Ini Empat Dasar Gugatan Warga Bidara Cina Soal SK Gubernur
A
A
A
JAKARTA - Ada dempat dasar yang menjadi gugatan warga Bidara Cina, Tebet, Jakarta Selatan terkait SK yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok). Salah satunya, masalah luas area yang akan dijadikan sodetan untuk mengalirkan air dari sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur yang berubah lebih besar.
"Saya mau kasih tahu saja. Sebenarnya dasar Keberatan warga terhadap SK Gubernur No 2779 Tahun 2015 ada empat poin secara garis besar," kata Astri kepada Sindonews saat ditemui di rumahnya, Kamis (28/4/2016).
Pertama, lanjut Astri, SK tersebut mengubah SK Gubernur yang tahun 2014 dari luas hanya 6.035 meter persegi berubah menjadi 10.375 meter persegi. "Perubahannya hampir 60 persen dari sebelumnya dan ini tidak ada kajiannya," tambahnya.
Seharusnya, perubahan tersebut tidak diawali dengan konsultasi publik kepada masyarakat. Pemprov DKI atau Balai Besar Ciliwung Cisadane sebagai pemilik proyek bisa menjelaskan kepada masyarakat mengenai penambahan luas yang ada di lokasi. (Baca: Warga Bidara Cina Kalahkan Ahok di PTUN)
Kedua, lanjutnya, warga bertanya soal cara relokasi dan kompensasi sebelum SK dikeluarkan tapi tidak ada jawaban sama sekali. "Setelah SK di keluarkan, Pemerintah Provinsi sama sekali tidak ada pemberitahuan," urainya.
Berikutnya, Astri membeberkan bagaimana warga keberatan dengan tidak adanya pemberitahuan isi SK baru itu. "Kita mencari di internet hanya ada SK-nya. Sementara peta wilayah terdampaknya itu tidak ada, kita cari kemana-mana tidak ada," terangnya.
Warga pun kebingungan lantaran diminta mencari ke biro hukum dan biro umum soal peta wilayah terdampak. "Kami terus dipingpong oleh petugas saat menelusuri peta terdampak, dari biro hukum ke biro umum hingga ke dina tata kota," terangnya.
Ironisnya, lanjut Astri, warga baru dapat peta terdampak dari dinas tata kota setelah mereka mengajukan gugatan ke PTUN. "Jadi pokoknya kalau masyarakat ditanya batasan lahan yang mau digusur, kita enggak tahu dan mau dibangun apa di lahan itu," tegasnya.
Poin keempat atau terakhir, soal analisis dampak lingkungan (Amdal) yang masih banyak masalah. Ada dua masalah yang terdapat dalam amdal tersebut. Satu, disebutkan di RW 04 hanya satu RT yang terkena dampak.
"Tapi di lapangan Pemprov DKI ingin mengukur seluruh RW. Satu RW itu ada 10 RT, setelah kita protes baru diturunin tapi jadi enam RT. Nah, di Amdal kan hanya satu RT yangterdmpak, kami jadi bertanya-tanya yang lima RT ini mau diapakan sama Pemprov," jelasnya.
Masalah kedua yang terdapat dalam amdal yakni soal konsultasi publik. "Konsultasi publik itu kan menjelaskan latar belakang proyek, lokasinya seperti apa? Dampak sosial dan budayanya seperti apa? Ini adanya hanya di SK yang tahun 2014 itu," katanya.
Sedangkan SK Gubernur No 2779 Tahun 2015 itu sama sekali tidak ada amdalnya dan digugat warga hingga dimenangkan PTUN Jakarta. "Kami mengajukan gugatan ke PTUN pada 15 Maret 2016 dan baru diputus pada Senin 25 April 2016. Sykurnya kami menang," tutupnya.
"Saya mau kasih tahu saja. Sebenarnya dasar Keberatan warga terhadap SK Gubernur No 2779 Tahun 2015 ada empat poin secara garis besar," kata Astri kepada Sindonews saat ditemui di rumahnya, Kamis (28/4/2016).
Pertama, lanjut Astri, SK tersebut mengubah SK Gubernur yang tahun 2014 dari luas hanya 6.035 meter persegi berubah menjadi 10.375 meter persegi. "Perubahannya hampir 60 persen dari sebelumnya dan ini tidak ada kajiannya," tambahnya.
Seharusnya, perubahan tersebut tidak diawali dengan konsultasi publik kepada masyarakat. Pemprov DKI atau Balai Besar Ciliwung Cisadane sebagai pemilik proyek bisa menjelaskan kepada masyarakat mengenai penambahan luas yang ada di lokasi. (Baca: Warga Bidara Cina Kalahkan Ahok di PTUN)
Kedua, lanjutnya, warga bertanya soal cara relokasi dan kompensasi sebelum SK dikeluarkan tapi tidak ada jawaban sama sekali. "Setelah SK di keluarkan, Pemerintah Provinsi sama sekali tidak ada pemberitahuan," urainya.
Berikutnya, Astri membeberkan bagaimana warga keberatan dengan tidak adanya pemberitahuan isi SK baru itu. "Kita mencari di internet hanya ada SK-nya. Sementara peta wilayah terdampaknya itu tidak ada, kita cari kemana-mana tidak ada," terangnya.
Warga pun kebingungan lantaran diminta mencari ke biro hukum dan biro umum soal peta wilayah terdampak. "Kami terus dipingpong oleh petugas saat menelusuri peta terdampak, dari biro hukum ke biro umum hingga ke dina tata kota," terangnya.
Ironisnya, lanjut Astri, warga baru dapat peta terdampak dari dinas tata kota setelah mereka mengajukan gugatan ke PTUN. "Jadi pokoknya kalau masyarakat ditanya batasan lahan yang mau digusur, kita enggak tahu dan mau dibangun apa di lahan itu," tegasnya.
Poin keempat atau terakhir, soal analisis dampak lingkungan (Amdal) yang masih banyak masalah. Ada dua masalah yang terdapat dalam amdal tersebut. Satu, disebutkan di RW 04 hanya satu RT yang terkena dampak.
"Tapi di lapangan Pemprov DKI ingin mengukur seluruh RW. Satu RW itu ada 10 RT, setelah kita protes baru diturunin tapi jadi enam RT. Nah, di Amdal kan hanya satu RT yangterdmpak, kami jadi bertanya-tanya yang lima RT ini mau diapakan sama Pemprov," jelasnya.
Masalah kedua yang terdapat dalam amdal yakni soal konsultasi publik. "Konsultasi publik itu kan menjelaskan latar belakang proyek, lokasinya seperti apa? Dampak sosial dan budayanya seperti apa? Ini adanya hanya di SK yang tahun 2014 itu," katanya.
Sedangkan SK Gubernur No 2779 Tahun 2015 itu sama sekali tidak ada amdalnya dan digugat warga hingga dimenangkan PTUN Jakarta. "Kami mengajukan gugatan ke PTUN pada 15 Maret 2016 dan baru diputus pada Senin 25 April 2016. Sykurnya kami menang," tutupnya.
(ysw)