitungan resmi penyelenggara. Menurut Ferry, lembaga pelaksana hitung cepat juga harus menyampaikan hal tersebut ke publik sebagai bentuk pertanggung jawaban.
“Mereka harus menyatakan bahwa hitung cepat hanya bersifat perkiraan dan bukan hasil resmi KPU,” ujar Ferry di Jakarta pada Selasa, 14 Februari 2017 kemarin.
Ferry menuturkan, lembaga penyelenggara hitung cepat juga berkewajiban menyampaikan informasi kepada publik tentang sumber dana dan metodologi yang digunakan. Selain itu yang terpenting lembaga survei hanya diperbolehkan menyiarkan hasil hitung cepatnya dua jam setelah TPS ditutup dimasing-masing daerah penyelenggara pilkada.
“Mereka juga harus berizin serta berbentuk lembaga penyiaran dan lembaga survei yang telah memperoleh izin dari KPU,” tutur Ferry.
Sebagaimana diketahui KPU bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KIP) telah membuat pedoman gugus tugas pengawasan dan pemantauan pemberitaan penyiaran dan kampanye pilkada.
Dalam pengaturannya disebutkan tentang tata cara hitung cepat yang harus ditaati oleh lembaga survei maupun lembaga penyiaran. “Dan yang perlu diingat bahwa hitung cepat bagian dari aktivitas partisipasi masyarakat dalam pilkada,“ tambah Ferry.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR) Masykurudin Hafidz mengatakan, hitung cepat pada dasarnya merupakan ruang kontrol dari masyarakat untuk mengetahui hasil objektif yang nanti disampaikan penyelenggara pemilihan. Hitung cepat juga bisa menjadi pertimbangan bagi publik dalam mengetahui calon pemimpin yang terpilih nanti.
“Tapi catatannya kalau hasilnya sama, kalau bedanya tidak jauh,” ujar Masykurudin. Namun yang menjadi persoalan, lanjut dia, ketika banyaknya lembaga survei yang melaksanakan hitung cepat memunculkan hasil pilkada yang berbeda.
Apalagi jika perbedaan itu cukup signifikan dan memunculkan juara yang berbeda. “Kalau bedanya jauh bahkan kemenangan beda-beda maka itu akan memicu ketegangan baru,” ucap Masykurudin.
Berbeda ketika banyaknya lembaga survei yang melaksanakan hitung cepat namun menampilkan hasil yang beda tipis. Maka menurut Masykurudin ada saling korektif antara lembaga yang melaksanakan aktivitas ilmiah tersebut.
“Tapi memang kalau ada perbedaan hitung cepat yang perlu diutamakan adalah pemahaman masyarakat bahwa ini bukan hasil akhir dan hanya jadi salah satu pengantar,” tutur Masykurudin.
Masykurudin menyarankan guna meminimalisir kebingungan dimasyarakat terkait hasil hitung cepat yang berbeda, maka data pembanding berupa hasil hitung manual bisa dilakukan. Salah satunya dengan memanfaatkan dokumen C1 yang ditampilkan oleh penyelenggara melalui sistem informasi penghitungan.
Masykurudin juga mengatakan, sesungguhnya peran Bawaslu dalam mendukung dan membantu penyampaian hasil pilkada sangat besar. Mereka yang mempunyai pengawas ditiap TPS bisa dengan mudah mengirimkan data yang dimilikinya untuk dihitung secara manual dan jadi data nyata yang didapat dilapangan.
“Kalau dia bisa dokumentasikan dokumen C1, dianalisis dan dikumpulkan maka bisa jadi alat pembanding dan akurat,” tambahnya.
Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengingatkan hitung cepat bukan hasil penghitungan resmi penyelenggara. Menurut Ferry, lembaga pelaksana hitung cepat juga harus menyampaikan hal tersebut ke publik sebagai bentuk pertanggung jawaban.
“Mereka harus menyatakan bahwa hitung cepat hanya bersifat perkiraan dan bukan hasil resmi KPU,” ujar Ferry di Jakarta pada Selasa, 14 Februari 2017 kemarin.
Ferry menuturkan, lembaga penyelenggara hitung cepat juga berkewajiban menyampaikan informasi kepada publik tentang sumber dana dan metodologi yang digunakan. Selain itu yang terpenting lembaga survei hanya diperbolehkan menyiarkan hasil hitung cepatnya dua jam setelah TPS ditutup dimasing-masing daerah penyelenggara pilkada.
“Mereka juga harus berizin serta berbentuk lembaga penyiaran dan lembaga survei yang telah memperoleh izin dari KPU,” tutur Ferry.
Sebagaimana diketahui KPU bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KIP) telah membuat pedoman gugus tugas pengawasan dan pemantauan pemberitaan penyiaran dan kampanye pilkada.
Dalam pengaturannya disebutkan tentang tata cara hitung cepat yang harus ditaati oleh lembaga survei maupun lembaga penyiaran. “Dan yang perlu diingat bahwa hitung cepat bagian dari aktivitas partisipasi masyarakat dalam pilkada,“ tambah Ferry.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR) Masykurudin Hafidz mengatakan, hitung cepat pada dasarnya merupakan ruang kontrol dari masyarakat untuk mengetahui hasil objektif yang nanti disampaikan penyelenggara pemilihan. Hitung cepat juga bisa menjadi pertimbangan bagi publik dalam mengetahui calon pemimpin yang terpilih nanti.
“Tapi catatannya kalau hasilnya sama, kalau bedanya tidak jauh,” ujar Masykurudin. Namun yang menjadi persoalan, lanjut dia, ketika banyaknya lembaga survei yang melaksanakan hitung cepat memunculkan hasil pilkada yang berbeda.
Apalagi jika perbedaan itu cukup signifikan dan memunculkan juara yang berbeda. “Kalau bedanya jauh bahkan kemenangan beda-beda maka itu akan memicu ketegangan baru,” ucap Masykurudin.
Berbeda ketika banyaknya lembaga survei yang melaksanakan hitung cepat namun menampilkan hasil yang beda tipis. Maka menurut Masykurudin ada saling korektif antara lembaga yang melaksanakan aktivitas ilmiah tersebut.
“Tapi memang kalau ada perbedaan hitung cepat yang perlu diutamakan adalah pemahaman masyarakat bahwa ini bukan hasil akhir dan hanya jadi salah satu pengantar,” tutur Masykurudin.
Masykurudin menyarankan guna meminimalisir kebingungan dimasyarakat terkait hasil hitung cepat yang berbeda, maka data pembanding berupa hasil hitung manual bisa dilakukan. Salah satunya dengan memanfaatkan dokumen C1 yang ditampilkan oleh penyelenggara melalui sistem informasi penghitungan.
Masykurudin juga mengatakan, sesungguhnya peran Bawaslu dalam mendukung dan membantu penyampaian hasil pilkada sangat besar. Mereka yang mempunyai pengawas ditiap TPS bisa dengan mudah mengirimkan data yang dimilikinya untuk dihitung secara manual dan jadi data nyata yang didapat dilapangan.
“Kalau dia bisa dokumentasikan dokumen C1, dianalisis dan dikumpulkan maka bisa jadi alat pembanding dan akurat,” tambahnya.
(whb)