Penerapan Sistem Ganjil Genap, Butuh Supervisi dan Sanksi Maksimal

Rabu, 31 Agustus 2016 - 04:35 WIB
Penerapan Sistem Ganjil Genap, Butuh Supervisi dan Sanksi Maksimal
Penerapan Sistem Ganjil Genap, Butuh Supervisi dan Sanksi Maksimal
A A A
JAKARTA - Warga Jakarta menaruh harapan besar agar masalah kemacetan bisa segera terurai. Pemprov pun seolah tak patah arang berupaya mengurai benang kusut tersebut dengan menerapkan segala cara.

Kelar dengan kebijakan three in one, kini mulai diterapkan pembatasan kendaraan bermotor melalui mekanisme ganjil-genap pelat nomor kendaraan. Mampukah memberikan solusi?

Satu bulan sudah sosialisasi sekaligus uji coba penerapan sistem ganjil-genap di beberapa titik jalan protokol ibukota diterapkan. Sepanjang masa tersebut, para pengguna jalan yang semula dibatasi dengan aturan three in one, kini hanya bisa melintas jika pelat nomor kendaraan sesuai dengan tanggal yang berlaku.

Pengguna plat nomor kendaraan genap hanya bisa melalui jalan di tanggal genap. Begitupun sebaliknya.

Selesai dengan masa uji coba, per hari Selasa 30 Agustus 2016, Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta resmi memberlakukan program ganjil genap dan dengan disertai sanksi.

Keputusan keberlanjutan ini disambut masyarakat dengan berbagai reaksi. Ada yang mendukung, ada pula yang menolak. Dalam hasil jajak pendapat Litbang Koran SINDO, tergambar ada sebanyak 63% yang mendukung program lanjutan ini. Sementara 37% lainnya menolak. (Lihat tabel).

Penerapan Sistem Ganjil Genap, Butuh Supervisi dan Sanksi Maksimal


Mendukung karena sebagian responden melihat potensi program bisa berjalan efektif, asalkan diikuti dengan aturan yang tegas. Sementara mereka yang berada pada kubu menolak beralasan aturan ini tidak akan berjalan efektif lantaran penerapan law enforcement yang masih rendah di Indonesia.

Kenyataaannya, pada masa uji coba memang belum ada hasil signifikan yang diperoleh. Mayoritas responden menilai tingkat kemacetan di jalan-jalan protokol yang menerapkan sistem ini masih tinggi. (lihat tabel) Banyak ditemukan pelanggaran oleh pengemudi.

Petugas juga seolah tidak kuasa untuk membendung berbagai pelanggaran tersebut lantaran jumlah personel yang minim. Hal tersebut mengindikasikan, masalah pengawasan dan jenis sanksi masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Pemprov jika program ini akan berlanjut. Sanksi yang tepat menjadi kunci efektivitas program ini. Begitupun masalah pengawasan.

Hasil jajak pendapat kali ini juga berupaya untuk membidik jenis-jenis hukuman yang dianggap efektif versi responden. Hasilnya, mayoritas responden menyatakan hukuman denda dinilai yang paling efektif. Selain itu, hukuman melalui penahanan surat-surat kendaraan juga dianggap ampuh untuk membuat jera.

Menariknya, ada sebagian responden yang mendukung publikasi terbuka identitas pelanggar di media sosial sebagai sanksi yang paling efektif. Kekuatan media sosial dalam memengaruhi opini publik bisa menjadi pukulan telak bagi pelanggar. Bahkan. lebih ekstrem lagi, ada juga yang mendukung hukuman kurungan.

Solusi yang Terintegrasi

Kemacetan di daerah Ibu kota telah menjadi masalah klasik dengan kecenderungan yang semakin mengkhawatirkan. Berbagai solusi, seperti penerapan jalur 3 in 1, menerapkan jalur khusus bus, serta penambahan jalan tol telah dilakukan. Namun, persoalan belum terselesaikan juga.

Penerapan solusi yang terpilah-pilah, tidak sistematis, dan tidak kontinu dinilai menjadi penyebab atas kondisi ini. Hasil jajak pendapat Koran SINDO menginventaris beberapa solusi yang diajukan para responden.

Selain pembatasan pemakaian kendaraan pribadi melalui mekanisme ganjil genap, penggalakkan penggunaan transportasi masal perlu dilakukan.

Samuel Pratama, warga Jakarta Barat memaparkan, agar Pemprov DKI Jakarta, tidak mendapatkan pekerjaan rumah yang semakin banyak, maka transportasi publik harus segera dibenahi. “Kalau angkutan umum sudah nyaman, tepat waktu dan terintegrasi, saya yakin, tidak disuruh pun, pasti pengguna jalan lebih memilih memakai kendaraan umum. Jadi Jakarta bisa bebas macet,” tuturnya,

Selain itu, wacana soal penambahan dan perbaikan infrastruktur juga mencuat. Muncul pula wacana soal pembatasan kendaraan bermotor melalui electronic road pricing (ERP) serta mengembalikan program three in one.

Namun, yang terpenting, dari semua solusi yang dimunculkan diperlukan kerjasama yang baik dari semua pihak. Pembuat kebijakan perlu menerapkan semua aturan secara tegas dan konsisten. Begitupun masyarakat pengguna jalan perlu memiliki kesadaran hukum yang tinggi.

“Percuma mau pakai solusi apapun kalau dari kitanya tidak punya kesadaran hukum. Aparatnya juga harus konsisten, yang salah harus ditindak. Jangan ada katabelece, “ tutur Boy, karyawan swasta beropini. (Nanda Nurwantoro/Wiendy H)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4236 seconds (0.1#10.140)