Profil Arsitek Tugu Monas Prof RM Soedarsono, Seniman Koreografi yang Tidak Pernah Sekolah Arsitektur

Senin, 23 Mei 2022 - 08:39 WIB
loading...
Profil Arsitek Tugu...
Monas merupakan tugu kebanggaan warga Jakarta dan bangsa Indonesia. Monas dirancang oleh arsitek berkebangsaan Indonesia, Prof Dr RM Soedarsono. Foto: Dok Perpustakaan Nasional
A A A
JAKARTA - Monas merupakan tugu kebanggaan warga Jakarta dan bangsa Indonesia yang menjadi salah tempat wisata warga Ibu Kota maupun luar kota. Monas dirancang oleh arsitek berkebangsaan Indonesia, Prof Dr RM Soedarsono.

Monas dibangun dengan tujuan mengenang dan mengabadikan kebesaran perjuangan Bangsa Indonesia yang dikenal dengan Revolusi 17 Agustus 1945.

Monas mulai dibangun pada Agustus 1959. Keseluruhan bangunan Monas dirancang oleh arsitek Indonesia yaitu Soedarsono, Frederich Silaban, dan Ir Rooseno selaku konsultan. Pada tanggal 17 Agustus 1961, Monas diresmikan oleh Presiden Soekarno dan mulai dibuka untuk umum sejak tanggal 12 Juli 1975.



Tugu Monas punya ciri khas tersendiri. Sebab arsitektur dan dimensinya melambangkan kias kekhususan Indonesia. Bentuk yang paling menonjol adalah tugu yang menjulang tinggi dan pelataran cawan yang luas mendatar. Di atas Tugu Monas terdapat api menyala seakan tak kunjung padam. Hal ini melambangkan keteladanan semangat bangsa Indonesia yang tidak pernah surut berjuang sepanjang masa.

Gagasan awal pembangunan Monas muncul setelah sembilan tahun kemerdekaan diproklamirkan. Beberapa hari setelah peringatah HUT ke-9 RI, dibentuk Panitia Tugu Nasional yang bertugas mengusahakan berdirinya Tugu Monas. Panitia ini dipimpin Sarwoko Martokusumo, S Suhud selaku penulis, Sumali Prawirosudirdjo selaku bendahara dan dibantu oleh empat orang anggota masing-masing Supeno, K K Wiloto, E F Wenas, dan Sudiro.

Panitia pembangunan Monas dinamakan ”Tim Yuri” yang diketuai langsung Presiden RI pertama Ir Soekarno (Bung Karno). Melalui tim ini, sayembara diselenggarakan dua kali. Sayembara pertama digelar pada 17 Februari 1955, dan sayembara kedua digelar 10 Mei 1960.



Namun, dua kali sayembara digelar, tidak ada rancangan yang memenuhi seluruh kriteria yang ditetapkan panitia. Akhirnya, ketua Tim Yuri menunjuk beberapa arsitek ternama, yaitu Soedarsono dan Frederich Silaban untuk menggambar rencana Tugu Monas. Kedua arsitek itu sepakat membuat gambarnya sendiri-sendiri yang selanjutnya diajukan kepada Bung Karno yang kemudian memilih gambar karya Soedarsono.

Dalam rancangannya, Soedarsono mengemukakan landasan pemikiran yang mengakomodasi keinginan panitia. Landasan pemikiran itu meliputi kriteria nasional.



Soedarsono mengambil beberapa unsur saat Proklamasi Kemerdekaan RI yang mewujudkan revolusi nasional sedapat mungkin menerapkannya pada dimensi arsitekturnya, yaitu angka 17, 8, dan 45 sebagai angka keramat Hari Proklamasi.

Bentuk tugu yang menjulang tinggi mengandung falsafah “Lingga dan Yoni” yang menyerupai “Alu”sebagai “Lingga” dan bentuk wadah (cawan-red) berupa ruangan menyerupai “Lumpang” sebagai “Yoni”.

Alu dan Lumpang adalah dua alat penting yang dimiliki setiap keluarga di Indonesia khususnya rakyat pedesaan. Lingga dan Yoni adalah simbol dari jaman dahulu yang menggambarkan kehidupan abadi, adalah unsur positif (lingga) dan unsur negatif (yoni) seperti adanya siang dan malam, laki-laki dan perempuan, baik dan buruk, merupakan keabadian dunia.

Bentuk seluruh garis-garis arsitektur tugu ini mewujudkan garis-garis yang bergerak tidak monoton merata, naik melengkung, melompat, merata lagi, dan naik menjulang tinggi, akhirnya menggelombang di atas bentuk lidah api yang menyala.

Badan tugu menjulang tinggi dengan lidah api di puncaknya melambangkan dan menggambarkan semangat yang berkobar dan tak kunjung padam di dalam dada bangsa Indonesia.



Soedarsono sebenarnya tidak pernah mengenyam pendidikan/sekolah formal di bidang arsitektur. Bakatnya dalam dunia arsitektur muncul secara otodidak alias lewat latihan dan pengalaman. Hanya saja, saat di Bandung sebelum masa pendudukan Jepang, Soedarsono berguru kepada insinyur bangunan dan pengembangan kota bernama Thomas Nix. Saat itu Nix bertugas di kantor Balai Kota Bandung dan mengerjakan bangunan militer serta perumahan sipil.

Soedarsono merupakan seniman kelahiran Yogyakarta 1 Mei 1933 dan meninggal dunia 16 Oktober 2018. Namanya dikenal secara luas melalui karya-karyanya berupa koreografi dan buku-buku yang diterbitkan, baik di dalam maupun luar negeri. Soedarsono juga merupakan salah satu guru besar bidang Seni dan Sejarah Budaya di Fakultas Ilmu Budaya dan program Pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM).

Soedarsono menyelesaikan pendidikan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Setelah lulus dari UGM, dia mengawali kariernya di kampus almamaternya sebagai asisten pengajar asing Prof Mookerjee dan Dr DC Mulder. Kemudian diangkat sebagai Pembantu Dekan III, dan beberapa tahun kemudian Pembantu Dekan I.

Tahun 1962, bersama C Hardjosubroto ia berhasil mendirikan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI). Setelah ASTI diresmikan pada 30 November 1963, ia diangkat sebagai direkturnya. Soedarsono kemudian mengikuti pendidikan di bidang Etnomusikologi di University of Hawaii, dan tari di University of California Los Angeles/UCLA, Amerika Serikat. Setelah itu ia menyelesikan program doktornya di University of Michigan, Amerika Serikat (1982).

Dengan ketekunan, dalam waktu 6 bulan ia menyelesaikan disertasi berbahasa Inggris dengan judul Wayang Wong In The Yogyakarta Kraton History, Ritual Aspects, Literany Aspek and Choracterization.

Hanya dalam waktu dua setengah tahun, ia berhasil menyelesikan program Doktornya. Disertasinya tersebut kemudian diterbitkan Gadjah Mada University Press dengan judul Wayang Wong, the State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta.
(thm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2312 seconds (0.1#10.140)