Integrasi Data dan Inventarisasi Sumber Emisi Perlu Dilakukan di Wilayah Aglomerasi Jakarta
loading...
A
A
A
JAKARTA - Polusi udara di Indonesia menjadi sorotan dalam Indonesia International Sustainability Forum (IISF) 2024 yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, beberapa waktu lalu. Salah satu isu utamanya yakni tidak adanya integrasi data dan inventarisasi sumber emisi yang dapat menjadi dasar dalam kebijakan pengendalian polusi udara.
Saat ini, inventarisasi sumber emisi baru dilakukan di Jakarta, padahal polusi udara bersifat lintas batas dan mempengaruhi kawasan aglomerasi Jakarta yang meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur). Kondisi ini mendorong perlunya pilot project untuk Inventory Emission dan Source Apportionment di kawasan tersebut.
Tanushree Ganguly, Direktur Air Quality Life Index (AQLI) dari Energy Policy Institute di University of Chicago menyampaikan bahwa akses publik terhadap data penting untuk mengawal kebijakan udara bersih.
“Tanpa data dan literasi terhadap data, tidak akan ada kesadaran publik, permintaan kepada pemerintah, dan aksi-aksi udara bersih dari masyarakat. Tanpa masyarakat bergerak, pemerintah tidak akan menghasilkan kebijakan yang berpihak pada perbaikan kualitas udara,” ujar Tanushree, Selasa (10/9/2024).
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Reliantoro menyatakan urgensi terhadap data jangan sampai menjadi noise yang tidak menjadi tindakan.
“Saya usul agar kita memprioritaskan penanganan polusi udara pada daerah-daerah yang sudah teridentifikasi sebagai hotspot seperti Palembang karena kebakaran hutan, ujung Suralaya karena energi, dan area urban greater Jakarta yang lebih kompleks,” ungkap Sigit.
Dia mengusulkan penanganan polusi udara Jakarta bersifat lintas daerah yakni Jabodetabek bahkan Karawang. Penanganan polusi udara di greater Jakarta perlu menjadi perhatian di antaranya dari aspek kebijakan berbasis bukti, perencanaan skenario, ketegasan pada penindakan sumber polusi, serta monitoring dan evaluasi.
Co-Founder Bicara Udara Ratna Kartadjoemena menekankan pentingnya mengadopsi praktik terbaik dari negara-negara lain. "Kita perlu belajar dari pengalaman global dalam mengatasi polusi udara untuk mempercepat implementasi kebijakan udara bersih di Indonesia," ujarnya.
IISF 2024 menjadi momentum penting bagi Indonesia dalam memperkuat komitmen dan kerja sama untuk mengatasi polusi udara. Harapannya dapat menghasilkan solusi yang dapat diterapkan secara efektif di seluruh negeri.
IISF ini juga didukung oleh Bicara Udara sebagai sustainably partner yang mendorong aksi nyata dalam penanganan polusi udara, termasuk edukasi kepada masyarakat serta advokasi kepada para pemangku kepentingan.
Saat ini, inventarisasi sumber emisi baru dilakukan di Jakarta, padahal polusi udara bersifat lintas batas dan mempengaruhi kawasan aglomerasi Jakarta yang meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur). Kondisi ini mendorong perlunya pilot project untuk Inventory Emission dan Source Apportionment di kawasan tersebut.
Tanushree Ganguly, Direktur Air Quality Life Index (AQLI) dari Energy Policy Institute di University of Chicago menyampaikan bahwa akses publik terhadap data penting untuk mengawal kebijakan udara bersih.
“Tanpa data dan literasi terhadap data, tidak akan ada kesadaran publik, permintaan kepada pemerintah, dan aksi-aksi udara bersih dari masyarakat. Tanpa masyarakat bergerak, pemerintah tidak akan menghasilkan kebijakan yang berpihak pada perbaikan kualitas udara,” ujar Tanushree, Selasa (10/9/2024).
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Reliantoro menyatakan urgensi terhadap data jangan sampai menjadi noise yang tidak menjadi tindakan.
“Saya usul agar kita memprioritaskan penanganan polusi udara pada daerah-daerah yang sudah teridentifikasi sebagai hotspot seperti Palembang karena kebakaran hutan, ujung Suralaya karena energi, dan area urban greater Jakarta yang lebih kompleks,” ungkap Sigit.
Dia mengusulkan penanganan polusi udara Jakarta bersifat lintas daerah yakni Jabodetabek bahkan Karawang. Penanganan polusi udara di greater Jakarta perlu menjadi perhatian di antaranya dari aspek kebijakan berbasis bukti, perencanaan skenario, ketegasan pada penindakan sumber polusi, serta monitoring dan evaluasi.
Co-Founder Bicara Udara Ratna Kartadjoemena menekankan pentingnya mengadopsi praktik terbaik dari negara-negara lain. "Kita perlu belajar dari pengalaman global dalam mengatasi polusi udara untuk mempercepat implementasi kebijakan udara bersih di Indonesia," ujarnya.
IISF 2024 menjadi momentum penting bagi Indonesia dalam memperkuat komitmen dan kerja sama untuk mengatasi polusi udara. Harapannya dapat menghasilkan solusi yang dapat diterapkan secara efektif di seluruh negeri.
IISF ini juga didukung oleh Bicara Udara sebagai sustainably partner yang mendorong aksi nyata dalam penanganan polusi udara, termasuk edukasi kepada masyarakat serta advokasi kepada para pemangku kepentingan.
(jon)