Bisik-bisik Anggota Brimob yang Keheranan Mantan Kapolri Menangis
loading...
A
A
A
JAKARTA - Saat itu, tanggal 8 Maret 1962 bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri, pasukan Resimen Pelopor Brimob diberangkatkan ke Irian Barat dengan tujuan menaklukkan Belanda. Di tengah upacara pelepasan, mantan Kapolri Jenderal Polisi (Purn) Raden Soekarno Djojonegoro menangis.
Namun, tangisan itu malah ditanggapi anggota Brimob yang siap bertempur ke medan perang dengan penuh keheranan. Sebenarnya Pelopor Brimob siap menyerahkan jiwanya kepada bangsa dengan kemungkinan besar tidak akan pulang.
Baca juga: Anggota Brimob Eksekusi Tokoh Pemberontak dengan Pisau Komando karena Kebal Ditembak
Dikutip dari buku Resimen Pelopor (Edisi Revisi), Pasukan Elite Yang Terlupakan, penulis Anton Agus Setyawan dan Andi M Darlis, Januari 2013, sambil tak kuasa menahan tangis, Jenderal Polisi Soekarno meminta maaf kepada prajurit Resimen Tim Pertempuran (RTP) 1 Brimob karena mereka terpaksa meninggalkan anak, istri, dan orang tua.
Suasana penuh emosional dari sambutan Jenderal Polisi Soekarno justru ditanggapi acuh tak acuh oleh Resimen Pelopor. Banyak anggota pasukan khusus keheranan.
“Kok yang menangis malah Jenderal Soekarno, padahal yang akan berangkat menuju kematian adalah mereka para prajurit rendahan, bukan para jenderal,” ujar Ajun Brigadir Polisi Kartimin yang merupakan salah satu prajurit Resimen Pelopor mengenang suasana keberangkatan ke Irian Barat dengan perasaan biasa saja.
Maklum, mereka menganggap biasa saja tugas tersebut karena prajurit Detasemen III Pelopor saat itu kebanyakan masih lajang.
Pada tahun 1962, genap 6 tahun Kartimin tidak bertemu ayah dan kakak-kakaknya. Ibunya sudah meninggal dunia sejak Kartimin berusia 5 tahun.
Saat itu, dia masih lajang dan yang ada di pikirannya hanyalah berangkat ke medan tempur sebagai bagian dari anggota pasukan khusus. Perasaan ini juga dimiliki sebagian besar anggota Pelopor yang tidak terlalu emosional.
Sebagian besar yang berangkat ke Irian Barat adalah veteran dari beberapa operasi tempur seperti operasi tempur DI/TII di Jawa Barat dan Kalimantan, GOM IV di Sumatera maupun GOM VI di Aceh. Tak heran, mereka sudah terbiasa dengan kemungkinan tidak kembali atau mati dalam penugasan.
Kembali lagi ke Jenderal Polisi Soekarno. Dia menjabat Kapolri pada periode 15 Desember 1959-29 Desember 1963. Soekarno dilantik menjadi Kepala Kepolisian Negara menggantikan Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo.
Baca juga: 3 Jenderal Polisi Pernah Kolaborasi dengan Anies, Nomor 1 Mantan Kapolri
Pada 1960, Kepolisian Negara bergabung dalam ABRI. Kemudian, anak keempat Bupati Banjarnegara Raden Adipati Djojonagoro II itu mencetuskan Catur Prasetya yakni empat janji prajurit kepolisian. Catur Prasetya ini resmi dijadikan pedoman kerja Polri selain Tribrata sebagai pedoman hidup.
Kemudian, tahun 1962 Kepolisian Negara Republik Indonesia berubah nama menjadi Angkatan Kepolisian RI (AKRI).
Soekarno lalu digantikan Jenderal Polisi (Purn) Soetjipto Danoekoesoemo pada 30 Desember 1963. Dia diangkat menjadi Menteri Penasihat Presiden untuk Urusan Dalam Negeri.
Soekarno Djojonegoro memasuki masa pensiun mulai 31 Juli 1966. Soekarno meninggal dunia di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dia meninggalkan istri RA Sukatinah dan lima anak. Sesuai permintaannya, jenazahnya dimakamkan di makam khusus untuk pemakaman keluarga Djojonagoro, Kuwondo Giri di Banjarnegara.
Namun, tangisan itu malah ditanggapi anggota Brimob yang siap bertempur ke medan perang dengan penuh keheranan. Sebenarnya Pelopor Brimob siap menyerahkan jiwanya kepada bangsa dengan kemungkinan besar tidak akan pulang.
Baca juga: Anggota Brimob Eksekusi Tokoh Pemberontak dengan Pisau Komando karena Kebal Ditembak
Dikutip dari buku Resimen Pelopor (Edisi Revisi), Pasukan Elite Yang Terlupakan, penulis Anton Agus Setyawan dan Andi M Darlis, Januari 2013, sambil tak kuasa menahan tangis, Jenderal Polisi Soekarno meminta maaf kepada prajurit Resimen Tim Pertempuran (RTP) 1 Brimob karena mereka terpaksa meninggalkan anak, istri, dan orang tua.
Suasana penuh emosional dari sambutan Jenderal Polisi Soekarno justru ditanggapi acuh tak acuh oleh Resimen Pelopor. Banyak anggota pasukan khusus keheranan.
“Kok yang menangis malah Jenderal Soekarno, padahal yang akan berangkat menuju kematian adalah mereka para prajurit rendahan, bukan para jenderal,” ujar Ajun Brigadir Polisi Kartimin yang merupakan salah satu prajurit Resimen Pelopor mengenang suasana keberangkatan ke Irian Barat dengan perasaan biasa saja.
Maklum, mereka menganggap biasa saja tugas tersebut karena prajurit Detasemen III Pelopor saat itu kebanyakan masih lajang.
Pada tahun 1962, genap 6 tahun Kartimin tidak bertemu ayah dan kakak-kakaknya. Ibunya sudah meninggal dunia sejak Kartimin berusia 5 tahun.
Saat itu, dia masih lajang dan yang ada di pikirannya hanyalah berangkat ke medan tempur sebagai bagian dari anggota pasukan khusus. Perasaan ini juga dimiliki sebagian besar anggota Pelopor yang tidak terlalu emosional.
Sebagian besar yang berangkat ke Irian Barat adalah veteran dari beberapa operasi tempur seperti operasi tempur DI/TII di Jawa Barat dan Kalimantan, GOM IV di Sumatera maupun GOM VI di Aceh. Tak heran, mereka sudah terbiasa dengan kemungkinan tidak kembali atau mati dalam penugasan.
Kembali lagi ke Jenderal Polisi Soekarno. Dia menjabat Kapolri pada periode 15 Desember 1959-29 Desember 1963. Soekarno dilantik menjadi Kepala Kepolisian Negara menggantikan Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo.
Baca juga: 3 Jenderal Polisi Pernah Kolaborasi dengan Anies, Nomor 1 Mantan Kapolri
Pada 1960, Kepolisian Negara bergabung dalam ABRI. Kemudian, anak keempat Bupati Banjarnegara Raden Adipati Djojonagoro II itu mencetuskan Catur Prasetya yakni empat janji prajurit kepolisian. Catur Prasetya ini resmi dijadikan pedoman kerja Polri selain Tribrata sebagai pedoman hidup.
Kemudian, tahun 1962 Kepolisian Negara Republik Indonesia berubah nama menjadi Angkatan Kepolisian RI (AKRI).
Soekarno lalu digantikan Jenderal Polisi (Purn) Soetjipto Danoekoesoemo pada 30 Desember 1963. Dia diangkat menjadi Menteri Penasihat Presiden untuk Urusan Dalam Negeri.
Soekarno Djojonegoro memasuki masa pensiun mulai 31 Juli 1966. Soekarno meninggal dunia di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dia meninggalkan istri RA Sukatinah dan lima anak. Sesuai permintaannya, jenazahnya dimakamkan di makam khusus untuk pemakaman keluarga Djojonagoro, Kuwondo Giri di Banjarnegara.
(jon)