DPC Peradi Jakbar Gelar Webinar Restorative Justice, Diikuti 500 Peserta

Selasa, 26 Juli 2022 - 14:36 WIB
loading...
DPC Peradi Jakbar Gelar...
DPC Peradi Jakarta Barat menggelar webinar bertajuk Mekanisme dan Strategi Penyelesaian Perkara Melalui Restorative Justice Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) di Indonesia. Foto: Ist
A A A
JAKARTA - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Peradi Jakarta Barat menggelar webinar bertajuk “Mekanisme dan Strategi Penyelesaian Perkara Melalui Restorative Justice Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) di Indonesia”. Karena, saat ini lembaga penegak hukum, yakni Polri, Kejaksaan, dan Kehakiman atau lembaga peradilan tengah giat melakukan restorative justice.

Ketua DPC Peradi Jakarta Barat Suhendra Asido Hutabarat menyampaikan, webinar itu merupakan salah satu wujud komitmen pihaknya untuk ‎meningkatkan kualitas para advokat DPC Peradi Jakbar. Mereka antusias mengikuti webinar tersebut, ada lebih dari 500 peserta yang mengikuti, baik dari advokat Peradi, mahasiswa, dan umum.

“Kami terus menerus melakukan pendidikan berkelanjutan, melakukan webinar, bahkan kita melaksanakan webinar internasional juga, melibatkan pemateri dari luar negeri,” ujarnya.

Ketua Bidang Kajian dan Perundang-Undangan DPN Peradi Nikolas Simanjuntak menjadi salah satu narasumber webinar itu menyampaikan, idealnya harus ada undang-undang. Namun untuk membuat undang-undang membutuhkan waktu lama.

Dia mengatakan, saat ini KUHP belum mengatur soal restorative justice.‎ Untuk itu, pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP sudah memasukkannya.

“Di RUU KUHP sekarang tujuan pemidanaan tidak ada tujuan untuk menghukum tetapi untuk memasyarakatkan, untuk menyelesiakan rasa bersalah sehinga dia biar kembali menjadi masyarakat yang baik,” katanya.

Meskipun KUHP belum mengaturnya, namun penegak hukum, yakni Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan bisa melakukan restorative justice mengacu pada ketentuan UUD 1945 serta ketentuan peraturan masing-masing lembaga.

‎“Dasarnya itu UUD. Sekarang ada Perkap (peraturan kapolri), 2020, Perja (peraturan jaksa agung). Perkap ini bagian dari peraturan perundang-undangan karena dalam Pasal 8 bahwa pejabat yang berwenang sesuai dengan wewenang yang diberikan, berhak mengeluarkan peraturan. Di situ letaknya untuk melaksankan UU HAM, UU Polri,” ujarnya.

Berdasarkan Pasal 8, 70, dan 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa tanggung jawab negara harus dilakukan oleh pemerintah. “Artinya, kalau tidak dilakukan, salah. Restorative justice tadi dasarnya UU, Polisi wajib menjunjung HAM itu, kemudian UU HAM. Polisi jangan ragu-ragu melaksanakan restorative juatice,” katanya.



Head of Business Law Department Binus University Ahmad Sofian ‎menyampaikan, satu-satunya UU yang memberikan definisi yang kholistik tentang restorative justice, itu ada di dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni pada Pasal 1 angka 6.

Menurutnya, perlu UU yang lebih tegas karena jika restorative justice sudah dilakukan, keputusannya belum berkekuatan hukum tetap (inkracht). Polri menghentikan suatu kasus dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sedangkan jaksa menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).

“SP3 polisi dan penghengtian penuntutan (SKP2) bisa dipraperadilankan, tidak ada kepastian hukum, sehingga harus ada UU,” ujarnya.

Kasubbid Sunluhkum Bidkum Polda Metro Jaya AKBP Adri Desas Furyanto ‎menyampaikan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mencanangkan restorative justice dan Kapolri menyambutnya dengan menerbitkan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Perpol tersebut mengatur syarat‎ umum dan khusus perkara yang bisa di-restorative justice. “Jadi kalau sudah masuk kategori restorative justice, [penyidik] tidak melakukan restorative justice, selesai, (penyidik) ada sanksi kode etik,” katanya.

Ketua Bidang Pendidikan Berkelanjutan dan Pengembangan Advokat Desnadya Anjani Putri selaku moderator menyimpulkan, bahwa agar pelaksanaan restorative justice di Indonesia dapat terlaksana dengan baik. Maka, kata dia, penegak hukum harus memiliki pengetahuan yang baik terkait upaya penyelesaian perkara melalui restorative justice.

Selain itu, kata dia, perlu adanya undang-undang khusus terkait restorative justice dengan mekanisme yang jelas, atau dibuat kesepakatan bersama antara penegak hukum, sehingga ada acuan yang jelas dalam penerapan restorative justice ini.

Selepas talkshow, Indah Puspitarini selaku pembawa acara, kemudian memandu pemberian plakat dan cendramata dari DPC Peradi Jakbar oleh Asido kepada para narasumber serta penyerahan buku yang ditulis Nikolas kepada peserta yang mengajukan pertanyaan terbaik.
(mhd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1470 seconds (0.1#10.140)