Menakar Premanisme

Senin, 29 Juni 2020 - 08:29 WIB
loading...
Menakar Premanisme
Foto: dok/SINDOphoto
A A A
Iqrak Sulhin
Staf Pengajar Departemen Kriminologi FISIP UI

Premanisme adalah cerita lama di Jakarta. Seminggu terakhir ini, cerita tentang premanisme kembali marak. Tepatnya setelah kepolisian menangkap kembali John Kei dan beberapa rekannya atas dugaan aksi premanisme yang mengakibatkan satu orang meninggal dunia di Green Lake City, Cipondoh, Kota Tengerang.

Narasi ‘preman’ dan ‘premanisme’ semakin familiar di telinga publik. Hal ini tidak lepas dari pemberitaan media massa yang berulang-ulang dari tahun ke tahun tentang fenomena ini. Melihat data Polda Metro Jaya (dirujuk dari release akhir tahun), dalam lima tahun terakhir 2015-2019 pemberantasan premanisme memang masuk dalam satu program prioritas.

Dalam rentang waktu tersebut, premanisme dianggap sebagai salah satu kejahatan yang selalu menonjol setiap tahunnya. Pada tahun 2019, Polda Metro Jaya menangkap dan menahan 243 orang yang diduga preman dan pelaku tindak kriminal. Sebelumnya berturut-turut dilakukan penahanan sebanyak 507 orang di 2018, 225 orang di 2017, 397 orang di 2016, dan 95 orang di 2015. (Baca: Kronologis Penyerangan oleh Kelompok John Kei di Tangerang)

Beberapa bentuk kejahatan yang selama ini diidentikkan dengan aksi premanisme adalah kekerasan. Misalnya penyerangan atau penganiayaan, pemalakan, serta pengelolaan sejumlah aktivitas yang sebenarnya tidak diperlukan seperti pengaturan parkir tidak resmi, hingga menyediakan jasa pengamanan.

Preman, Ruang, dan Motif

Dari perspektif kriminologi, terminologi preman dan premanisme dapat di lihat dalam konteks gang hingga kejahatan terorganisir. Dalam studi-studi kejahatan di perkotaan yang berkembang sejak 1920 akhir, gang adalah produk dari disorganisasi yang terjadi di wilayah perkotaan.

Hal yang membedakan gang dengan pelaku kejahatan lainnya terletak pada proses pembentukannya. Kejahatan yang dilakukan secara individual, seperti pencurian, lebih di lihat sebagai adaptasi seseorang ketika dihadapkan dengan kesulitan hidup. Semacam alternatif di dalam mencapai tujuan hidup, namun alternatif yang ilegal.

Sedangkan gang lebih merupakan wujud dari karir sebagai penjahat, sekelompok orang yang sudah menyatakan diri memiliki kejahatan sebagai jalan hidup. Pembentukan gang juga merupakan bentuk adaptasi, namun sebuah adaptasi berbentuk kelompok agar dapat lebih sukses dalam persaingan yang juga terjadi di dalam dunia kriminal. (Baca juga: Fraksi PKS Kecam keras Rencana Israel Caplok Tepi Barat)

Apakah preman yang kita kenal sama dengan fenomena gang bahkan organized crime? Ciri berkelompok dan proses terbentuknya mungkin sama. Hal yang membedakannya dalam konteks Indonesia adalah aktivitas yang dilakukannya. Ian Wilson (2018) di dalam bukunya Politik Jatah Preman, menjelaskan makna preman di Indonesia lebih berkonotasi kriminal. Namun premanisme merupakan pencerminan sebuah ambiguitas antara legalitas dan ilegalitas, yang sebelumnya menjadi ciri dari Orde Baru.

Ada kalanya aktivitas yang dilakukan belum dapat disebut sebagai pelanggaran hukum, meskipun tidak menyenangkan, meresahkan atau merugikan. Premanisme tidak hanya memberikan alternatif dalam mendapatkan kesejahteraan anggotanya, namun juga menjadi sarana solidaritas kelompok. Mengacu pada penelitian Wilson, premanisme memiliki kekuasaan informal tertentu yang pada kelanjutannya dapat dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu, baik ekonomi maupun politik.

Di dalam Handbook of Organized Crime and Politics (Allun dan Gilmour, 2018) dijelaskan, kejahatan yang terorganisir terkadang berwujud sebuah politico-criminal configurations, dimana aktivitas yang dilakukannya, khususnya kekerasan tidak lagi di lihat hanya sebagai anomali, namun merupakan sebuah sumber daya politik.

Konfigurasi politik dan kejahatan ini semakin menyulitkan pengendalian premanisme secara formal melalui penegakan hukum. Relasi dengan kekuasaan politik memberi semacam perlindungan, sebagai imbalan atas keterlibatannya di dalam mendukung kepentingan politik tertentu.

Penelitian yang dilakukan oleh Jerome Tadie (2009) juga memberikan penjelasan mengapa fenomena premanisme ini marak, khususnya di Kota Jakarta. Aspek ruang menjadi perhatian di dalam penelitian yang dilakukannya. Ia berpandangan, kekerasan berkelompok mampu membentuk ruang-ruang di dalam berfungsinya kota. (Baca juga: Terpedaya Cinta Buda, Gadis Belia Jatuh ke Pelukan Duda)

Sebagai contoh, di Jakarta dikenal sejumlah daerah rawan, seperti wilayah Senen atau Tanjung Priok. Profil ini muncul karena keduanya termasuk wilayah dengan frekuensi kejahatan yang tinggi di Jakarta. Profil inipun membentuk cara kota bekerja, seperti dijadikannya kedua wilayah tersebut sebagai hot spot (pusat perhatian) dalam pemolisian dibandingkan wilayah lain. Dalam konteks yang lebih berbahaya, kedua wilayah rawan Jakarta itu dapat dijadikan tempat mengawali kerusuhan dengan provokasi tertentu.

Ian Wilson (2018) menyebut perpindahan orang ke ibu kota negara atau ibu kota provinsi adalah salah satu latar belakang munculnya premanisme ini. Penelitian-penelitian tentang kejahatan di perkotaan di Amerika Serikat mulai 1920-an telah lama membenarkan apa yang dijelaskan oleh Wilson. Termasuk menjelaskan pula mengapa terbentuk ruang-ruang kekerasan (rawan) di perkotaan.

Di dalam concentric zone theory yang diperkenalkan oleh Ernest Burgess tahun 1925 dijelaskan adanya ruang yang mengalami disorganisasi sosial tinggi di perkotaan, yaitu ruang di mana pranata sosial cenderung tidak berfungsi sehingga peristiwa konflik dan kejahatan menjadi relatif tinggi. Ruang ini cenderung kumuh, padat, dan merupakan tempat tinggal pendatang. Di dalam ruang seperti ini gang atau premanisme (seperti yang dipahami di Indonesia) berkembang.

Dari sisi motif, tidak semua gang berorientasi kriminal, dalam arti mendapatkan keuntungan ekonomi dari aktivitas ilegal yang dilakukannya. Ada juga gang yang khusus berorientasi kekerasan, di mana motif kentungan ekonomi tidak lebih utama dari kekerasan yang sering mereka lakukan. Melalui kekerasan reputasi kelompok dibentuk. Di dalam gang selalu ada cerita sukses (success story) dan ketokohan yang menjadi daya tarik tersendiri dalam perekrutan anggota baru. (Baca juga: Ketua ICMI IMbau Presiden-Parpol Cabut RUU HIP dari Prolegnas)

Dalam penelitian di Amerika, kelompok gang terbentuk kadang berdasarkan latar belakang ras atau bangsa, seperti gang Italia, Hispanic, atau Asia. Di Indonesia, beberapa kasus memang mengindikasikan hal ini, di mana kelompok yang didefinisikan sebagai preman berasal dari daerah tertentu di Indonesia. Cerita tentang inipun telah cukup lama. Jerome Tadie (2009), menjelaskan etnis tertentu menguasai kawasan rawan tertentu di Jakarta.

“Menggantang Asap”

Mengendalikan premanisme bukanlah perkara mudah dengan mengingat beberapa hal yang telah dijelaskan sebelumnya. Penegakan hukum, dengan menangkap para preman, relatif tidak akan dapat mengatasi persoalan secara lebih baik. Premanisme memiliki dimensi ekonomi, sebagaimana kejahatan lainnya. Kadang sejumlah aktivitasnya belum dapat dianggap melanggar hukum. Namun adanya kemungkinan premanisme bersimbiosis secara mutual dengan dunia politik, serta adanya dimensi primordial yang memberi dasar bagi ikatan kelompok, membuat fenomena premanisme semakin kompleks. (Lihat videonya; Lima Rumah Warga Terseret Longsor di Palopo)

Tulisan ini tidak bermaksud mengatakan bahwa memberantas premanisme dengan menangkap dan memproses secara hukum adalah sesuatu yang tidak perlu dilakukan. Namun memberantas dengan menangkap, tanpa masuk lebih jauh mengintervensi berbagai hal yang melatarbelakangi munculnya premanisme, hanya akan seperti berusaha menggantang asap. Oleh karenanya, keterpaduan upaya antar banyak pihak diperlukan.

Pengendalian premanisme, serta kejahatan umumnya, memerlukan kebijakan pembangunan sosial dan ekonomi, baik secara nasional maupun lokal. Pemerataan pembangunan akan menjadi isu lain yang terkait. Hingga saat ini, kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta masih dianggap tempat yang menjanjikan untuk kehidupan yang lebih baik. Pandangan ini tidak hanya muncul karena kota besar memang merupakan pusat berbagai aktivitas, namun juga karena terbatasnya akses ekonomi di tempat asal.
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1307 seconds (0.1#10.140)