Polusi Akibatkan Kematian 4,5 Kali Lebih Tinggi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pencemaran udara atau polusi bukan masalah baru bagi warga Indonesia, khususnya bagi mereka yang tinggal di Ibu Kota. Pencemaran udara ini sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Berdasarkan data yang didapatkan oleh Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), terdapat 58,3% warga Jakarta yang menderita penyakit akibat pencemaran udara. Tak dipungkiri, polusi udara berpotensi membahayakan kesehatan. Namun, masih banyak orang yang seolah menyepelekan bahaya polusi udara.
"Banyak orang tidak menyadari jika pencemaran udara sudah sangat parah. Penyakit yang ditimbulkan pun cukup banyak," kata Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin. (Baca: Ini Empat Cara BPK Kendalikan Polusi Transportasi Darat di Jakarta)
Ahmad mengatakan, penggunaan masker saja tidak cukup untuk mengurangi dampak polusi yang terhirup. Cara terbaik untuk mengurangi polusi adalah dengan menyediakan ruang terbuka hijau.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sembilan dari 10 orang di dunia saat ini menghirup udara yang tercemar. Polusi udara membunuh sekitar 7 juta orang setiap tahunnya. Polusi udara menimbulkan efek kesehatan yang serius, sepertiga kematian diakibatkan stroke, kanker, paru-paru, dan penyakit jantung.
Spesialis paru, dr Erlang Samoedro mengatakan, kualitas udara yang buruk berbahaya untuk kesehatan tubuh terutama penyakit yang berhubungan dengan sistem pernapasan. "Hampir semua penyakit terkait sistem respirasi akan meningkat karena efeknya langsung," jelasnya.
Penyakit respirasi itu meliputi asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), hingga infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Penyakit ini muncul karena polusi udara masuk ke saluran napas dan menempel di dinding saluran. Jika menempel terlalu lama, polusi udara dapat menimbulkan peradangan yang membuat epitel pelapis saluran napas rusak.
"Epitel ini berfungsi untuk melindungi saluran napas. Ketika rusak, ini membuat daya tahan tubuh melemah. Bakteri dan virus dengan gampang masuk ke dalam tubuh sehingga terjadilah infeksi," papar Erlang yang merupakan dokter di RSUP Persahabatan.
Selain efek langsung seperti gangguan sistem pernapasan, polusi udara juga dapat menimbulkan efek kronik atau jangka panjang. "Jika lama-lama akan menimbulkan efek kronik juga, misalnya kematian karena jantung," tambah Erlang. (Baca juga: Putri Yordania Nikahi Cucu Penulis Inggris yang jadi Mualaf)
Penyakit kardiovaskular dapat muncul karena partikel polusi udara yang sangat kecil dapat masuk menembus pembuluh darah. Partikel udara tersebut masuk melalui corong napas menuju arteri sistemik. Partikel udara ini dapat menyebabkan inflamasi di seluruh tubuh sehingga memicu penyakit kardiovaskular seperti gangguan jantung.
Pakar kesehatan lingkungan Universitas Indonesia Profesor Budi Haryanto menegaskan, polusi udara menyebabkan gangguan penyakit kronis. Itulah yang kemudian terjadi komorbiditas, terlebih lagi pada saat serangan pandemi saat ini tentunya akan menimbulkan keparahan penderita Covid-19.
"Penelitian di Harvard menunjukkan bahwa pasien covid-19 di wilayah tinggi polusi memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan di wilayah rendah polusi," tegasnya.
Beberapa penelitian terbaru menemukan bahwa mereka yang tinggal di wilayah polusi udara tinggi mempunyai risiko 4,5 kali lipat lebih tinggi akan meninggal akibat Covid-19, dibandingkan yang tinggal di wilayah polusi udara rendah. (Baca juga: Rencana Pembelian 8 Unit Osprey untuk Jawab Kebutuhan Alutsista)
Penelitian serupa juga dilakukan di Eropa, termasuk Italia, Prancis, Spanyol, dan Jerman. "European Public Health Alliance menyatakan, polusi udara mengurangi peluang seseorang bertahan hidup dari wabah korona," katanya.
Itulah sebabnya, lanjut Budi, World Health Organization (WHO) mengimbau agar setiap negara memperhatikan faktor risiko polusi udara dan kaitannya terhadap pengendalian Covid-19.
"WHO menyebutkan, negara dengan tingkat polusi udara tinggi seperti Indonesia harus mempertimbangkan faktor risiko polusi udara tersebut dalam persiapan pengendalian Covid-19," ungkapnya.
Berdasarkan penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), polusi udara sangat berdampak terhadap kesehatan masyarakat. Hasil penelitian FKM UI menyebutkan, partikel udara PM2,5 menyebabkan fungsi paru-paru tidak normal kepada 21% warga Tangerang dan 24% warga Makassar.
"Dan harus diingat, ketika fungsi paru sudah terganggu, maka tidak pernah bisa menjadi normal kembali. Tidak pernah bisa sembuh 100%," tegasnya. (Lihat videonya: Kapal Tak Bisa Sandar, Sapi Dilempar ke Laut)
Untuk mengurangi polusi tersebut, menurut dia, pemerintah bisa meningkatkan kualitas udara di antaranya, dengan memperbaiki kualitas bahan bakar minyak (BBM), kualitas mesin, kepadatan lalu lintas, dan lainnya.
"Jika kita estimasi, dengan penggantian BBM standar Euro-4 pada 2017dan diterapkan pada 2018 sesuai aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), maka perbaikan kualitas udara, termasuk penurunan PM 2,5 akan signifikan hingga 2050," katanya.
Untuk mencegah atau mengurangi efek kualitas udara yang buruk ini, disarankan untuk mengurangi aktivitas luar ruangan, menutup akses udara luar, menggunakan pembersih udara (air purifier), dan memakai masker saat berada di luar ruangan. (Aprilia S Andyna)
Berdasarkan data yang didapatkan oleh Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), terdapat 58,3% warga Jakarta yang menderita penyakit akibat pencemaran udara. Tak dipungkiri, polusi udara berpotensi membahayakan kesehatan. Namun, masih banyak orang yang seolah menyepelekan bahaya polusi udara.
"Banyak orang tidak menyadari jika pencemaran udara sudah sangat parah. Penyakit yang ditimbulkan pun cukup banyak," kata Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin. (Baca: Ini Empat Cara BPK Kendalikan Polusi Transportasi Darat di Jakarta)
Ahmad mengatakan, penggunaan masker saja tidak cukup untuk mengurangi dampak polusi yang terhirup. Cara terbaik untuk mengurangi polusi adalah dengan menyediakan ruang terbuka hijau.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sembilan dari 10 orang di dunia saat ini menghirup udara yang tercemar. Polusi udara membunuh sekitar 7 juta orang setiap tahunnya. Polusi udara menimbulkan efek kesehatan yang serius, sepertiga kematian diakibatkan stroke, kanker, paru-paru, dan penyakit jantung.
Spesialis paru, dr Erlang Samoedro mengatakan, kualitas udara yang buruk berbahaya untuk kesehatan tubuh terutama penyakit yang berhubungan dengan sistem pernapasan. "Hampir semua penyakit terkait sistem respirasi akan meningkat karena efeknya langsung," jelasnya.
Penyakit respirasi itu meliputi asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), hingga infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Penyakit ini muncul karena polusi udara masuk ke saluran napas dan menempel di dinding saluran. Jika menempel terlalu lama, polusi udara dapat menimbulkan peradangan yang membuat epitel pelapis saluran napas rusak.
"Epitel ini berfungsi untuk melindungi saluran napas. Ketika rusak, ini membuat daya tahan tubuh melemah. Bakteri dan virus dengan gampang masuk ke dalam tubuh sehingga terjadilah infeksi," papar Erlang yang merupakan dokter di RSUP Persahabatan.
Selain efek langsung seperti gangguan sistem pernapasan, polusi udara juga dapat menimbulkan efek kronik atau jangka panjang. "Jika lama-lama akan menimbulkan efek kronik juga, misalnya kematian karena jantung," tambah Erlang. (Baca juga: Putri Yordania Nikahi Cucu Penulis Inggris yang jadi Mualaf)
Penyakit kardiovaskular dapat muncul karena partikel polusi udara yang sangat kecil dapat masuk menembus pembuluh darah. Partikel udara tersebut masuk melalui corong napas menuju arteri sistemik. Partikel udara ini dapat menyebabkan inflamasi di seluruh tubuh sehingga memicu penyakit kardiovaskular seperti gangguan jantung.
Pakar kesehatan lingkungan Universitas Indonesia Profesor Budi Haryanto menegaskan, polusi udara menyebabkan gangguan penyakit kronis. Itulah yang kemudian terjadi komorbiditas, terlebih lagi pada saat serangan pandemi saat ini tentunya akan menimbulkan keparahan penderita Covid-19.
"Penelitian di Harvard menunjukkan bahwa pasien covid-19 di wilayah tinggi polusi memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan di wilayah rendah polusi," tegasnya.
Beberapa penelitian terbaru menemukan bahwa mereka yang tinggal di wilayah polusi udara tinggi mempunyai risiko 4,5 kali lipat lebih tinggi akan meninggal akibat Covid-19, dibandingkan yang tinggal di wilayah polusi udara rendah. (Baca juga: Rencana Pembelian 8 Unit Osprey untuk Jawab Kebutuhan Alutsista)
Penelitian serupa juga dilakukan di Eropa, termasuk Italia, Prancis, Spanyol, dan Jerman. "European Public Health Alliance menyatakan, polusi udara mengurangi peluang seseorang bertahan hidup dari wabah korona," katanya.
Itulah sebabnya, lanjut Budi, World Health Organization (WHO) mengimbau agar setiap negara memperhatikan faktor risiko polusi udara dan kaitannya terhadap pengendalian Covid-19.
"WHO menyebutkan, negara dengan tingkat polusi udara tinggi seperti Indonesia harus mempertimbangkan faktor risiko polusi udara tersebut dalam persiapan pengendalian Covid-19," ungkapnya.
Berdasarkan penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), polusi udara sangat berdampak terhadap kesehatan masyarakat. Hasil penelitian FKM UI menyebutkan, partikel udara PM2,5 menyebabkan fungsi paru-paru tidak normal kepada 21% warga Tangerang dan 24% warga Makassar.
"Dan harus diingat, ketika fungsi paru sudah terganggu, maka tidak pernah bisa menjadi normal kembali. Tidak pernah bisa sembuh 100%," tegasnya. (Lihat videonya: Kapal Tak Bisa Sandar, Sapi Dilempar ke Laut)
Untuk mengurangi polusi tersebut, menurut dia, pemerintah bisa meningkatkan kualitas udara di antaranya, dengan memperbaiki kualitas bahan bakar minyak (BBM), kualitas mesin, kepadatan lalu lintas, dan lainnya.
"Jika kita estimasi, dengan penggantian BBM standar Euro-4 pada 2017dan diterapkan pada 2018 sesuai aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), maka perbaikan kualitas udara, termasuk penurunan PM 2,5 akan signifikan hingga 2050," katanya.
Untuk mencegah atau mengurangi efek kualitas udara yang buruk ini, disarankan untuk mengurangi aktivitas luar ruangan, menutup akses udara luar, menggunakan pembersih udara (air purifier), dan memakai masker saat berada di luar ruangan. (Aprilia S Andyna)
(ysw)